News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Linda Djalil, Mantan Wartawati TEMPO, anggap Kompasiana Fasilitasi Jilbab Hitam

Linda Djalil, Mantan Wartawati TEMPO, anggap Kompasiana Fasilitasi Jilbab Hitam


The Jambi Times - Masih rentetan heboh tulisan Jilbab Hitam dengan gaya provokatif, dan tulisan Kompasianer lain yang akhirnya sengaja dihapus admin Kompasiana. Setelah pada hari Minggu, 17 November 2013 kemarin, menjadikan HEADLINE tulisan Iskandar Zulkarnain berjudul Kompasiana, Moderasi Konten Dan Reaksi Dari Dua Kutub [http://media.kompasiana.com/new-media/2013/11/17/kompasiana-moderasi-konten-dan-reaksi-dari-dua-kutub-610309.html#], mungkin tim admin blog sosial keroyokan ini sudah bisa bernafas lega. Maklum, seperti kata Mas Isjet yang juga merupakan salah seorang admin Kompasiana, ada dua kubu yang selalu bertentangan paham dalam menilai dan mencermati Kompasiana.

Menurut Mas Isjet (panggilan Kompasianer kepada Iskandar Zulkarnain), desakan kuat agar Kompasiana meningkatkan seleksi dan penyaringan konten selalu mengemuka, seiring dengan semakin besarnya tuntutan agar media warga ini mengendurkan standar penyaringan konten agar tidak terlalu ketat seperti sekarang.
Kubu pertama ingin agar Kompasiana lebih bertanggungjawab dalam mengelola websitenya. Jangan jadikan website ini sebagai tempat berkumpulnya orang-orang tidak bertanggungjawab, para pembuat rusuh dan penebar fitnah. Plus mewanti-wanti, Kompasiana bisa diseret ke pengadilan karena konten bermasalah, sekalipun artikel itu ditulis dan ditayangkan bukan oleh Kompasiana.

Sementara kubu kedua, jelas Mas Isjet, ingin agar Kompasiana berperan layaknya media sosial atau kanal blog pada umumnya. Memberikan kebebasan kepada penggunanya untuk menulis, berpendapat, berekspresi dan menyampaikan informasi versi warga. Tidak lucu kalau Kompasiana mengaku sebagai media sosial, tapi menerapkan penghapusan artikel sambil berlindung dibalik tata tertib yang dibuat. Apalagi Kompasiana sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa pihaknya tidak bertanggungjawab atas tiap-tiap artikel yang ditayangkan oleh pengguna. Jadi apapun risikonya, biarkan pengguna yang menanggungnya. Kompasiana tidak berhak menghapus artikel yang sudah capek-capek dibuat oleh warga.
***
Saya sengaja memberi penebalan pada pernyataan Mas Isjet terkait kebebasan pengguna Kompasiana untuk menulis, berpendapat, berekspresi dan menyampaikan informasi versi warga. Minimal, kutipan tersebut dapat menjawab tudingan Linda Djalil, mantan wartawati Majalah TEMPO dan GATRA, yang seolah beranggapan bahwa Kompasiana adalah penampung sekaligus fasilitator “surat kaleng”.

Pernyataan Linda Djalil yang cukup menohok Kompasiana ini setelah ada Facebooker lain yang ujug-ujug bertanya soal tulisan Jilbab Hitam pada kolom komentar di bawah lapak status Facebook-nya Linda Djalil. Tayangannya termuat di Group Facebook CITIZEN JOURNALISM PWI JAYA, pada hari Jumat, 15 November 2013. Padahal, saat itu, status Facebook Linda Djalil sama sekali sedang tidak menyoal tulisan Jilbab Hitam. Akhirnya, setengah merasa heran karena muncul pertanyaan seperti itu, tapi Linda Djalil tetap membalas komentar sekaligus pertanyaan tadi:

Lho ? Kok tanya sama saya ? Tanya dong sama admin Kompasiana yg memuat tulisan si Jilbab Hitam itu. Dan tanya sejauh mana tanggungjwbnya memberikan peluang “surat kaleng” di media yg hebat itu ?? salam,

Dalam lanjutan balasan komentarnya, Linda Djalil kembali menandaskan:

Kalau si penulis mengaku eks wartawati tempo, knp hrs mengaku ‘ jilbab hitam”?? Hantu blau pengecut.. Ditampung difasilitasi oleh Kompasiana… Horreee!!!!
***
Dari komentar balasan Linda Djalil itu bisa ditarik tiga kesimpulan: pertama, tulisan Jilbab Hitam adalah tak lebih dari sepucuk “surat kaleng”.

Kedua, karena Jilbab Hitam mengaku sebagai eks wartawati TEMPO dan membuat akun dengan nama Jilbab Hitam di Kompasiana, maka itu dinilainya sama saja dengan sosok ‘hantu blau pengecut’.

Dan ketiga, terkait tulisan “surat kaleng” si Jilbab Hitam itu, Kompasiana yang disebut sebagai media yang hebat oleh Linda Djalil, layak dipertanyakan tanggung-jawabnya karena memberi peluang, menampung dan memfasilitasi tulisan “surat kaleng” si Jilbab Hitam tersebut.

Di Kompasiana, nama Linda Djalil sempat meramaikan dan memantengkan mesin dashboard serta kolom-kolom komentar Kompasianer, terutama pada sekitar November 2010 lalu. Maklum, Linda Djalil sebenarnya adalah Kompasianer juga. Ia bergabung sejak 1 Maret 2009, dan sudah menulis 550 artikel lengkap dengan 4977 tanggapan. Tapi, sejak postingan terakhirnya pada 15 Februari 2012, ia kemudian seperti emoh menulis lagi di Kompasiana. Akunnya adalah Linda [www.kompasiana.com/linda]. Dalam profil-nya, ia menulis, “TEMPO dan GATRA menempa saya untuk selalu jeli, kritis, menulis dengan jujur, dan bekerja keras. Hasilnya? Saya tidak tahu karena yang menilai tentu orang lain. Di KOMPASIANA ini saya sangat menghormati nama pemberian orang tua saya sehingga tidak perlu saya ganti dan palsukan, apalagi memalsukan wajah pada identitas diri”.
***
Sampai di ranah ini, tak ada salahnya saya kembali mengutip tulisan Mas Isjet. Memang BUKAN DIMAKSUDKAN untuk secara langsung menjawab pernyataan Linda Djalil yang menohok itu. Tapi, minimal agar ada sedikit penjelasan dari sisi kerja admin dalam me-moderasi, dan sistem penayangan posting atau tulisan warga di Kompasiana.

Menurut Mas Isjet, tulisan berisi materi jualan atau iklan produk/jasa. Ini mudah dideteksi dan akan langsung dihapus. Lalu tulisan copas atau foto tanpa sumber yang jelas. Untuk tulisan copas, mendeteksinya gampang-gampang susah. Tapi mbah Google sangat membantu. Selanjutnya, yang mudah dideteksi adalah tulisan porno atau mengandung SARA, termasuk tulisan bernada makar, ajakan berbuat kejahatan dan sejenisnya.
Yang susah, aku Mas Isjet, adalah mendeteksi dan mengambil tindakan atas tulisan berisi informasi bohong, atau konten fitnah yang mendiskreditkan pihak lain. Informasi bohong biasanya lebih cepat dideteksi berkat bantuan warga pengguna Internet yang berlomba-lomba melakukan verifikasi informasi lewat media sosial lainnya. Tapi kalau konten fitnah yang mendiskreditkan pihak lain, bagaimana Kompasiana mengetahuinya itu fitnah atau bukan?

Satu-satunya jalan, menurut Mas Isjet, adalah lewat laporan. Tanpa adanya laporan dari pihak terkait, mustahil Kompasiana dapat menilai layak-tidaknya artikel itu tetap tayang di sini. Tapi ada juga beberapa artikel yang terdeteksi sebagai fitnah karena bertolak belakang dengan informasi yang tersebar di media-media massa. Tindakan yang dilakukan pun tidak hanya dengan menghapus, tapi kadang dengan menambahkan penjelasan atau klarifikasi di tubuh artikel.
***
Kini, anggaplah kasus postingan Jilbab Hitam di Kompasiana itu sudah selesai, dan berharap ke depannya tidak ada lagi muncul postingan-postingan bergaya provokatif, tendensius dan mendiskreditkan pihak lain. Pertanyaannya? PERLUKAH ADMIN KOMPASIANA MENYENSOR TULISAN PARA KOMPASIANER SEBELUM DIPUBLIKASIKAN?

Kembali Mas Isjet menuturkan dalam tulisannya, ada orang yang mengharapkan Kompasiana melakukan verifikasi informasi dengan menanyakan dan mengkonfrontir informasi itu ke pihak terkait. Agar hanya konten yang akurat dan valid yang tayang di Kompasiana. Saya bilang itu mustahil dilakukan dan tidak pada posisinya Kompasiana melakukan proses verifikasi informasi yang menjadi standar baku media jurnalistik! Usulan untuk memberlakukan konsep pramoderasi (tulisan diperiksa dulu baru tayang) juga merupakan sebuah kemunduran yang luar biasa, juga tidak dapat diterima dalam konteks praktek dan sistem media sosial.

Saya memendekkannya begini: Sebuah kemunduran yang luar biasa, bila (admin) Kompasiana memeriksa tulisan para warganya lebih dulu sebelum ditayangkan.
*   *   *
Sampai di sini, saya tertegun. Saya menyadari sebuah resiko media sosial. Ke depan, bukan tidak mungkin tulisan si Jilbab Hitam yang dianggap “surat kaleng” oleh Linda Djalil, atau tulisan se-provokatif model tulisannya si Jilbab Hitam bisa nongol lagi di Kompasiana. Pendek kata, kasus ala tulisan Jilbab Hitam itu bisa terulang lagi dengan mudah. Kapan? Ya, tinggal menunggu waktu saja.

Saya cuma bisa berharap, agar si Jilbab Hitam beserta konco-konco ‘hantu blau pengecut’ (meminjam istilah Linda Djalil) itu tidak lagi mem-posting “surat kaleng”. Semoga mereka sadar, dan kemudian mengirim “susu kaleng” saja untuk para korban topan Haiyan di Filipina.Seperti yang di langsir rimanews(Gapey Sandy,kompasioner/KCM)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.