Perjuangan di Ladang Cabai
Sebagai seorang petani (cabai), Widodo jelas merupakan petani yang tak biasa. Bersama rekan-rekan petani lainnya, ia berusaha untuk tetap mempertahankan apa yang menjadi warisan pendahulunya: lahan cabai di tanah pasir pesisir selatan Kulon Progo. Lahan tersebut tidak hanya dipandang sebagai sumber penghidupan semata, melainkan lebih merupakan “titipan” yang mesti atau wajib dijaga oleh dan untuk masyarakat pada umumnya. Karenanya, melalui karyanya yang berjudul Menanam adalah Melawan!
(2013), Widodo mencoba mengulas tentang bagaimana masyarakat pesisir pantai bertahan dan menyambung hidup, bagaimana kesuksesan mereka menyulap lahan pasir yang kumuh dan mati menjadi subur, surga para petani, serta perlawanan dalam perjuangan yang dilakukan demi menjaga sumber penghidupan utama dari berbagai kepentingan-kepentingan diskriminatif.
Pejuang Kemanusiaan
Berawal dari perenungan seorang Sukarman muda – orang-orang sekarang menyebutnya Pak Karman, berasal dari Desa Bugel Kulon Progo, masyarakat pesisir yang tadinya identik dengan kotor, jorok, miskin, tidak berpendidikan, penyakitan, dan semua hal yang jelek-jelek, menjelma menjadi manusia-manusia yang “dikiblatkan” karena kesuksesannya menemukan system pertanian lahan pasir yang sampai hari ini tersohor hingga ke seantero penjuru dan ruang-ruang hidup manusia.
Ketika itu, Sukarman muda yang luntang-lantung karena kegagalan demi kegagalannya dalam melamar pekerjaan, berjalan-jalan di tanah pasir pesisir selatan Kulon Progo untuk melepas kepenatan yang suntuk menyelimuti pikirannya. Dalam kekalutannya itu, secara tak sengaja pandangannya tertuju pada tiga batang pokok pohon cabai yang hidup di antara semak belukar yang tumbuh liar tak terawat. Saat itu juga, ia kemudian merenung dan berpikir lalu mengambil kesimpulan bahwa tumbuhan cabai tiga biji yang tanpa dirawat-dipupuk pun bisa tumbuh dengan subur, apalagi jika yang dengan dirawat-dipupuk dengan baik dan benar, betapa sangat akan suburnya (hlm. 39).
Dari situlah keyakinan Sukarman sangat kuat untuk memulai penanaman cabai di lahan pasir pesisir selatan. Dengan modal pas-pasan, tentu tidak hanya modal dengkul, Sukarman muda terus berupaya mengolah lahan dengan penuh semangat dan sederhana. Tak ada rasa minder, tak ada rasa putus asa dalam ikhtiarnya.
Keyakinannya terus menggejolak bahwa hanya dengan ikhtiar ini, taraf hidup masyarakat akan jauh lebih meningkat di kemudian hari. Dan terbukti, kurang dari 70 hari setelah penanaman tersebut, Sukarman muda mampu memanen 17 kg cabai, yang tentunya merupakan pendapatan besar mengingat penghasilan warga setempat saat itu hanya dari tanaman yang tidak memiliki nilai ekonomi yang baik, seperti ketela, ubi, kentang, yang ketika dijual harganya sangat murah dan yang pasti akan sangat kurang dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Keberhasilan Sukarman muda di tahun 1985-an di atas, tentunya layak untuk diapresiasi. Berkat ikhtiarnya dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir, yang akhirnya menjadi tumpuan hidup lebih dari 10.000 kepala keluarga di pesisir selatan pantai Kulon Progo (hlm. 41), sehingga ia layak menyandang gelar “pejuang kemanusiaan”, pejuang yang menjadikan dirinya sebagai martir untuk mencapai tujuan hidup orang banyak.
Kesuksesan Para Petani vs Kepentingan Para Pejabat
Seiring perkembangan pemikiran dan inovasi para petani pesisir pantai, kerap mengundang daya tarik tersendiri bagi mereka yang rakus akan kekayaan. Tidak hanya sekelompok elit pejabat dan pribadi tertentu, bahkan Negara sekalipun ikut berperan aktif mengarahkan bagaimana keberhasilan para petani diklaim sebagai keberhasilan mereka sebagai binaan. Hal ini tentu berisyarat akan ketidakadilan bagi para petani khususnya.
Lantaran kesuksesan para petani yang terbilang menggiurkan, teori gombal dan model-model basi serta busuk yang dilakukan Negara menjadi pemandangan ironis. Negara seolah berbaik hati kepada para petani dengan membangun beberapa pasar lelang yang katanya diperuntukkan bagi kepentingan dan kebutuhan para petani, tetapi menjalankan system dan tata kelola seenak sendiritanpa melibat-sertakan para petaninya. Hadirnya pasar lelang yang dibangun pemerintah setempat, yang seharusnya tetap berlandas pada sifat-sifat kearifan lokal: swakelola, justru menjadi ajang tumpang-tindih berbagai kepentingan, dan yang dirugikan, lagi-lagi adalah petani itu sendiri.
Maraknya kesimpang-siuran pengelolaan tanaman cabai hari ini, Widodo mencatat, disebabkan karena kebijakan Negara yang tidak berpihak pada petani (hlm. 50). Misalnya, ketika harga hasil bumi naik, tiba-tiba Negara mengeluarkan kebijakan membuka kran-kran impor. Akibatnya, harga hasil bumi menjadi rendah di pasaran. Di sisi lain, Negara dan pemerintah tidak bisa membendung ketika pupuk dan obat-obatan pertanian terus naik yang secara nyata memberatkan para petani sendiri. Sungguh kebijakan diskriminatif.
Dari ranah ini, jelas tergambar sebuah ironi bahwa Negara yang selalu menyatakan diri sebagai Negara agraris, kerap mengingkari agraria dan para petaninya, termasuk juga dalam hal pengelolaan hasil-hasil pertanian. Jelas bahwa Negara tidak bisa memahami atau mungkin secara sengaja untuk tidak memahami tentang bagaimana rakyatnya menikmati dan memaknai arti kehidupannya sendiri yang sesungguhnya.
Misalnya, petani yang secara nyata mampu menata kehidupannya, seperti para petani cabai di pesisir selatan pantai Kulon Progo sebelum adanya campur tangan dari pihak pemerintah atau Negara, selalu dimarginalkan dan diatur atas pertimbangan kepentingan golongan tertentu, bukan untuk kepentingan para petani. Sekali lagi, petani yang terus menjadi korban, yang seharusnya mereka lebih diuntungkan atas hasil bumi yang mereka kelola sendiri.
Apa yang kemudian dituliskan Widodo dalam Menanam adalah Melawan!, mesti diposisikan dan seharusnya dijadikan sebagai instrumen perjuangan tanah air yang hilirnya mengarah pada keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Widodo membuktikan bahwa petani tidak selamanya bodoh dan miskin sebagaimana stereotype yang selama ini mengarah hanya kepada mereka. Ya, mereka memang para petani, tetapi gerakan dan perlawanan yang mereka kumandangkan demi proses “memanusiakan manusia” layak diapresiasi dan tentunya dijadikan sumber inspirasi perjuangan keadilan dan kesejahteraan seluruh umat di bumi manusia ini, terutama bagi mereka yang tertindas.
Bahwa perjuangan Widodo dan rekan-rekannya harusnya menjadi “tamparan keras” bagi kita semua sebagai agent of social control yang hari ini masih bergelut di dunia pendidikan. Jika mereka bisa berteriak bahwa menanam pada dasarnya adalah melawan segala bentuk penindasan atas kehidupan, kenapa kita tidak bisa? Belajar dan berjuang, itulah kunci kehidupan yang sesungguhnya yang diajarkan Widodo.(rimanews)
