Hakikat Rahmat
MARHABAN YA RAMADHAN (5)
Lantas, apa pengertian rahmat dan maghfirah itu?
Kita mulai dari rahmat, ya? Makna kamus dari rahmat adalah: kasih,
kasihan, peduli pada penderitaan orang lain; saling pengertian antar sesama,
simpati; kebaikan; kemauan memaafkan. Itu yang kita dapati, antara lain, dalam
kamus Hans Wehr.
Secara morfologis (sharfiyyah), rahmat adalah masdar bagi kata kerja
rahima (mengasihi dst.). Bentuk kata sifatnya, rahmãn dan rahïm, dikatakan para
alim sebagai sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dzãt (diri, oknum) Allah sendiri.
Tapi ditegaskan pula oleh Allah bahwa berkat rahmatNyalah Nabi Muhammad dapat
bersikap lembut terhadap orang lain – fa bima rahmatin
minallahi linta lahum. (Ali ‘Imran ayat 159).
Jadi, “sifat Allah” itu bisa ‘menular’ kepada rasulNya?
Tamnpaknya, iya.
Melalui apa?
Surat An-naml ayat 76-77 menjawab demikian: “Hakikatnya Al-Qurãn ini
menguraikan kepada Bani Israil banyak hal yang mereka perselisihkan. Tegasnya
dia (Al-Qurãn) benar-benar merupakan petunjuk dan rahmat bagi para mu’min.”
Surat Al-An’am ayat 155 mengungkapkan dengan redaksi lain:
“Inilah sebuah kitab yang Kami turunkan sebagai pembawa berkah. Maka
patuhilah dia, yakni lindungilah diri kalian dengannya. Mudah-mudahan kalian
merasakan rahmat yang dilimpahkanNya.”
Masih banyak lagi ayat-ayat yang menegaskan bahwa hakikat dari
rahmat Allah adalah Al-Qurãn. Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah wujud
rahmat Allah yang nyata (konkret) dan menentukan, sementara pemberian-pemberian
Allah yang lain boleh dikatakan bersifat semu. Jelasnya bagaimana?
Surat Al-A’rãf ayat 10, misalnya, memberikan gambaran bahwa Allah
menempatkan manusia di bumi ini dan membekalinya dengan segala sarana kehidupan.
Tujuannya adalah supaya manusia bersyukur. Tapi sayang, hanya sedikit manusia
yang bersyukur. Siapa yang sedikit itu? Mereka adalah para pelaksana petunjuk
Allah (Al-Qurãn). Maka, melalui ayat ini kita mendapat kesan bahwa segala
rahmat Allah yang lain, yang berupa segala sarana hidup manusia, menjadi tidak
berarti ketika manusia menolak untuk hidup dengan Al-Qurãn. Di sinilah kita
melihat betapa Al-Qurãn adalah sebuah rahmat yang menentukan, tepatnya
menentukan apakah anugerah-anugerah Allah yang lain menjadi bernilai rahmat
atau sebaliknya (la’nat alias kutukan).
Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah sebuah bentuk rahmat Allah yang sangat
definitif (nyata, jelas, tegas, pasti).
Dari rahmat ke maghfirah
Bila rahmat secara definitif adalah Al-Qurãn, lantas apa pengertian
definitif dari maghfirah?
Dengan memahami Al-Qurãn sebagai bentuk rahmat Allah yang nyata maka
akan mudah untuk memahami pengertian maghfirah yang nyata pula.
Selama ini kebanyakan kita memahami maghfirah dalam arti ampunan atau
pengampunan Allah, yang sifatnya tidak nyata alias misterius. Hal itu terjadi
karena kita selalu mengaitkannya dengan oknum atau pribadi Allah. Kita
beranggapan bahwa mahgfirah adalah hak prerogatif Allah. Karena itulah kita
mengartikannya sebagai ampunan atau pengampunan. Dengan kata lain, kita
membayangkan maghfirah sebagai sama dengan grasi (Latin: gratia, anugerah) atau
abolisi (Latin: abolitio), yang kedua-duanya berarti pembebasan seseorang dari
tuntutan hukum karena kebaikan presiden.
Benarkah maghfirah berarti grasi atau abolisi Allah? Benarkah ia
berarti pembebasan dari tuntutan hukum karena kebaikan (goodwill)
Allah semata? Paham ini bukan hanya keliru tapi juga salah secara prinsip.
Pertama, Allah adalah pencipta hukum sebab-akibat, dan ia tidak pernah mengubah
hukum itu. Lihat antara lain surat Yunus ayat 64, surat Al-Azhab ayat 62, surat
Al-kahfi ayat 85.
Kedua, istilah maghfirah berasal dari kata kerja ghafara yang
sinonimnya adalah ghatthã (menutup) dan ashlaha
(memperbaiki).
Bila dikaitkan dengan manusia yang melanggar peraturan Allah,
maka tindakan ghafara itu – apakah dalam arti menutup atau
memperbaiki – adalah urusan si manusia itu sendiri, bukan urusan Allah.
Keterlibatan Allah dalam hal ini hanyalah memberi “rahmat” berupa petunjuk
untuk menutup (mengakhiri) atau memperbaiki sebuah kesalahan. Selagi si pelaku
kesalahan tidak menerapkan petunjuk Allah, permintaan ampunnya adalah sia-sia
belaka.
Hal ini digambarkan oleh Rasulullah dengan menceritakan seorang lelaki
yang mulutnya terus meminta ampun tapi perutnya penuh dengan barang haram.
“Bagaimana Allah akan mengampuninya?” tanya Rasulullah.
Dalam hadis lain, riwayat Tirmidzi, Rasulullah memberikan rumus yang
begitu gamblang untuk mengakhiri atau memperbaiki sebuah kesalahan.
“Peliharalah (selamatkanlah) dirimu dengan ajaran Allah di mana pun kamu hidup.
Ikutilah (tebuslah) perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Tunjukkanlah akhlak
yang baik dalam pergaulan dengan sesama manusia.”
Jadi, jelaslah bahwa di antara rahmat (yang berupa petunjuk, yakni Al-Qurãn)
dan maghfirah (penutupan dan perbaikan suatu kesalahan) terdapat hubungan
sebab-akibat. Dan demkikian juga tentunya dengan pembebasan seseorang dari
neraka.
Termasuk yang anda sebut neraka dunia itu?
Ya!
(a.h)
