Untuk Siapa ?
THE JAMBI TIMES - JAMBI - Ketika saya menerbitkan majalah Kalisa, banyak teman-teman pengajian yang bertanya, “Majalah ini diterbitkan untuk siapa?
Untuk internal atau eksternal?”
Jauh-jauh hari sebelumnya, pertanyaan yang sama juga diajukan ketika saya membuat blog ini. “Blog ini dibuat untuk siapa?”
Terus terang, saya bukan orang yang netral, seperti juga kebanyakan
manusia. Sebab, seperti ditegaskan Allah sendiri, Ia tidak menciptakan
dua ‘hati’ dalam satu rongga dada (QS33:4). Tentu pernyataan itu
dimaksudkan olehNya, agar kita – yang mengaku mu’min – hanya menyimpan
satu kecenderungan di dalam rongga dada. Yaitu kecenderungan untuk hanya
mengabdikan diri kepadaNya, dengan mengikuti sunnah (cara; pola) yang diajarkan olehNya melalui para rasulNya.
Sunnah Rasul, khususnya sunnah rasul terakhir, Muhammad saw,
adalah sebuah ‘jalan hidup’ yang lurus dan terang benderang, dan
merupakan jaminan keberhasilan untuk menegakkan Al-QurĂŁn. Bila
menggunakan istilah madzhab (مذهب), yang secara harfiah mempunyai pengertian yang sama dengan sunnah, maka Sunnah Rasul Nabi Muhammad saw adalah satu-satunya madzhab yang sah (legal) menurut Allah; seperti yang ditegaskanNya melalui sebuah ayat yang populer (QS33:21).
Dengan kata lain, Sunnah Rasul adalah ‘jejak langkah’ yang
ditinggalkan Rasulullah, yang harus ditelusuri oleh siapa pun yang
merasa sebagai pengikut beliau.
Bila dikonkretkan, dan disusun secara berurut, jejak-jejak beliau itu mencakup hal-hal sebagai berikut.
1. Cara beliau menerima wahyu
2. Cara beliau mengajarkan wahyu (berda’wah)
3. Cara beliau membentuk dan membesarkan umat
4. Cara beliau menghadapi tantangan ketika berda’wah dan membangun umat
5. Cara beliau berhijrah (dari lingkungan yang tidak kondusif ke lingkungan kondusif)
6. Cara beliau membangun masyarakat baru berdasar wahyu
7. Cara beliau membela kedaulatan masyarakat yang sudah dibangun
8. Cara beliau meluaskan jangkauan (ekspansi) da’wah
Cara-cara (sunnah) Nabi Muhammad tersebut tentu harus menjadi pola (patron) bagi siapa pun atau kelompok mana pun yang memang istiqamah pada syahadat mereka (asyhadu allĂŁ ilaha illallĂŁhu wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah).
Projek bersama
Sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai kelompok bangsa dan agama
menjadi pecundang di hadapan musuh-musuh mereka karena tidak mempunyai
“musuh bersama”. Bahkan ketiadaan musuh bersama itulah yang pada
akhirnya membuat mereka saling mencari-cari kesalahan, sehingga mereka
menjadi saling bermusuhan sendiri. Begitulah agaknya yang terjadi pada
“umat Islam” di seluruh dunia.
Tapi, mungkin tak banyak orang tahu, bahwa Rasulullah meninggalkan satu pesan mendasar dalam sebuah kalimat pendek berbunyi: afsyĂ»s-salĂŁm. Syi’arkan As-SalĂŁm(u).
Harfiah, as-salĂŁm(u) berarti kedamaian atau perdamaian. Tapi secara istilah, As-SalĂŁm(u) adalah sinonim (muradif) dari Al-IslĂŁm(u), agama Islam. Jadi, AfsyĂ»s-SalĂŁm, secara istilah, berarti “sebarkan (agama) Islam”!
Sekarang, agama Islam sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Tapi, adakah perdamaian di tengah para pemeluknya? Maukah para pemeluknya saling berdamai seperti diperintahkan Allah (QS49:10).
Lebih jauh, bila para pemeluknya bisa saling berdamai, maka niscaya
mereka – dengan jumlah yang konon mencapai 1,5 milyar – bakal mampu
tampil sebagai pendamai di tingkat dunia!
Kini, ternyata, mereka bukan hanya tidak mau saling berdamai dengan
sesama muslim dan otomatis tak sanggup tampil sebagai pendamai, bahkan
untuk mengatasi masalah ‘internal’ sendiri pun mereka harus mengundang
kekuatan asing!
Sungguh amat sangat memilukan. Memprihatinkan. Ironis tiada tara.
Yang namanya “umat Islam” ternyata memang tidak tahu musuh bersama.
Bahkan, alih-alih mengenal musuh bersama, mereka satu sama lain malah
seperti bersepakat untuk saling bermusuhan.
Mereka (= kita) seolah-olah tak kenal pepatah “bersatu teguh, bercerai runtuh”.
Sampai kapan mau terus begitu?
Sampai punya musuh bersama, yang menyatakan perang kepada kita secara blak-blakan (verbal)?
Percayalah. Dalam situasi dunia sekarang ini, tak akan pernah ada
“musuh Islam” yang menyatakan perang secara demikian. Mengapa? Sebab,
memang bukan zamannya!
Bila menggunakan ungkapan orang Jawa, zaman sekarang adalah musimnya
orang memangku untuk membunuh (membunuh dengan cara pura-pura
menyayangi). Orang membunuh kita dengan cara memberi utang, misalnya.
Atau, yang ‘agak kasar’, memberi kita bantuan persenjataan untuk
memerangi saudara sendiri.
Meskipun demikian, saya tidak setuju bila ada usul agar, mulai
sekarang, ayo kita definisikan, mari kita tentukan, siapa musuh bersama
kita!
Tidak! Bila yang dimaksud musuh adalah orang-orang di luar Islam.
Rasulullah mengajarkan bahwa perjuangan terbesar (jihadul-akbar)
adalah perjuangan melawan nafsu. Dan, harap dicatat, bahwa nafsu yang
dimaksud bukanlah nafsu orang per orang yang harus diperangi secara
individual (saja!), tapi adalah “nafsu manusia senegara (Madinah!), yang
memeranginya adalah dengan cara penegakan hukum, alias law inforcement.
Dalam konteks ucapan Rasulullah, tentu hukum yang dimaksud adalah hukum
Allah (Al-QurĂŁn), yang disepakati sebagai hukum positif (berlaku dalam
negara). Hukum demikian, tidak berlaku bagi mereka yang ada di luar
wilayah negara (Madinah Rasul).
Jadi, musuh bersama kita, yang mengaku “umat Islam” adalah diri kita
secara majemuk. Yakni diri-diri yang terbungkus dalam ‘tubuh’ umat.
Sekali lagi, diri-diri itu, secara keseluruhan, tidak akan pernah
sukses memerangi diri masing-masing. Sebaliknya, kita semua, bila dalam
keadaan seperti bersatu tapi tidak menyatu, atau seperti lidi-lidi tapi
tidak terikat menjadi sapu lidi, maka selamanya kita hanya akan menjadi
“seperti buih di lautan”. Atau seperti kambing-kambing di tengah
kepungan para jama’ah serigala.
Maka, alih-alih mencari musuh bersama di luar diri (majemuk) kita, lebih baik kita memastikan “projek bersama”.
Apakah gerangan “projek bersama” kita?
Bila bertolok ukur pada pesan Rasulullah, para mu’min hakikatnya adalah orang-orang asing (al-ghurabĂŁ’).
Manusia-manusia aneh. Apa ‘keanehan’ mereka? Jelas tegas Rasulullah
mengatakan bahwa para mu’min adalah mereka yang melakukan perbaikan atas
“sunnahku” yang dirusak orang. Atau, dengan kata lain, mereka adalah
yang menghidupkan lagi “sunnahku” yang dimatikan orang.
Lalu, apa itu “sunnahku”?
Itulah Sunnah Rasul Muhammad saw.
Jelasnya?
Seperti disebutkan di atas, Sunnah Rasul Muhammad saw mencakup sedikitnya delapan perkara.
- Cara beliau menerima wahyu
- Cara beliau mengajarkan wahyu (berda’wah)
- Cara beliau membentuk dan membesarkan umat
- Cara beliau menghadapi tantangan ketika berda’wah dan membangun umat
- Cara beliau berhijrah (dari lingkungan yang tidak kondusif ke lingkungan kondusif)
- Cara beliau membangun masyarakat baru berdasar wahyu
- Cara beliau membela kedaulatan masyarakat yang sudah dibangun
- Cara beliau meluaskan jangkauan (ekspansi) da’wah
Dengan kata lain, “proyek bersama” kita adalah melaksanakan ‘delapan’
hal dengan satu cara, yaitu cara Rasulullah. Bukan dengan cara kita
secara individual dan atau madzhab (aliran, golongan).
Itulah yang akan membuat kita melupakan perbedaan furu’iyyah (cabang; bukan pokok); karena kita mempunyai kesepakatan jam’iyyah (jama’ah; umat).
Kesadaran demikian itulah yang harus dibentuk oleh umat Islam
sedunia, bila ingin bebas dari murka dan azab Allah, sebagai akibat dari
perselisihan dan perpecahan internal.
Majalah kalisa dan blog ini – in syaAllah – mengusung missi penyebarluasan kesadaran seperti itu.
Maka, kepada “sobat-sobat seperguruan”, mohon maaf bila majalah ini seperti tidak mewakili “madzhab kita”.
Tapi, bila “madzhab kita” itu identik (sama dengan) madzhab
Rasulullah, maka kita dan mereka yang di luar kita, saya kira, masih
berkeadaan sama. Yaitu sebatas mengklaim (= mengaku-aku!) sebagai yang
paling pas mengikuti Rasulullah saw.
Padahal, klaim-klaim itu baru sebatas angan-angan.
Yuk, mari, kita berlapang dada untuk sama-sama mengakui kekurangan dan kelemahan kita.
Dan, mari kita bersatu dalam “proyek bersama” untuk membangun kekuatan dan kejayaan.(A.H)