Politik dan Da’wah
Politik adalah sebuah kenyataan.
Da’wah adalah sebuah cita-cita.
Politikus adalah tuan rumah, yang kadang tidak ramah.
Da’i adalah tamu asing, yang kadang dianggap musuh.
Dan menurut sejarah, da’wah pun bisa menjadi benih revolusi.
Siapa (tidak) takut?
Bicara politik adalah bicara tentang sejumlah manusia yang hidup di
sutu negara dengan sebuah sistem pemerintahan yang sedang berjalan,
bukan yang akan atau harus berjalan. Dengan kata lain, bicara politik
adalah bicara tentang status quo (keadaan yang sedang berlangsung sekarang).
Ibarat mesin, politik adalah mesin yang sedang bergulir, dan
produk-produknya terus mengalir, dan kadang membanjir. Di antara
produk-produknya itu, sebagian memang dibutuhkan oleh masyarakat.
Tapi, kadang kala, sebagian atau malah keseluruhan dari produk-produk
itu, adalah sesuatu yang harus ‘dibeli’ oleh rakyat karena ketakutan,
atau diterima dengan seala kesakitan (misalnya kenaikan harga). Dengan
kata lain, mesin politik itu kadang menderu-deru hanya demi kepentingan
beberapa gelintir orang (para elit politik, konglomerat) di belakang
mesin itu.
Siapakah hakikatnya di balik mesin itu?
Enerji apa yang mereka gunakan untuk menghidupkan mesin itu? Dan
mengapa mereka menciptakan mesin yang hanya bermanfaat demi memenuhi
kepentingan mereka sendiri?
Menurut Nabi Muhammad, ilmu adalah penentu amal. Kata beliau pula,
setiap amal (perilaku, tindakan) adalah perwujudan dari niat (motivasi).
Dan, di dalam Al-Qurãn disebutkan tentang adanya segolongan orang yang
mempertuhan diri sendiri. Bila dikaitkan denan mesin politik tadi, para
penciptanya tentu mengadakannya berdasar suatu ilmu tertentu, dengan
motivasi tertentu, tanpa peduli pada Tuhan pencipta alam.
Di situlah kita melihat hubungan politik dengan da’wah.
Politik, yang tak ubahnya mesin itu, adalah produk sebuah ilmu. Dan
ilmu, tentu saja, diserap dan disampaikan melalui suatu prosed
belajar-mengajar.
Da’wah, pada hakikatnya, adalah proses belajar-mengajar, alias proses
penyampaian suatu ilmu. Katakanlah bahwa ilmu yang disampaikan itu,
dengan cara apa pun, adalah sebuah ilmu yang akhirnya bisa menjelma
menjadi sebuah sistem pemerintahan. Maka, da’wah (proses penyampaian
ilmu itu), akhirnya (bisa) menjadi kenyataan politik. Dengan kata lain,
kenyataan politik itu sebenarnya adalah sebuah produk dari da’wah.
Sayangnya, yang berda’wah kepada para politikus status quo itu dulu, mungkin, adalah setan dan kawan-kawan.
Mungkin pola pikir seperti itulah yang ada di benak para da’i yang
bersemangat berda’wah secara lisan maupun tulisan kepada orang-orang
penting, termasuk para elit politik itu. Bahkan di antara mereka pun ada
yang terjun ke dunia politik praktis, dengan membentuk partai politik,
atau hanya menjadi anggota partai yang menurut mereka didirikan dengan
semangat da’wah.
Mungkin di antara mereka ada yang terilhami oleh ayat yang berbunyi, “Pergilah kamu (Musa) menemui (raja) fir’aun; karena dia itu amat sangat durhaka. (Surat Thaha ayat 24).
Musa, seorang rasul, disuruh Allah menemui Fir’aun, karena ia amat sangat durhaka. Lantas, bagaimana bentuk kedruhakaannya?
Fir’aun itu menempati posisi tertinggi di negaranya (Mesir), melalui
cara memecah belah warga negaranya, dengan melumpuhkan sebagian dari
mereka; ‘menyembelih’ anak-anak lelaki (warga berjiwa satria dan
pemberani) dan membiarkan hidup para wanita (warga bermental lemah dan
penjilat). Pendeknya, ia berperilaku sebagai perusak kehidupan. (Surat
Al-Qashash ayat 4).
Untuk apa Allah mengutus Fir’aun?
(Dengan da’wah Taurat) Kami (Allah) bermaksud memberi anugerah
kepada mereka yang tertindas di negeri itu (Mesir); yakni akan Kami
jadikan mereka para imam (pemimpin), dan selanjutnya menjadikan mereka
para pewaris (pengganti Fir’aun dan semua kaki-tangannya). (Al-Qashash ayat 5).
Jelaslah, betapa gagahnya tujuan da’wah Musa itu. Yaitu untuk
mengubah sebuah kenyataan politik. Tapi, kita tahu, betapa hebat pula
perlawanan Fir’aun dan para pendukungnya.
Maka, bila kita sudah berani menentang Fir’aun dan kawan-kawan, apakah sudah siap pula menghadapi reaksi keras mereka?
Selain itu, sebelumnya, sudah pulakah kita layak menyejajarkan diri dengan Musa?
Musa, dan semua rasul Allah, adalah jiwa-jiwa hanif hasil didikan
Allah. Mereka berjuang, dengan mengerahkan kekuatan jiwa dan raga,
semata-mata lillahi ta’ala. Tak ada secuil pun ambisi pribadi.
Para pejuang yang hanya mengusung ambisi pribadi, sering juga sukses
menumbangkan seorang penguasa durjana. Tapi setelah itu, mereka tampil
menjadi penguasa durjana yang baru.
Mereka menumbangkan satu Fir’aun, untuk menjadi Fir’aun yang lain.(a.h)