Dimensi Malaikat dan Jin
Malaikat Dan Sayapnya
THE JAMBI TIMES - Wahyu Allah
ibarat matahari yang memancarkan cahayanya pada permukaan bulan, sehingga
cahaya yang diterima bulan itu kemudian memantulkan pada bagian bumi yang tidak
terkena cahaya matahari (dalam situasi malam). Itu bahasa perumpamaan. Bahasa
gamblangnya adalah: wahyu Allah (al-Qur’an) diturunkan kepada Rasullullah
melalui Malaikat untuk dijadikan pedoman hidup manusia. QS Yunus/10 : 5.
Inilah awal
dari pembicaraan mengenai malaikat. Karena pernyataan di atas menyebut adanya
peran malaikat dalam penyampaian wahyu, maka kita tentu bertanya, “Apa dan
siapa malaikat itu?”
Dalam artikel
ini akan diurai serba sedikit tentang malaikat sebagai makhluk terbuat dari
cahaya, dan karena itu pembicaraan tentang mereka tentu harus dikaitkan dengan
hal-ihwal cahaya, baik secara hakiki maupun majazi (kiasan). Pembicaraan
malaikat sebagai cahaya dalam pengertian hakiki, diharapkan dapat membantu bagi
orang-orang yang aktifitasnya dalam disipilin ilmu pasti dan cenderung berpikir
secara lmu pasti. Aktifitas ini memang sudah seharusnya dilakukan karena Al-Qurãn sendiri adalah ilmu pasti yang
tidak mengandung unsur-unsur khayali atau spekulasi (meski ilmu pasti itu
sendiri di dalamnya masih terdapat unsur-unsur spekulatif).
Pembicaraan
mengenai malaikat dalam pengertian hakiki juga berguna untuk menyadarkan kita
bahwa segala “keputusan” (taqdir) Allah dilaksanakan melalui suatu proses, yang
kadang-kadang sangat rumit, menurut pemahaman kita. Sehubungan dengan inilah
kita patut mempertanyakan apakah kalimat kun fa yakun (Surat Yasiin 36:82)
dapat diartikan sama dengan sim salabim, seperti mantra tukang sulap? Bila
demikian, mengapa untuk mengajarkan Al-Qurãn kepada manusia Allah harus
menggunakan malaikat, yang harus menempuh jarak begitu jauh, menembus berbagai
“lapisan langit?” Mengapa tidak dibisikkan saja secara langsung kepada kita?
Mengapa tidak disisipkan saja dalam naluri kita seiring dengan kelahiran kita
ke dunia?
Malaikat = Rasul
Sungguh menarik
bahwa dalam bahasa Yunani malaikat
disebut angelos yang berarti pembawa berita. Dalam bahasa Arab, pembawa
berita adalah nabi atau rasul. Di dalam Surat al-Hajj 22: 75, dikatakan bahwa
sebagian malaikat dijadikan rasul di samping manusia. Surat Fathir ayat 1 juga
menegaskan bahwa malaikat adalah rasul (utusan).
Bila kita
perhatikan ayat-ayat berikutnya, dan kita gunakan sistematika yang membagi
Al-Qurãn menjadi Pandangan Umum, Uraian, dan Kesimpulan, maka akan kita lihat
bahwa ayat ini adalah penegasan agar Rasulullah, dan pengikutnya (ditegaskan
pada ayat 4) merujuk kembali Surat
Al-Fãtihah yang ditinjau dari susunan kata-katanya adalah sebuah ikrar,
yaitu pernyataan diri untuk menjadi hamba Allah dengan menjalankan ajarannya
sesuai Sunnah Rasul.
Di dalam Surat
Al-Fãtihah, Allah disebut sebagai rabbul-‘alamîn, di sini dipertegas dengan
pernyataan diri untuk menjadi hamba Allah dengan menjalankan ajaran-Nya sesuai
Sunnah Rasul. Yaitu penyampai risalah, yang secara harfiah antara lain berarti
pesan, missi, undangan, dan sebagainya. Namun, dari sisi istilah, risalah ini
berarti ajaran atau tegasnya pedoman hidup (agama).
Sebagai
penyampai risalah, malaikat dijamin tidak akan menyeleweng, seperti dinyatakan
dalam Surat an-Nahl ayat 49-50:
Segala yang ada
di langit dan di bumi tunduk-patuh pada (hukum) Allah, mulai dari makhluk
melata sampai malaikat, tak ada satu pun dari mereka yang membangkang. Semua
takut pada Rabb yang menguasai mereka, sehingga mereka selalu melaksanakan
segala yang diperintahkan.
Melalui Surat
an-Najm ayat 26, kita ketahui bahwa malaikat terdapat di berbagai “langit” (fi
samãwãti). Apakah langit itu? KH Bahaudin Mudhary, menulis dalam buku Setetes
Rahasia Alam Semesta:
Langit, dalam
kajian ilmu pengetahuan eksakta adalah ruang yang sunyi, ia berada pada
ketinggian 120 mil dari permukaan bumi. Di bawah apa yang dinamakan langit itu,
terdapat berbagai macam lapisan yang menyelimuti dan melindungi bumi dari
berbagai macam cahaya. Langit lapisan
pertama adalah Troposfir berada pada ketinggian 8 mil dari permukaan bumi.
Lapisan kedua adalah Stratosfir yang berada pada jarak 8 mil sampai 60 mil dari
permukaan bumi. Di lapisan ini terjadi perubahan suhu udara (temperatur).
Stratosfir ini juga disebut sebagai lapisan Ozon. Pada lapisan Ozon ini
terdapat suatu bentuk khas oksigen yang berlebihan jumlahnya, ia beracun dan
dapat membunuh manusia. Lapisan Ozon ini lah yang melinndungi manusia dari
sinar ultra-violet yang berasal dari matahari. Ozon pula yang menghisap dan
menyerapnya. Andaikan lapisan Ozon ini
tidak ada, niscaya manusia dan bumi akan hangus terbaklar oleh sinar
ultra-violet tadi. …
Di atas lapisan
Stratosfir, sekitar 30 mil, terdapat ruang yang bersuhu panas sekali, sekitar
170 derajat Fahreintheit. Akan tetapi di atas ruangan yang bersuhu panas ini
terdapat ruangan yang mempunyai suhu rendah sekali. Kemudian, 60 mil di atas
lapisan Stratosfir terdapat sebuah lapisan lain yang menjadi bidang penelitian
para ahli radio …
Di atas lapisan
Ionosfir terdapat sebuah lapisan lain yang dinamakan lapisan Exosfir. Di
lapisan ini udara sangat sedikit jumlahnya sehingga tidak mungkin untuk didiami
oleh makhluk manusia …
Di lain pihak,
kita dapati pula keterangan tentang ruang angkasa (space) sebagai berikut,
Ruang angkasa
adalah kekosongan. Warnanya hitam, karena dalam kekosongan itu tak ada cahaya.
Di sana tidak dingin dan tidak pula panas karena dalam kekosongan itu tidak ada
suhu. Dan tentu saja, di ruang angkas itu tak ada udara atau air.
Namun meski
ruang angkasa itu sendiri kosong di dalamnya ada juga sesuatu. Di situ ada
jutaan bintang. Ada gumpalan raksasa gas dan debu. Komet (bintang berekor) dan
serpihan-serpihan batu yang disebut meteor berseliweran menerobos ruang
angkasa. Gelombang-gelombang cahaya dari bintang meluncur menembusnya.
Partikel-partikel (debu) sangat kecil, tidak terlihat mata, berseliweran. Ruang
angkasa adalah kekosongan yang meliputi semua itu.
Ruang angkasa
dan segala sesuatu yang ada di dalamnya itulah yang membentuk apa yang kita
sebut alam semesta. Kita tidak tahu berapa besarnya alam semesta ini, tapi
benda angkasa (bintang) yang kita sebut terjauh dari kita kenyataannya terletak
amat sangat jauh. Cahaya yang dipancarkannya butuh waktu jutaan tahun untuk
mencapai kita! Barangkali alam semesta ini terbentang di segala arah selamanya
– dan tak akan berakhir!
Jadi di
“lapisan” langit manakah malaikat? Wallahu a’lam! Mudahnya, sebut saja di “alam
lain” yang berbeda dengan alam kita, yang jaraknya dari kita jauh tak
terhingga, sehingga untuk dapat menyampaikan risalah kepada kita mereka
membutuhkan ajnihah, yang diterjemahkan sebagai sayap. Tetapi benarkah mereka
harus bersayap sedangkan dalam sebuah hadits Muslim dikatakan bahwa mereka
dibuat dari cahaya (Al-Malã’ikatu khuliqat min nûrin)? Menurut para peneliti,
cahaya adalah benda yang mempunyai daya luncur tercepat. Cahaya matahari saja,
misalnya, meluncur ke segala arah dengan kecepatan 299.792 km per detik.
Bila malaikat adalah makhluk yang terbuat dari cahaya,
dan masih memerlukan dua, tiga (bs dibayangkan bila bersayap tiga, terbangnya
miring mungkin ya? :D), sampai empat “sayap” berarti jarak alam mereka dengan
kita sungguh tak terbayangkan jauhnya. Apalagi bila ajnihah yang diterjemahkan
(secara lucu) sebagai sayap itu kita artikan sebagai “kemampuan” atau “daya
luncur.”
Jadi Surat Fathir ayat 1 tersebut, mungkin, menegaskan bahwa malaikat yang tinggal di tempat yang jauh itu, dipilih sebagai rasul untuk menyampaikan ajaran Allah kepada manusia, karena mereka diciptakan dari cahaya, bahkan di antara mereka ada yang mempunyai daya luncur dua, tiga, sampai empat kali kecepatan cahaya. Itu pun bila kata matsna, tsulasa, ruba’a kita artikan dua, tiga, empat (jika diartikan 2, 3 dan 4 maka seharusnya tertulis itsnaini, tsalatsatun dan arba'u, ingat kembali tentang perbedaan ahad dan wahid dlm surat al ikhlas). Bila diartikan dua kuadrat, tiga kuadrat, empat kuadrat, tentu akan membuka wawasan lain lagi!
“ … Dia yang telah menjadikan malaikat sebagai utusan yang mempunyai kemampuan dimensi kelipatan dua dan kelipatan tiga dan kelipatan empat tambah x (eksponen) … “ dan kemudian dihubungkannya dengan Hadits Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril memiliki 600 sayap (dimensi)”. (HR Muslim) Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa satu sayap malaikat Jibril itu sudah bisa menutupi ufuk. (al-malaikatu sittu miati ijnihatin).
Jadi Surat Fathir ayat 1 tersebut, mungkin, menegaskan bahwa malaikat yang tinggal di tempat yang jauh itu, dipilih sebagai rasul untuk menyampaikan ajaran Allah kepada manusia, karena mereka diciptakan dari cahaya, bahkan di antara mereka ada yang mempunyai daya luncur dua, tiga, sampai empat kali kecepatan cahaya. Itu pun bila kata matsna, tsulasa, ruba’a kita artikan dua, tiga, empat (jika diartikan 2, 3 dan 4 maka seharusnya tertulis itsnaini, tsalatsatun dan arba'u, ingat kembali tentang perbedaan ahad dan wahid dlm surat al ikhlas). Bila diartikan dua kuadrat, tiga kuadrat, empat kuadrat, tentu akan membuka wawasan lain lagi!
“ … Dia yang telah menjadikan malaikat sebagai utusan yang mempunyai kemampuan dimensi kelipatan dua dan kelipatan tiga dan kelipatan empat tambah x (eksponen) … “ dan kemudian dihubungkannya dengan Hadits Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat malaikat Jibril memiliki 600 sayap (dimensi)”. (HR Muslim) Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa satu sayap malaikat Jibril itu sudah bisa menutupi ufuk. (al-malaikatu sittu miati ijnihatin).
Dan selanjutnya dibuat rumusan demikian:
Malaikat: 2 pangkat/kuadrat 2, x 3 pangkat 2, x 4 pangkat 2, ditambah x (eksponen 1 hari) = 600
atau :
576 + x = 600
x = 600 – 576 = 24
576 + 24 = 600
Ajnihah diterjemahkan sebagai “dimensi”, dalam arti “kemampuan gerak menurut kemungkinan-kemungkinan tertentu.”
Satu dimensi, misalnya, adalah gerak pada satu jalur dalam satu waktu,
Dua dimensi adalah gerak dalam dua jalur pada satu waktu,
Tiga dimensi adalah gerak pada tiga jalur dalam satu waktu.
Empat dimensi adalah gerak dalam empat jalur pada satu waktu, seperti dari satu ruang ke ruang lain tanpa merusak batas yang ada di sekelilingnya.
Manusia memiliki 3 dimensi ditambah 24 jam berdimensi dengan malaikat yang 576 = 603 dimensi, maka manusia lebih mulia daripada malaikat. Malaikat hanya bisa memberikan teori nya saja tanpa bisa membuktikkan prakteknya. Setelah bertautan dengan jasad manusia yang 3 dimensi, maka jadi efektif berfungsi, alimul ghaib (ilmu) bisa di syahadahkan/dibuktikan setelah ter aqdun oleh qalbu kita.
Dimensi malaikat adalah QS 35:1, maka nikahilah dimensi tersebut QS 4:3 dan setubuhi lah diwaktu malam, rattil dan shalat tahajjud, QS 2:97, diharapkan akan lahir satu ekonomi system zakat. Aqimu shalah wa atuz zakah.
Malaikat: 2 pangkat/kuadrat 2, x 3 pangkat 2, x 4 pangkat 2, ditambah x (eksponen 1 hari) = 600
atau :
576 + x = 600
x = 600 – 576 = 24
576 + 24 = 600
Ajnihah diterjemahkan sebagai “dimensi”, dalam arti “kemampuan gerak menurut kemungkinan-kemungkinan tertentu.”
Satu dimensi, misalnya, adalah gerak pada satu jalur dalam satu waktu,
Dua dimensi adalah gerak dalam dua jalur pada satu waktu,
Tiga dimensi adalah gerak pada tiga jalur dalam satu waktu.
Empat dimensi adalah gerak dalam empat jalur pada satu waktu, seperti dari satu ruang ke ruang lain tanpa merusak batas yang ada di sekelilingnya.
Manusia memiliki 3 dimensi ditambah 24 jam berdimensi dengan malaikat yang 576 = 603 dimensi, maka manusia lebih mulia daripada malaikat. Malaikat hanya bisa memberikan teori nya saja tanpa bisa membuktikkan prakteknya. Setelah bertautan dengan jasad manusia yang 3 dimensi, maka jadi efektif berfungsi, alimul ghaib (ilmu) bisa di syahadahkan/dibuktikan setelah ter aqdun oleh qalbu kita.
Dimensi malaikat adalah QS 35:1, maka nikahilah dimensi tersebut QS 4:3 dan setubuhi lah diwaktu malam, rattil dan shalat tahajjud, QS 2:97, diharapkan akan lahir satu ekonomi system zakat. Aqimu shalah wa atuz zakah.
Surat an-Najm
ayat 7-10 menyebutkan bahwa Malaikat
yang mengajarkan wahyu kepada Muhammad “bertempat tinggal” di Al-Ufuqil-A’la
tempat yang paling paling tinggi. Kemudian dia turun, dan terus turun (menembus
berbagai lapisan ruang angkasa?), sehingga mendekati Muhammad seperti dekatnya
dua ujung busur panah atau lebih dekat dari itu. Dengan demikian dia (Jibril)
dapat mengajarkan kembali kepada Muhammad apa yang diajarkan Allah kepadanya.
Dimensi Malaikat
Di atas sudah
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dimensi Malaikat adalah kemampuan gerak
dalam kemungkinan-kemungkinan tertentu yakni kemungkinan bergerak dalam satu
jalur dalam satu waktu (satu dimensi), atau kemungkinan bergerak dalam dua
jalur dalam satu tiga jalur dalam satu waktu, atau kemungkinan bergerak dalam
tiga jalur dalam satu waktu, seperti menembus dari satu ruang ke ruang lain
tanpa merusak batas-batas di sekelilingnya (empat dimensi). Jadi, semakin
banyak dimensi yang dimiliki Malaikat, semakin cepat kemampuan geraknya dalam
menembus ruang demi ruang. Bila Hadits menyebutkan bahwa Malaikat memiliki 600
ajnihah, yang kita artikan dimensi, maka dapat kita bayangkan betapa amat
jauhnya jarak yang harus ditempuh dan betapa sangat banyaknya ruang angkasa
atau lapisan langit yang harus ditembus Malaikat untuk menyampaikan wahyu Allah
kepada manusia. Dalam hal ini, dengan merujuk Surat al-Ma’arij ayat 3-4, bahwa
daya tempuh malaikat adalah 50.000 tahun. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1 hari = 3600,
10 = 111,3 km, menjadi:
360×111,3 km =
40.000 km. (peredaran bumi pada garis khatulistiwa)
1 tahun = 12
bulan (Surat at-Taubah 9:36) dan
1 bulan menurut
perhitungan Qamariyah = 291/2 hari,
jadi 1 tahun =
12×291/2 hari = 354 hari
1 tahun =
354×40.000 km. = 14.160.000 km.
Maka daya
tempuh Malaikat :
50.000×14.160.000
km. = 708.000.000.000 km.
Selain itu,
adakah makna ilmiah lain tentang
pengertian dimensi Malaikat yang
di dalam Al-Qurãn disebut dengan istilah
ajnihah?
Dimensi
Malaikat sebagai penerang agaknya lebih terkait dengan status dan atau
fungsinya sebagai rasul Allah. Jadi, penerang di sini berarti pemberi
keterangan, yaitu penyampai ilmu (wahyu). Selanjutnya tentu saja dapat kita
katkan bahwa sampainya keterangan Allah kepada manusia adalah karena faktor
Malaikat. Lebih jauh lagi, tentu tidak salah pula bila kita mengatakan bahwa
wahyu Allah itu tidak terpisahkan dari Malaikat. Dengan kata lain, wahyu Allah
adalah (ber)dimensi malaikat! Hal ini menjadi lebih jelas lagi bila kita ingat
bahwa wahyu Allah di dalam Al-Qurãn disebut juga nûr (misalnya di dalam Surat
asy-Syura ayat 52).
Dengan
demikian, dapat kita katakan pula bahwa yang menerima wahyu Allah adalah manusia
yang “kerasukan malaikat”, atau manusia yang di dalam dirinya terdapat dimensi
Malaikat..
Selanjutnya
tentu timbul pertanyaan: “Apakah manusia yang dirinya dipenuhi dengan dimensi
malaikat (wahyu), misalnya Nabi, berarti memiliki pula kehebatan seperti
Malaikat?”
Pertanyaan
tersebut tentu berkaitan dengan peran aktif Malaikat (secara langsung) misalnya
di dalam perang Badar, atau perang Afghanistan. Benarkah ada Malaikat yang
turun tangan membantu tentara Islam, atau tentara Islam itu sendiri menjadi
manusia-manusia hebat secara fisik sehingga mampu mengalahkan musuh mereka?
Pertanyaan ini
tentunya memusingkan banyak orang.
Tetapi persoalan tersebut sebenarnya bisa menjadi sederhana. Kalau di
dalam perang Badar, ada turun tangan Malaikat secara langsung, lebih-lebih
jumlahnya sampai seribu, seperti disebut dalam Surat al-Anfaal ayat 9, tentu
perang itu hanya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan tentara Islam tidak
perlu angkat senjata samasekali atau cukup menjadi penonton dari peristiwa
perang yang amat dahsyat itu.
Tetapi mengapa
dalam Surat al-Anfal ayat 9, disebutkan bahwa Allah menurunkan seribu Malaikat?
Jawabannya terdapat pada ayat berikutnya (ayat 10) yang menegaskan bahwa bahwa
dengan “janji” itu sebenarnya Allah hanya bermaksud menghibur mereka, supaya
hati mereka tenang, tidak lagi gentar melihat jumlah musuh yang jauh lebih
banyak (300 lawan lk. 1000 orang). Ditegaskan pula dalam ayat itu, bahwa
kemenangan sebenarnya hanyalah sunatullah, bukan faktor malaikat secara fisik.
Ayat berikutnya bahkan makin mempertegas bahwa janji Allah untuk menurunkan
seribu Malaikat itu hanya semacam trik (trick) atau tipu muslihat, mengingat
situasi kejiwaan tentara Islam saat itu yang diteror bisikan syetan, sehingga
melupakan nilai luhur perjuangan mereka (untuk menegakkan ajaran Allah).
Ayat berikutnya
(ayat 12), semakin membuat persoalan menjadi gamblang. Dikatakan bahwa turunnya
Malaikat itu adalah untuk menyampaikan wahyu, bukan untuk ikut berperang, yang
kira-kira mengatakan: “Sesungguhnya Aku (Allah) di pihak kalian (= perjuangan
kalian direstui Allah). Maka mantapkan lah semangat juang kalian, wahai para
Mu’min, sehingga orang-orang kafir itu menjadi gentar. Serbulah mereka. Penggal
leher mereka. Babat putus tangang-tangan mereka.”
Masih dalam
Surat al-Anfal ayat 65, kita mendapati instruksi dari Allah kepada Nabi, yang
kira-kira berarti:
“Hai Nabi,
bangkitkan semangat kaum mukmin untuk maju di dalam perang ini. Seandainya
mereka hanya terdiri dari duapuluh orang yang teguh pendirian, mereka akan
mampu mengalahkan musuh duaratus orang. Dan bila jumlah mereka seratus orang,
mereka pasti sanggup mengalahkan tentara kafir seribu orang, karena orang-orang
kafir itu sebenarnya tidak tahu (motivasi perjuangan mereka).”
Dengan kata
lain, bila masih hendak menyebut peran malaikat, maka dimensi malaikat yang merasuk kepada tentara Islam di dalam
perang Badar tersebut adalah berupa
semangat dan kesadaran bahwa mereka berjuang demi kebenaran.
Jin Sebagai Lawan Malaikat
Malaikat ditugasi Allah mengungkap rahasia di
balik hijab. Jin menutup pandangan
manusia agar tidak melihat rahasia itu.
Dalam surat
Asy-Syura ayat 51-52 Allah memberikan
informasi yang artinya kira-kira demikian:
51. “Wahyu adalah ‘ajaran’ Allah (yang
diajarkan) pada seorang manusia; yaitu (sesuatu yang
diungkapkan) dari balik hijab; diutusNya rasul (malaikat)
sehingga wahyu itu dapat disampaikan
melalui prosedur yang telah
ditetapkanNya. Sungguh Dia (Allah) adalah penata hukum tiada tanding.
52. “Maka
dengan demikian Kami ajarkan wahyu itu kepadamu (Muhammad) (supaya) menjadi ruh (motor penggerak penata hidup) menurut
konsep Kami. (Bila) kamu tidak mempelajari (wahyu, yang
Kami susun menjadi) Kitab
itu, maka kamu
tidak mungkin membentuk iman (yang haq). Tapi (dengan diajarkannya
wahyu itu) berarti Kami telah menjadikannya Nur yang
dengannya Kami bimbing (ke jalan benar) siapa pun yang
memenuhi persyaratan Kami di antara
orang-orang yang mengaku sebagai
hamba-hamba Kami. Sedangkan kamu
(sebagai rasul yang mengajarkan
wahyu ini) semata-mata hanya membantu
(orang lain) untuk mengarahkan (mereka)
ke jalan hidup yang benar.
Ayat di atas (51) menegaskan bahwa di antara
manusia dan wahyu terdapat hijab,
yang secara harfiah bisa berarti
penutup, pembatas, pemisah, dan
sebagainya. Dengan kata lain, hijab adalah “sesuatu yang
memisahkan dua sesuatu (hal) yang lain”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa dua hal yang dihijab itu adalah wahyu dan manusia. Jadi,
manusia hanya bisa mengetahui wahyu bila
hijab itu dibuka, ditembus, atau
disingkirkan. Tapi ternyata itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sehingga Allah harus mengutus
malaikat untuk ‘mengeluarkan’ wahyu itu
dari balik hijab tersebut.
Hijab
antara manusia dan wahyu itu —
katakanlah — berbagai lapisan langit, yang hanya dapat ditembus oleh
malaikat yang mempunyai daya luncur 600
dimensi. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa malaikat adalah “pengungkap
rahasia di balik hijab”. Sedangkan nabi
adalah penerima ‘rahasia’ tersebut.
Selain
pengertian di atas, hijab juga berarti
“sesuatu yang membuat sesuatu
yang lain tidak terlintas dalam
pemikiran manusia”. (Something that makes something else imperceptible). Dalam suatu Hadis, misalnya,
Nabi Muhammad memberikan gambaran tentang jannah. Jannah, katanya, adalah
sesuatu yang fiha ma la ‘ainun ra-at wa la udznun sami’at wa la khathara ‘ala qalbi basyar. Yaitu sesuatu yang
keadaannya tidak pernah disaksikan, didengar, atau dikhayalkan manusia.
Bila gambaran tentang
jannah ini kita kiaskan pada wahyu,
dengan mengaitkannya pada ayat di atas, maka definisi wahyu adalah sesuatu yang terdapat
di balik hijab, yang tidak mungkin
ditembus pandangan mata atau ditangkap oleh daya pendengaran, sehingga dengan
demikian tidak mungkin terlintas dalam
khayalan atau pikiran manusia. Karena itulah dalam ayat di atas (51), Allah
menegaskan bahwa manusia hanya
dapat ‘menjangkau’ wahyu dengan
bantuan Allah melalui malaikatNya.
Jin sebagai hijab
Dalam artikel ini tidak perlu membahas jin dalam pengertian hakiki. Di sini cuma akan dibahas peran jin
sebagai lawan dari malaikat, yaitu
sebagai hijab bagi sampainya wahyu kepada manusia. Untuk itu sebagai salah
satu alat bantu di gunakan kamus karangan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic.
Bentuk kata
kerja dari jinn atau al-jinnu adalah janna-yajunnu, dan masdarnya adalah junun,
yang artinya:
- menutupi
-
menyembunyikan
- menyelubungi
Bila janna digabungkan dengan ‘ala, artinya
adalah: “malam telah datang”, atau “malam bertambah gelap”.
Bila dalam
bentuk pasif (majhul), yaitu junna,
artinya dalah: “menjadi kesurupan”, atau “menjadi gila”.
Sedangkan
kalimat janna junûnuhu berarti: “amat sangat keranjingan”, atau “amat sangat
tergila-gila”.
Bila dipindah
ke dalam pola fa’’ala (dobel ‘ain), menjadi jannana, artinya adalah: membuat
gila, mendorong kegilaan, menjadi gila,
sangat marah, membangkitkan kemarahan.
Bila
menggunakan pola istaf’ala, menjadi istajanna, artinya adalah: tertutup,
terselubung, tersembunyi, menganggap orang lain gila, mengira orang lain gila.
Dari kata janna
pula lahir kata jannah yang berarti kebun atau sorga. Menurut kamus Al-Munjid,
kebun disebut jannah karena
kebun itu pada dasarnya adalah
sebidang tanah yang ditutupi tumbuhan.
Dari kata yang
sama lahir pula kata jinnah yang berarti kesurupan, keinginan terpendam,
keranjingan, kegilaan.
Lahir pula kata junnah yang berarti
perlindungan, naungan, perisai.
Ada pula kata janan jamaknya ajnan, yang
berarti hati atau jiwa, dan ada pula
kata jannan yang berarti tukang kebun.
Kata janin jamaknya ajinnah/ajnun juga berasal
dari kata yang sama. Artinya
adalah: embrio (calon bayi). Bisa juga berarti kuman atau bakteri (yaitu
makhluk-makhluk maha kecil, yang hanya bisa dilihat melalui mikroskop).
Tentu saja kata majnun juga lahir dari kata tersebut, yang artinya:
gila, kesurupan, tergila-gila,
orang gila, orang yang sangat tergila-gila, orang sangat
dungu, bodoh, dan sebagainya.
Bila kita amati
berbagai kata di atas, dapat kita
simpulkan bahwa berbagai hal yang tergambar dari maknanya ternyata
tidak seluruhnya berkaitan dengan jin
sebagai salah satu makhluk non-benda. Namun semua jelas mempunyai
makna dasar “penutup” atau
“menutupi”. Dengan kata lain pengertiannya sama dengan “hijab”.
Surat Ar-Rahman ayat 15 menegaskan bahwa jin
terbuat dari api. Surat Shad ayat 76, surat Al-A’raf ayat 12 menyebutkan
bahwa iblis juga terbuat dari api. Dengan demikian, jin dan iblis adalah sebangsa.
Ada dua pengertian tentang jin, yaitu arti khusus dan arti umum. Arti khusus adalah jin
sebagai makhluk gaya yang belum efektif (= belum memainkan peran apa
pun), yaitu belum berperan dalam hidup
manusia. Sedangkan jin dalam arti umum adalah jin yang sudah efektif, yang
dalam Al-Qurãn disebut iblis.
Surat Al-A’raf ayat 17 menjelaskan tekad iblis
untuk menghijab manusia dari ajaran Allah: “Karena anda
(Allah) telah memvonisku sesat, maka aku benar-benar akan menghadang
mereka agar membelok dari jalan hidupMu yang sebenarnya. Aku juga akan
mengepung mereka dari depan dan belakang, dari kanan dan dari kiri mereka,
sehingga akan Kau lihat nanti kebanyakan
mereka menjadi orang-orang yang tak tahu diuntung.”
Itulah gambaran
tentang cara iblis/jin menghijab manusia
dari ajaran Allah.
Surat Fushilat
ayat 5 memberikan gambaran lain tentang
hijab yang memisahkan manusia dari wahyu Allah: “Mereka (orang-orang kafir)
mengatakan, ‘Hati kami tertutup dari ajaran yang kamu tawarkan; di kuping kami
ada penyumbat. Tegasnya, di antara kami dan kamu ada hijab. Karena itu, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, karena
kami juga akan terus melakukan apa yang
ingin kami lakukan.”
Itulah salah
satu bentuk ‘kegilaan’ manusia yang ‘kesurupan
jin’. Dan kata sebuah pepatah Arab: Al-jununu funun. Kegilaan itu banyak macamnya, alias muncul dalam
berbagai bentuk.(ah)