News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Film 'Kantata Takwa,' Mutiara yang Wajib Dipirsa

Film 'Kantata Takwa,' Mutiara yang Wajib Dipirsa


(Foto:Ilustrasi)

Jakarta - Memirsa kembali film Kantata Takwa, yang diputar tadi malam (26/6) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, serasa menemukan harta karun berupa mutiara.

Film indah ini tak ubahnya mutiara yang lama mendekam dalam cangkang. Sejak tayang perdana pada 2008, agaknya baru kali ini ditayangkan lagi sebagai bagian dari perayaan 45 tahun TIM.

Bila merunut ke belakang, sejatinya si mutiara mendekam jauh lebih lama lagi di cangkangnya. Butuh 17 tahun bagi film Kantata Takwa untuk bisa dipertontonkan di muka publik.

Menurut Bambang Supriadi, Wakil Dekan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang bertindak sebagai camera operator film ini, Kantata Takwa diproduksi pada 1991 dan dirilis pada 2008.


Padahal masa produksinya singkat saja. “Tiga bulan,” katanya kepada CNN Indonesia via surel (26/6). Tapi penayangan film ini melewati tiga rezim, dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono.

Film Kantata Takwa menampilkan ekspresi seni personel band bernama sama yang terdiri dari lima musisi cadas: Iwan Fals, Setiawan Djody, W.S. Rendra, Sawung Jabo, dan Yockie Suryoprayogo.

Di film garapan Eros Djarot dan Gotot Prakosa ini, kelimanya menyuarakan pandangan masing-masing seputar musik, filosofi, dan seni yang terbilang inggil. Di balik gaya urakan mereka, kata-katanya bermakna.

Film ini menampilkan lagu-lagu andalan, yakni Kesaksian, Paman Doblang, Kantata Takwa, Air Mata. Juga lagu-lagu dari album Swami—proyek lain personel Kantata Takwa—yaitu Bento, Bongkar, Cinta, Hio.

Rendra, si Burung Merak, punya andil besar membungkus sajian musikal grup band ini dengan aksi teatrikal yang mumpuni. Ia, antara lain, membawakan Sajak 1990 yang sarat kritik sosial.

“Apa artinya kekayaan alam tanpa keunggulan daya manusianya? Bagaimana bisa digalang daya manusia tanpa dibangkitkan kesadarannya akan kedaulatan pribadi terhadap alam dan sesamanya?”

Adegan teatrikal lantas disambung adegan musikal yang menampilkan rekaman (footage) konser Kantata Takwa di Gelora Bung Karno, pada 1991, yang dipadati puluhan ribu penggemar.

Kehadiran sosok berkerudung putih seolah menggambarkan adanya "guardian angel" yang mengawal langkah para personel grup band legendaris ini tetap di jalur yang benar.

Maka agak aneh melihat perilaku sebagian besar penggemar yang rusuh, sebagaimana tergambar di footage. Mereka menerobos barikade tentara, mendobrak pagar pembatas, merapat ke depan panggung.

Padahal sebagai penggemar Kantata Takwa seharusnya mereka lebih berbudaya, mengingat sajian grup band ini begitu bermakna dan nyeni. Sekalipun gaya personelnya cenderung urakan.

Memirsa film ini, kita melihat bakat musikal dan teatrikal yang begitu besar dari seniman-seniman Indonesia. Sungguh hebat cara mereka meneriakkan kritik dalam bungkus seni yang indah.

Aksi musikal digarap secara mumpuni. Bahkan di atas panggung pun mereka tetap menyajikan aksi teatrikal. Sajian yang terbilang unik dan langka untuk ukuran grup musik cadas.

Salah satu adegan yang menarik, saat Iwan Fals menyanyikan Bento sembari memainkan gitar diiringi koor belasan bocah yang telanjang usai berenang di kali atau saluran air persawahan.

Adegan disambung aksi kejar-kejaran para bocah dan sejumlah orang dewasa dengan si “Bento” yang terpergok hampir menguasai area persawahan. Melihat adegan kocak ini, penonton pun terpingkal.

Maka sangat disayangkan, sajian yang begitu bagus harus dibungkam sekian lama hingga belasan tahun. Lolongan kritik sosial Kantata Takwa dianggap tabu hingga terpaksa diberangus.

Asikin Hasan, salah seorang penonton, pun menyatakan keheranannya kepada CNN Indonesia, “Aneh juga kalau Pemerintah tak bisa menangkap kritik tajam yang disampaikan Kantata Takwa.”

Dalam pandangan alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memfavoritkan lagu Bento ini, film Kantata Takwa memang bukan semata hiburan, melainkan pemikiran, intelektual.

Sang kurator seni rupa Salihara sekaligus memuji simbol-simbol sarat makna di film ini. “Karya seni yang baik ya seperti itu: tidak menafsirkan sesuatu secara langsung. Surrealistic.

Ditemui di sela pemutaran film ini, Eros Djarot menyatakan kepada CNN Indonesia, “Saya menggarap film ini sembari menerjemahkan puisi-puisi Rendra, sebab kalau sekadar membuat film dokumenter ya pinjam rekaman TVRI saja.”

Menurut Eros, konteks film ini masih relevan di era sekarang. “Unbelievable things to see, setelah sekian lama kualitas manusianya masih sama. Isunya masih sama: keadilan, human right. Kita tidak mengalami kemajuan besar.”
(vga/vga/cnnindoensia)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.