News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Proyek Pembinaan Bakti Bangsa

Proyek Pembinaan Bakti Bangsa

  

Visi:
  • Menggarap konsep hidup (way of life) dari Allah (Al-Kitãb) yang obyektif ilmiah menjadi karakter manusia, dalam sebuah Proyek bernama Proyek Pembinaan Bakti Bangsa (PPBB);
  • Mengubah pandangan dan sikap hidup (PDSH) yang bernilai eksperimental (coba-coba; spekulasi) menjadi PDSH yang patronal (mengikuti pola/uswah), untuk melahirkan manusia-manusia yang saling peduli dan saling memakmurkan.
  • Mempersatukan umat Islam dan para pemeluk agama-agama lain dalam kesatuan kesadaran untuk berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbakti terhadap nusa dan bangsa, serta bekerja-sama dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bangsa Indonesia secara khusus, dan dunia secara umum.
Misi:
  • Melakukan berbagai jenis usaha perdagangan dan jasa mulai dari kecil-kecilan sampai sebesar-besarnya, untuk mendanai seluruh kegiatan Proyek, sehingga Proyek dapat berjalan secara mandiri.
  • Menggalang kepedulian dan keterlibatan setiap lapisan masyarakat untuk menjalankan visi tersebut.
  • Menghimpun para pakar dalam berbagai disiplin ilmu dan ketrampilan untuk mendidik para pemuda/pemudi yang akan menjadi para pemimpin bangsa di segala bidang kehidupan.
  • Menghimpun para sukarelawan yang siap melakukan pekerjaan-pekerjaan teknis yang dikuasai.
  • Menerbitkan media informasi yang mencerahkan, dan dapat menjangkau masyarakat seluas-luasnya.

Latar belakang

Latar belakang atau motivasi (an-niyyah, niat) yang mendesak lahirnya proposal ini dapat didata secara ringkas sebagai berikut:
  1. Permasalahan aktual bangsa yang tidak kunjung bangkit dari lubang keterpurukan, bahkan berbagai bencana alam yang datang susul-menyusul semakin menghimpit rakyat dalam penderitaan dan menambah beban pemerintah yang sudah berat menjadi semakin berat.
  2. Delapan tahun setelah kejatuhan Suharto, bangsa Indonesia telah berhasil menampilkan empat orang presiden. Dimulai dengan B.J. Habibie, yang cukup sukses sebagai figur transisi tapi gagal menggapai legitimasi untuk menjadi presiden yang sebenarnya. Kemudian Abdurrahman Wahid, yang berhasil mengembalikan istana menjadi rumah rakyat namun gagal mengelola negara. Lantas, Megawati yang menjadi orang nomor satu negeri ini, yang belum lagi tuntas mengkonsolidasi pemerintahnya, sudah disibukkan oleh persiapan menghadapi pemilihan umum,[1] yang akhirnya membuatnya harus merelakan kekuasaan jatuh kepada mantan menterinya sendiri, Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Selanjutnya, SBY, yang menjadi presiden RI pertama hasil pilihan rakyat secara langsung, harus menjalankan pemerintahan di bawah segala sorotan dan diganduli segala tuntutan yang tentu tidak bisa dipenuhinya semudah ketika tuntutan-tuntutan itu diucapkan sebagai janji. Kenyataannya, permasalahan bangsa ini, yang begitu banyak dan rumit, pastilah tidak mungkin – bahkan tidak adil, bila hanya dibebankan kepada seorang presiden.
  3. Pecahnya reformasi, yang selanjutnya melahirkan eforia kebebasan, berdampak pada pengabaian azimat bangsa, yakni Pancasila, yang sebenarnya merupakan anugerah terbesar bangsa ini. Akibatnya, polarisasi pandangan hidup berbangsa dan bernegara tumbuh semakin liar.
  4. Sejak awal kemerdekaan, Pancasila, bhineka tunggal ika, dan UUD 1945 telah dihidupkan dengan spirit (ruh) demokrasi liberal, sehingga Bung Karno sempat melahirkan gagasan Demokrasi Terpimpin, dan Suharto kemudian juga menerapkan secara terselubung gagasan Bung Karno itu, sehingga ia tampil sebagai pemimpin otoriter selama sekitar 32 tahun. Akhirnya, ketika Suharto dijatuhkan, liberalisme atas nama reformasi di segala bidang pun merebak, membuat anak-anak bangsa ini seolah berubah jadi kuda-kuda liar yang lepas kekang dan siap melabrak segala pagar.
  5. Umat Islam, sebagai bagian terbesar (mayoritas) bangsa, yang seharusnya menunjukkan dan membuktikan keunggulan ajaran Islam – untuk menciptakan dan menjaga keseimbangan serta perdamaian hidup – malah terjebak dalam pertikaian wacana yang tidak berujung dan terus sengit dalam sikap saling benci dan menyalahkan antar mazhab dan golongan, sehingga terjerumus ke dalam sikap saling serang yang jelas meresahkan dan mengerikan, yang bila dilanjutkan tentu akan berakhir pada kehancuran bangsa secara keseluruhan.
Kelima butir masalah di atas – antara lain, tentu telah menyiksa batin setiap anak bangsa – dari unsur mana pun – yang mempunyai kepedulian mendalam atas nasib bangsanya. Entah berapa banyak air mata yang tertumpah bersama tangis dan rintih dalam doa-doa pribadi maupun dalam kerumunan besar umat yang melakukan istighatsah dan doa-doa bersama. Telah banyak pula di antara mereka yang melakukan berbagai usaha serta menelurkan berbagai konsep untuk memperbaiki keadaan. Namun, keadaan bangsa kita tak juga kunjung bangkit dari keterpurukan. Bahkan berbagai bencana yang datang sambung menyambung semakin membuat kita sedih dan bingung.
Apa sebenarnya yang harus kita lakukan?

Siapa yang dapat meyakinkan, atau apa ukurannya, supaya tindakan yang kita lakukan untuk memperbaiki nasib bangsa ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang benar?

Menafsir Ulang Pancasila

Sejak bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan, Pancasila sebagai falsafah bangsa telah ditafsirkan secara “sekehendak hati” oleh berbagai unsur (kekuasaan) bangsa ini, dan pada umumnya penafsiran itu lebih diwarnai oleh semangat (spirit) demokrasi liberal, sehingga Bung Karno pada zamannya sempat dibuat kebingungan karena pemerintahannya selalu mendapat rongrongan, yang akhirnya menimbulkan gagasan untuk menciptakan Demokrasi Terpimpin.

Ketika Bung Karno akhirnya dijatuhkan, tampillah Suharto sebagai pengganti, yang ternyata – secara terselubung – menjalankan konsep Demokrasi Terpimpin itu. Suhartolah pula yang berhasil memaksakan tafsirnya atas Pancasila – sehingga menjadi semacam dogama – melalui program Penataran P4-nya.

Tindakan Suharto itu sebenarnya tidak seluruhnya buruk dan salah. Setidaknya, melalui doktrin P4, Soeharto memberikan gambaran yang jelas, memberikan contoh bagaimana membuat Pancasila menjadi sebuah bangunan yang berisi, bahkan menjadi mesin yang membantu kekuasaannya menggelinding. Namun, karena tafsirnya bersifat subyektif, dan jelas hanya mewakili kepentingan politik kekuasannya, maka  tidak aneh bila kejatuhan Soeharto otomatis membawa Pancasila ikut jatuh, karena yang jatuh adalah “Pancasila Soeharto”.

Sekarang, setelah melewati masa 8 tahun sejak Reformasi, keinginan untuk menghidupkan kembali Pancasila mulai menggema di mana-mana. Sebagai akibatnya, mau tak mau, penafsiran baru atas Pancasila pun harus dilakukan. Tapi, masalahnya, siapa yang berhak menafsirakan dan bagai-mana caranya?

Pada dasarnya, bisa dikatakan bahwa siapa pun dan pihak mana pun dari bangsa ini, semua mempunyai hak yang sama untuk menafsirkan Pancasila, dengan catatan bahwa penafsirannya tidak dilakukan secara sembarangan.

Bahkan, bila ternyata Pancasila telah didiamkan tanpa termaknai, sehingga tidak terpakai, tidak fungsional, maka yang semula hanya hak itu akhirnya bisa menjadi kewajiban; karena bila tidak ditafsirkan tentu Pancasila akan menjadi sebuah omong kosong. Dan bila itu terjadi, maka terkutuklah para pemimpin bangsa ini, karena membiarkan bangsanya terus hidup dalam kebingungan yang cenderung menimbulkan pertentangan dan saling baku hantam.

Pancasila sebagai sebuah “falsafah” (philosophy), yang tak lain merupakan sebuah disiplin ilmu, tentulah harus ditafsirkan secara ilmiah (scientific). Dengan demikian, jelaslah bahwa proses penafsirannya harus memenuhi syarat-syarat metodis, sistematis, analitis, sehingga hasilnya tentu menjadi sebuah tafsir yang obyektif,  yang membawa kemaslahatan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Berdasar kesadaran demikian itulah, maka kami mengajukan – sebagai tawaran alternatif-komparatif – tafsir Pancasila dari sudut pandang (metode) agama Islam.

Sekali lagi, tafsir Pancasila di bawah ini adalah sebuah tawaran alternatif-komparatif, sebuah hidangan untuk dikaji dan diuji dalam proses pembandingan (comparative study) ilmiah dengan tafsir-tafsir lain yang tentu akan atau telah dimunculkan pihak-pihak lain.
Kami mengajukan tafsir demikian:

1. Ketuhanan yang maha esa

Tauhid:

kesatuan pandangan dan sikap hidup bangsa indonesia  terhadap Al Kitab – Al Quran satu konsep hidup dari Tuhan

Aqidah:
Ikatan Sosial Budaya Bangsa Indonesia dengan Tali/ajaran Allah/gerak hidup sebatas radius ajaran Allah  mengizinkan

 Sila pertama, ketuhanan yang maha esa, adalah satu prinsip tauhid, yaitu “kesatuan (lawan dari ‘polaritas’) pandangan dan sikap hidup” bangsa Indonesia terhadap Al-Kitãb – Al-Qurãn, sebagai satu konsep hidup ilmiah dari Tuhan (Allah). Kesatuan pandangan dan sikap hidup  (PDSH) ini dengan sendirinya akan menghilangkan polarisasi (pengkubuan) serta kecenderungan menonjolkan aliran atau mazhab serta golongan masing-masing, yang selama ini telah terbukti hanya membuat umat Islam menjadi umat yang besar dalam segi kuantias namun kecil dan lemah dalam segi kualitas. Sebagai dampaknya, karena umat Islam lebih asyik hidup dalam naungan ‘tempurung’ aliran/mazhab/golongan sendiri-sendiri, maka lupalah mereka pada tujuan inti hidup berbangsa, bernegara, dan ber-Islam itu sendiri. Mereka – dalam polarisasi aliran/mazhab/golongan – hidup tak ubahnya para penderita autis, yang asyik dengan urusan sendiri, hidup di dunia sendiri, sehingga otomatis tidak mau peduli kepada urusan orang lain (negara, bangsa, dan dunia). Kalaupun kepedulian itu ada, maka yang ditonjolkan tetaplah ciri dan warna aliran/mazhab/golongan sendiri, yang dianggap sebagai wakil atau wujud kebenaran.

Hal yang sama – sebenarnya – juga terjadi pada umat agama-agama lain yang ada di Indonesia. Polarisasi umat ke dalam aneka aliran/sekte juga terjadi di tengah mereka.

Maka, dengan kesatuan PDSH ini juga, para pemeluk agama-agama lain, yang mengakui sila ketuhanan yang maha esa  sebagai PDSH mereka, diharapkan agar bersatu dengan umat seagama, dan dengan umat Islam, untuk bekerja bersama-sama dalam membangun dan memajukan bangsa Indonesia sebagai wujud bakti alias pengabdian terhadap Tuhan dalam tindakan yang real dan kasat mata, yaitu dalam karya-karya pembangunan.

Selain prinsip tauhid, sila pertama tersebut juga mempunyai sisi lain yang tak kalah penting, yaitu ‘aqidah (ikatan). Dan yang dimaksud dengan aqidah di sini adalah “ikatan sosial budaya bangsa Indonesia dengan tali (ajaran) Allah, yang membuat bangsa ini hanya bebas bergerak hidup (beraktifitas) sebatas tali ajaran Allah mengijinkan. Dengan kata lain, prinsip ini menegaskan agar bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa yang relijius, yang konsisten dengan pengakuan sebagai bangsa beragama, dan patuh sepatuh-patuhnya terhadap ajaran Tuhannya masing-masing.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

 

Jati diri manusia:
Menyadari asal usul manusia

Hak Asasi Manusia: 

Menyadari  manusia telah menerima segala fasilitas dan aturan hidup dari Tuhannya
Kewajiban Asasi Manusia: 

Menyadari tanggung jawabnya melalui memahami dan mentaati perintah dan larangan Tuhannya

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, pada hakikatnya berbicara tentang jati diri manusia, sebagai makhluk yang selayaknya menyadari asal-usul, tempat hidup, dan tujuan hidupnya yang sejati (hakiki).

Sila ini juga mengandung pesan agar manusia – khususnya manusia Indonesia – menyadari hak asasinya, yang telah diberikan oleh Allah dalam bentuk segala fasilitas dan aturan hidup.

Berdasar hak yang telah diterimanya – tanpa kurang suatu apa – manusia (Indonesia) tentu mempunyai kewajiban asasi, menyadari tanggung jawabnya, mulai dari kewajiban untuk memahami ajaran Tuhannya, dan selanjutnya menaati perintah dan laranganNya.

Itulah – antara lain- ciri-ciri manusia yang adil (sadar hak dan kewajiban) dan beradab (hidup berdasarkan konsep peradaban dari Tuhan).

3. Persatuan Indonesia

Kesatuan visi dan misi untuk memperjuangkan, membela dan mempertahankan kesatuan pandangan dan sikap hidup serta kesatuan wilayah bangsa Indonesia (NKRI) berdasarkan Kitab Tuhannya, sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang taat kepada Tuhannya.

Persatuan Indonesia bukanlah sesuatu yang terbentuk secara otomatis. Persatuan itu terjadi setelah melewati sejarah penjajahan dan perjuangan yang panjang. Selanjutnya, setelah dirumuskan dalam semboyan “berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu”, persatuan itu tidak akan bertahan bila kita tidak mempunyai visi dan misi yang sama. Hal ini sudah dibuktikan melalui pengalaman baru-baru ini, setelah pecahnya Reformasi. Setelah kita lepas dari kekuasaan Orde Baru yang mengikat dan mencengkam, berbagai gagasan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia muncul di mana-mana.

Karena itu, bila kita masih ingin menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia, maka kita harus membenahi visi dan misi bangsa ini, dengan menempatkan Kitab Tuhan sebagai rujukan.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan Dalam permu-syawaratan/perwakilan

Rakyat/mukmin bermusyawarah untuk memilih wakil (pimpinan) berdasarkan  “Hikmah”   kebijaksanaan yakni Al Kitab–Al Quran (Bil hikmah wal-mau’izhah hasanah)

Rakyat Indonesia adalah para mukmin, yakni orang-orang beriman, yang pasti memilih wakil (pemimpin) mereka berdasar Hikmah (kebijaksanaan) Tuhannya, yang tertuang dalam Al-Kitãb – Al-Qurãn. Karena itu, mereka tidak mungkin memilih pemimpin yang tidak beriman, yang pasti tidak bisa memegang amanat, cenderung mementingkan diri sendiri, melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan tidak mengindahkan nilai moral apa pun, kecuali yang menguntungkan diri dan kepentingannya sendiri.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

 Hak Bangsa Indonesia untuk mendapatkan perlindungan secara adil dalam hidup berbangsa dan bernegara serta beragama sesuai dengan ketentuan Al Kitab –   Al-Qurãn atau Kitab Tuhannya.
Setiap pribadi bangsa Indonesia adalah “orang-orang yang berhak” diperlakukan secara adil dan mendapatkan keadilan dalam hidup berbangsa, sesuai dengan ketentuan Al-Kitãb – Al-Qurãn atau Kitab Tuhannya, dan hak itu dilindungi oleh Negara, yakni Pemerintah yang dipilih oleh mereka (rakyat).

SUKSES SEORANG MUHAMMAD

Tak banyak diungkapkan bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib sebelum menjadi nabi/rasul pernah aktif dalam sebuah organisasi bernama Hilful-Fudhul, yang dibentuk tak lama setelah Perang Fijar, yaitu perang antar suku-suku Arab yang berlangsung selama 4 tahun (walau dalam setahun cuma beberapa hari), yang menghasilkan perpecahan yang parah. Hilful-Fudhul dibentuk oleh para elit (bangsawan) Quraisy yang ingin menciptakan perdamaian di tengah bangsa Arab.

Tidak ada yang mencatat secara gamblang apa peran Muhammad dalam organisasi itu. Tapi sebuah Hadis Muslim yang mengisahkan saat-saat setelah Muhammad menerima wahyu pertama memberikan sedikit gambaran tentang apa saja yang dilakukan Muhammad, sebagai seorang pemuda yang mempunyai kepedulian besar atas masalah bangsanya, secara khusus, dan manusia secara umum.

Ketika Muhammad bingung dan cemas tentang keadaan dirinya setelah menerima wahyu pertama, Khadijah mengatakan demikian, “Jangan cemas. Gembirakanlah hati Anda! Percayalah, Allah tidak akan menimpakan kehinaan pada diri Anda selama-lamanya. Bukankah Anda selalu bersikap ramah tamah, menghubungkan silaturahmi, selalu beribicara benar, selalu menunaikan tugas kewajiban, menye-diakan yang belum ada, memuliakan tamu, dan membela orang-orang yang kesusahan demi menegakkan kebenaran.”[2]

Pilihan Muhammad untuk sering mengasingkan diri di  Goa Hira, ada kemungkinan merupakan indikasi bahwa Hilful-Fudhul gagal mewujudkan perdamaian, dan Muhammad pun merasa tidak bisa berharap lagi terhadap organisasi tersebut.

Akhirnya, jeritan batin Muhammad dijawab Allah dengan penu-runan wahyu, yang ternyata merupakan solusi bagi bangsa Arab yang carut-marut itu, yang selanjutnya bahkan merupakan solusi bagi permasalahan dasar umat manusia.

Tapi, bagaimanakah Allah – melalui Nabi Muhammad – membuat wahyu itu menjadi efektif sebagai solusi? Strategi dan taktik apa yang diajarkanNya kepad Nabi Muhammad sehingga ia mampu meng-ubah segolongan masyarakat tertindas menjadi para pahlawan kema-nusiaan yang jasanya layak ditulis dengan tinta emas?

Langkah-langkah penyebaran wahyu

Penyebaran wahyu dilakukan Nabi Muhammad – pertama-tama – kepada orang-orang terdekat yang tinggal seatap dengannya, yaitu istrinya (Khadijah), saudara sepupunya (Ali bin Abu Thalib), dan pembantunya (Zaib bin Haritsah). Setelah itu, orang luar rumah yang dikenalkannya dengan wahyu adalah juga orang terdekat, yakni sahabat terbaiknya, Abu Bakar, yang kemudian mengajak Utsman.

Entah berapa lama kemudian, terkumpullah sejumlah orang yang secara bersama-sama menerima pelajaran wahyu di rumah Arqam bin Arqam, yang selanjutnya dikenal sebagai “Darul-Arqam”.

Tidak ada rincian tentang jumlah dan nama orang-orang yang berkumpul di Darul-Arqam. Tapi jelas ada yang menyebut nama Hamzah, salah satu paman Nabi Muhammad yang merupakan saingan Umar bin Khatthab dalam hal ‘kepremanan’. Di rumah inilah memang – pada akhirnya – Umar bin Khatthab menyatakan diri sebagai pengikut Nabi Muhammad.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Darul-Arqam? Apakah rumah itu menjadi tempat belajar bagi semua orang yang bersedia menanggapi wahyu, atau hanya merupakan tempat pengkaderan bagi orang-orang tertentu saja, yang kelak bisa diandalkan sebagai ujung tombak da’wah?

Isyarat 5 surat awal

Bila kita perhatikan 5 surat yang tercatat sebagai surat-surat awal, akan kita temukan sebuah isyarat yang selama ini mungkin kurang diperhatikan.

Menurut sebuah versi asbabu-nuzul, kelima surat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Surat Al-‘Alaq, 2. Surat Al-Qalam, 3. Surat Al-Muzzammil, 4. Surat Al-Muddattsir, dan 5. Surat Al-Fãti-hah (satu-satunya surat yang diturunkan secara utuh sekaligus).

Surat Al-‘Alaq pada intinya menekankan bahwa Allah adalah pengajar ilmu bagi manusia (‘allamal-insãna mã lam ya’lam), karena itu melalui surat Al-Qalam Allah menyuruh Nabi Muhammad (dan para pengikutnya) untuk membandingkan keunggulan ilmu (wahyu) Allah dengan ilmu-ilmu yang lain (nûn, wal-qalami wa mã yasthurûna). Kemudian, melalui surat Al-Muz-zammil, Allah menyuruh Nabi Muhammad dan sebagian pengikutnya (thã-ifatun minal-ladzîna ma’aka) untuk melakukan studi Al-Qurãn secara intensif (rattilil-qurãna tartîlan) pada malam hari. Setelah itu, melalui surat Al-Muddattsir, Allah menyuruh Nabi Muhammad (dan para peng-ikutnya) untuk menyebar-luaskan wahyu Allah (Qum! Fa andzir. Wa li-rabbika fa kabbir!). Akhirnya, dalam rangkaian kelima surat awal itu, surat Al-Fãtihah diajarkan Allah sebagai teks iqrãr (ikrar; pernyataan; kon-firmasi; proklamasi) bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang telah siap untuk memperjuangkan tegaknya agama Allah. Karena itu, sangat logis bila subyek dalam surat Al-Fãtihah itu adalah “kami” (seperti tertera pada kata-kata na’budu, nasta’în, dan ihdinã).
Tapi, jelasnya, siapakah gerangan yang tercakup dalam kata “kami” itu?

Manajemen Pembangunan Iman

Ada sebuah Hadis populer yang selama ini rupanya belum diungkap dan diurai (dielaborasi) secara memadai. Hadis itu berbunyi demikian:
قال رسول الله ص م: كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلاَ تَكُنْ خَامِسًا …
Melalui Hadis ini Rasulullah saw mengisyaratkan adanya keha-rusan bagi para pengikutnya untuk mengklasifikasikan diri ke dalam empat kelompok.
Bila kita perhatikan secara cermat, dengan wawasan keorganisa-sian, keempat kelompok yang disebutkan Rasulullah inilah yang kemudian mewujud menjadi sebuah sistem kegiatan belajar-meng-ajar wahyu, yang selanjutnya tentu menggerakkan pembangunan iman berdasar wahyu itu sendiri. Hal ini juga menandai bahwa pembangun-an iman bukanlah urusan individu semata, dan tidak bisa dilakukan melalui cara-cara yang asal-asalan. Dengan kata lain, Hadis ini mene-gaskan adanya manajemen pembangunan iman, yang terlihat jelas melalui penyebutan fungsi-fungsi ãliman, muta’alliman, mustami’an, dan muhibban, yang segera mengingatkan kita pada prinsip staffing[3] (pembagian peran manusia sesuai potensi masing-masing) dalam teori manajemen.

Pengertian istilah ãliman

Ãlim(an) atau ãlim(un) secara harfiah adalah “orang berilmu” atau “ilmuwan”. Bila dihubungkan dengan Hadis Khairukum man ta’allamal-qurãna wa ‘allamhu, ãlim ini sama dengan man ‘allamahu (orang yang mengajarkan Al-Qurãn). Bila dihubungkan dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 43[4] atau Al-Anbiyã’ ayat 7,[5]  ãlim ini sama dengan ahlu-dzikri, yaitu orang yang menguasai (pakar) wahyu (Al-Qurãn).

Pengertian istilah muta’alliman

Bila ãlim sama dengan ahlu-dzikri alias ahlul-qurãn, maka muta’allim adalah kebalikannya, yaitu man ta’allamal-qurãna (pelajar alias student Al-Qurãn), yang tentu diharapkan agar kelak menjadi ãlim pula.

Pengertian istilah mustami’an

Istilah mustami’  mempunyai beberapa pengertian, di antaranya: (1) orang yang mendengar; (2) orang yang mengabulkan/memenuhi permintaan (harapan); (3) orang yang memberikan; (4) orang yang menyimak/ memperhatikan/mematuhi perintah.[6]
 
Dilihat sepintas, dalam konteks kegiatan belajar mengajar, mustami’  tampak semakna dengan muta’allim. Tapi melalui sabadanya di atas, Rasulullah agaknya hendak menegaskan bahwa mustami’  tidak sama dengan muta’allim.

Mustami’ bukanlah pelajar (student), tapi bukan pula orang yang anti pelajaran (ilmu).
Variasi makna di atas mengesankan bahwa mustami’ adalah penyelenggara kegiatan belajar mengajar.

Pengertian istilah muhibban

Harfiah, muhibban atau muhibbun adalah orang yang sedang jatuh cinta; pecinta; orang yang berhasrat; orang yang melakukan sesuatu berdasar kesenangan (amatir), pendukung (= fan; supporter); teman.[7]

Dalam konteks Hadis di atas si muhibban ini agaknya merupakan orang yang relatif jauh dari kegiatan belajar mengajar, namun menaruh perhatian dan kepedulian terhadap mereka yang aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mereka pun aktif memberikan dukungan dengan berbagai cara dan kemampuan masing-masing.

Demikianlah pelajaran yang bisa ditarik dari Hadis tersebut, yang jelas mengisyaratkan adanya mobilisasi massa dan pembagian tugas sesuai kemampuan, untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, yang mendasari proses pembangunan iman secara massal, bukan individual.
Bila dituangkan ke dalam bagan, bentuknya kira-kira seperti ini:
 (aslinya ada gambar lingkaran2)
Ãlimun
Muta’allimun
Mustami’un
Muhibbun
Bila dihubungkan dengan uraian terdahulu, “lingkaran-lingkaran” Ãlim, Muta’allim, Mustami’, dan Muhibb inilah yang tercdakup dalam kata KAMI pada surat Al-Fãtihah itu. Mereka inilah para SPESIALIS, yang DIDELE-GASIKAN (diberi amanah) oleh Rasulullah untuk menjalankan proses da’wah sebagai sebuah JIHAD (perjuangan) untuk memperbaiki nasib bangsa Arab, khususnya, dan umat manusia sedunia umumnya.

Proyek Pembinaan Bakti Bangsa (PPBB)
 
Proyek Pembinaan Bakti Bangsa (PPBB), adalah sebuah upaya untuk ‘memproyeksikan’ – atau menuangkan – Hadis yang sudah dibahas terdahulu ke dalam sebuah “rancangan pembangunan” (proyek) atau program untuk membina para pemuda harapan bangsa, khususnya, dan siapa pun yang bersedia ikut serta, umumnya.

Adapun pembinaan yang dimaksud adalah pembinaan (pembentukan) karakter manusia yang mempunyai kecenderungan kuat untuk berbakti kepada nusa dan bangsa, dengan kerangka berpikir Pancasila seperti yang dipaparkan terdahulu.

Proyek ini dilaksanakan dengan cara ‘mobilisasi massa’, yaitu dengan menghimpun sebanyak mungkin orang, yang nanti akan dibagi ke dalam kelompok ãlimûn (para guru; pengajar Al-Qurãn), muta’allimûn (para pelajar Al-Qurãn), mustami’ûn (para penggerak dan penghidup proyek), dan muhibbûn (para pecinta; pendukung; simpatisan).

Kelompok-kelompok tersebut ditempatkan pada:
  1. Ãlimûn dan Muta’allimûn: beraktivitas dalam Lembaga Studi dan Pengembangan Ilmu (LSPI).
  2. Mustami’ûn:  berkiprah sebagai pengelola Proyek pembinaan Bak-ti Bangsa (PPBB).
  3. Muhibbûn: bergabung dalam Ikatan Para Pendukung Proyek (IPPP).

Ãlimûn/عالمون
Ãlimûn terbagi menjadi dua, yaitu Ãlimûn khusus dan Ãlimûn umum.
Ãlimûn khusus adalah para “Ahli Al-Qurãn”, atau Ûlûl-Albãb, yaitu yang gerak pikirnya per detik, dalam keadaan dia berdiri, duduk, dan ber-baringnya, selalu berkesadaran ilmu Allah, sehingga tidak ada waktu dan kesempatan yang tersia-sia olehnya.

Dengan keluasan dan kedalaman ilmunya, Ãlimûn mampu mengurai Al-Qurãn sebagai  ilmu Allah menjadi berbagai pedoman hidup yang praktis, sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan – bila diperlukan – mampu merumuskannya menjadi sebuah konstitusi dan undang-undang ketatanegaraan yang bisa diterima setiap orang yang ber-kesadaran ilmiah.

Ãlimûn terikat dalam satu komitmen (kewajiban) untuk hanya memi-kirkan, mengajarkan, dan mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keilmuan. Karena itu, pada waktu-waktu tertentu Ãlimûn harus rela meninggalkan keluarganya.

Ãlimûn juga merupakan satu pribadi yang berakhlak mulia, sehingga bisa menjadi suri tauladan bagi orang-orang di sekelilingnya.

Ãlimûn umum adalah para pakar berbagai disiplin ilmu umum (selain Al-Qurãn), baik yang ilmu-ilmu murni maupun ilmu-ilmu terapan. Tugas mereka, selain memimpin kegiatan belajar mengajar, di dalam kelas maupun di alam terbuka, juga memberikan berbagai pelatihan yang diperlukan.
Karena kewajiban-kewajibannya itu, maka Ãlimûn – baik yang khusus maupun yang umum – dan keluarga mereka mempunyai hak-hak sebagai berikut:
  1. Jaminan tempat tinggal
  2. Jaminan sandang-pangan
  3. Dan lain-lain jaminan kebutuhannya yang sewajarnya harus dite-rima demi melancarkan segala tugasnya
Muta’allimûn/متعلّمون
Muta’allimûn adalah para pelajar, yang pada hakikatnya merupakan para calon Ãlimûn (khusus dan umum) Karena itu, tugas utama mereka adalah menyerap segala ilmu dan mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menerapkan ilmu-ilmu itu di lapangan.

Sebagaimana Ãlimûn, Muta’allimûn juga terbagi menjadi dua kelompok, khusus dan umum.
Muta’allimûn umum terdiri dari kaum pria dan wanita baik yang sudah berkeluarga maupun yang masih lajang.

Pada tahap awal Muta’allimûn diberi kuliah materi PPBB sebanyak 14 kali pertemuan, setiap hari.
Setelah itu (setelah mendapat materi PPBB), Muta’allimûn diberi pilihan untuk menjadi Muta’allimûn khusus.

Kewajiban Muta’allimûn khusus yang pertama dan utama adalah melakukan study (pendalaman) materi PPBB sebagai konsekuensi logis untuk membangun kesadaran dan karakter berdasar konsep Tuhan.

Selanjutnya, Muta’allimûn khusus dipersilakan memilih berbagai di-siplin ilmu dan bahasa yang diminati, dan mengikuti latihan-latihan yang sesuai bidang masing-masing.

Muta’allimûn khusus, setelah dibina selama 6 semester (3 tahun), akan diamanati menajdi “agen alih teknologi”, yang diwajibkan menjalani tugas belajar di berbagai negara, untuk mendalami bidang-bidang teknologi yang dibutuhkan, dan melaukan tugas da’wah kepada bangsa-bangsa yang bersangkutan.

Akhirnya, Muta’allimûn khusus berkewajiban memimpin berbagai bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahlian masing-masing, termasuk menjadi Ãlimûn.

Karena tugas-tugas tersebut, maka Muta’allimûn khusus berhak mendapatkan segala yang diterima oleh Ãlimûn.

Sedangkan Muta’allimûn umum, setelah tidak terpilih atau tidak berminat menjadi Muta’allimûn khusus, maka bagi mereka tersedia dua pilihan, yaitu menjadi Mustasmi’ûn atau Muhibbûn.

Mustami’ûn/مستمعون
Mustami’ûn, seperti disebutkan di atas:  berkiprah sebagai pengelola atau pelaksana atau operator Proyek pembinaan Bakti Bangsa (PPBB).

Berdasar fungsi tersebut, Mustami’ûn terbagai menjadi dua kelom-pok, yaitu:

Mustami’ûn I: a. bertugas di bidang administrasi (perkantoran) dan informasi (perpustakaan, penerangan, penerbitan, website); b. melayani hak-hak Ãlimûn, Mustasmi’ûn  dan Muhibbûn.
Mustami’ûn II: bertugas menyelenggarakan berbagai bidang usaha demi menghidupi Proyek, antara lain menjalankan:
  1. Divisi Industri
  2. Divisi Perdagangan
  3. Divisi Jasa
  4. Divisi Pertanian
  5. Divisi Peternakan
  6. Dan lain-lain
Muhibbûn/محبّون
Muhibbûn adalah siapa pun, segala lapisan masyarakat, yang mem-punyai ketertarikan dan kepedulian terhadap Proyek Pembinaan Bakti Bangsa (PPBB), dan karena itu mereka mau diikat dalam satu komitmen untuk memberikan dukungan dengan berbagai potensi (moral dan material) yang ada pada mereka.

Karena itu, Muhibbûn adalah para anggota PPBB yang tercatat dan mendapat kartu anggota  IPP (Ikatan Para Pendukung Proyek).

Muhibbûn mempunyai hak-hak sebagai berikut:
  1. Laporan berkala tentang segala kegiatan, masalah-masalah, dan perkembangan PPBB, yang antara lain dibuat dalam bentuk brosur, buletin atau majalah, silabus (kurikulum) yang dijalankan dalam  LSPI, dan sebagainya.
  2. Akses untuk mengetahui transparansi dan akuntabilitas PPBB.
  3. Kemungkinan untuk menjadi Muta’allim, dst.
Demikianlah paparan Proyek Pembinaan Bakti Bangsa secara garis besar (umum).
Pemaparan secara rinci akan dibuat seiring dengan bergulirnya Pro-yek, dan disusun sesuai bidang-bidang yang dikerjakan (pendidikan, pela-tihan, dan berbagai bentuk usaha).
Masyarakat Idama.

Apakah hasil yang diharapkan dari PPBB?

Tidak lain, pada tahap awal – melalui program-program pembinaannya – PPBB berharap dapat menghasilkan pribadi-pribadi (Ãlim dan Muta’allim) yang mampu membuktikan ajaran Tuhan sebagai konsep nomor wahid, baik melalui tinjauan akademisnya maupun melalui sisi praktisnya, sehingga konsep itulah yang sebenarnya (de facto) layak dan jitu untuk dijadikan sebagai tolok ukur baik-buruk dan salah-benarnya perilaku.

Kebenaran akademis (teoritis) itu, bila kita pinjam klasifikasi keyakinan (al-yaqînu) menurut Raghib Al-Asfahani adalah haqqul-yaqîn(i), yaitu “kepastian kebenaran” semata-mata berdasar ukuran ilmiah murni (pure scientific).  Berikutnya, kebenaran praktis adalah haqqul-yaqîn; yakni pemastian kebenaran suatu ilmu melalui proses analitika; yaitu pendataan melalui bukti-bukti sejarah maupun kenyataan alam.

Tahap berikutnya adalah ‘ainul-yaqîn, yakni pemastian kebenaran melalui proses rekonstruksi atau proyeksi ajaran Tuhan menjadi kenyataan yang teralami (empirical).

Dua lapis masyarakat perintis

Setelah proram-program PPBB berjalan, dalam waktu yang tidak terlalu lama diharapkan kelompok Ãlim dan Muta’allim sudah mengkristal menjadi “dua lapis masyarakat perintis”.

Lapis pertama, para Ãlim adalah manusia-manusia yang dapat dikatakan sebagai “ilmu Tuhan berjalan”, yang hidupnya hanyalah demi kepentingan melestarikan dan memancarkan ilmu Tuhan, serta selalu menekankan agar semua orang hidup dalam kendali ilmu Tuhan (Al-Kitãb – Al-Qurãn) semata.

Lapis kedua, para Muta’allim, adalah manusia-manusia yang kekayaan ilmunya di bawah kelompok Ãlim, namun kalbunya selalu menyala dalam kecintaan terhadap ilmu, dan mereka hanya mau digerakkan dan disorot ilmu, bukan didikte atau disuruh-suruh manusia.

Kedua lapis masyarakat ini adalah ibarat para Nabi/Rasul dan para sahabat mereka. Bila para Nabi/Rasul adalah bulan purnama dan para sahabat mereka adalah bintang-bintang, begitulah pula – kiranya! – para Ãlim dan Muta’allim. Mereka adalah kaum “elit”, yang menjadi elit bukan karena faktor darah biru atau kekayaan bendawi, tapi justru karena ilmu dan akhlak mulia mereka yang menjadi sumber terang masyarakat!

Masyarakat dengan 4 ciri

Kedua lapis masyarakat tersebut adalah “masyarakat inti” yang mempunyai tugas memimpin pembangunan sebuah masyarakat yang lebih besar dan makin besar, dengan 4 ciri sebagai berikut:
  1. Saling hormat (at-tahiyyãt)
  2. Saling memakmurkan (al-mubãrakãt)
  3. Saling memanuhi harapan (ash-shalawãt)
  4. Saling berlomba melakukan kebaikan (ath-thayyibãt)
Sikap saling hormat di sini adalah saling hormat bedasar ajaran Tuhan, yang mengutamakan kepribadian unggul (akhlak mulia) di atas segala-galanya. Ini adalah persyaratan pokok untuk menciptakan kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk (plural) dan bhineka (berbeda-beda), yang akan membuat mereka duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sikap inilah yang akan menghapus diskriminasi kelas (pengkastaan), diskriminasi gender (jenis kelamin), dan bentuk-bentuk feodalisme secara keseluruhan.

Sikap saling memakmurkan adalah dasar bagi pembentukan sistem ekonomi yang adil, yang akan membuat manusia melakukan aktifitas ekonomi (penyelenggaraan kebutuhan hidup) yang cenderung lebih memikirkan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri, sehingga setiap anggota masyarakat menjadi produktif, cenderung memberi, dan selalu memastikan manfaat dari setiap pekerjaan serta tindakannya.

Sikap saling memenuhi harapan adalah landasan bagi terbangunnya sebuah masyarakat yang para anggotanya fungsional di segala bidang dan sektor kehidupan. Tidak ada orang yang mau menganggur atau berpangku tangan sambil menonton kesibukan orang lain. Tidak ada orang yang baru bekerja setelah disuruh-suruh atau didorong-dorong. Semua berlomba  ‘mengaktualisasikan’ diri sebagai manusia-manusia yang berguna.

Sikap saling berlomba melakukan kebaikan adalah fondasi bagi tegaknya sebuah masyarakat yang bersih dari segala bentuk kesalahan yang disengaja, lekas mengoreksi kekeliruan, dan anti melakukan tindakan-tindakan kejahatan (krimininal).

Demikianlah keadaan masyarakat yang pada hakikatnya merupakan idaman kita baik sebagai warga NKRI maupun sebagai warga dunia. Itulah pula yang menjadi latar belakang lahirnya semboyan bhineka tungal ika falsafah Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan hasrat dan tekad menggebu untuk kelak menampilkan bangsa Indonesia menjadi masyarakat demikian, maka PPBB – dengan partisipasi dan dukungan seluruh warga bangsa (yang telah terklasifikasi menjadi Ãlimûn, Muta’allimûn, Mustami’ûn, dan Muhibbûn), akan merintisnya melalui sebuah pilot project pembentukan ‘miniatur’ masyarakat demikian di suatu tempat – entah di mana – di bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mudah-mudahan (in sya-Ãllahu!), bila ‘miniatur’ tersebut sudah terwujud, maka ia akan menjadi “obyek wisata kesadaran” bagi seluruh warga bangsa, yang segera menggetarkan urat saraf dan jantung untuk serentak mewujudkan hal yang sama di seluruh peloksok tanahair Indo-nesia.
Demikianlah.

Mudah-mudahan Proposal ini merupakan kabar gembira (basyiran) bagi Bangsa Indonesia, sehingga semua akan serentak menyambutnya dengan berbagai tawaran peran serta dan dukungan.


Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, yakni Proposal ini ditolak mentah-mentah, atau dipingpong ke sana ke mari, sehingga akhir-nya tercampak di keranjang-keranjang sampah, maka siapa pun – yang merasa bertanggung jawab atas nasib bangsa ini – dipersilakan untuk mengajukan gagasan-gagasan mereka, yang “DITULIS SECARA SEKSAMA (AKURAT DAN ILMIAH) DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA”, mengingat bangsa ini sudah terlalu lama merintih dalam ceruk neraka hidup yang semakin hari semakin menghunjamkan panas dan kepedihan, khususnya bagi rakyat jelata.

Senandung Harap

Wahai Tuhan!
Kami – bangsa Indonesia – adalah bangsa yang mengakui kehadiran
dan kekuasaanMu,
dan menerima dengan suka-cita kebijaksanaan peraturanMu,
yang tertuang dan terpapar dalam kitabMu,
serta terpolakan melalui RasulMu.

Ya Allah!
Kami adalah bangsa yang menyimak
dan menanggapi seruan Sang Rasul
yang mengajak membangun IMAN berdasar konsepMu.
Maka kami menegaskan,
“Ya, kami BERIMAN.”
Kami suka dan rela berpandangan dan bersikap
sebagaimana konsepMu.

Karena itu, ya Allah!
– dengan pelaksanaan konsepMu –
berlakukanlah proses perbaikan kesalahan-kesalahan kami
dan tamatkanlah riwayat keburukan-keburukan kami.
Dan selanjutnya – bila telah tiba masanya –
wafatkanlah kami sebagai para pelaku kebaikan.

Ya Allah!
Wujudkanlah dalam kehidupan bangsa kami
segala yang telah Engkau janjikan melalui RasulMu,
dan jangan biarkan kami menjadi orang-orang yang terhina
– karena menjadi orang-orang yang lalai –
pada saat tergenapinya janjiMu itu.

Ya Allah!
Kami yakin, Engkau tak mungkin menyalahi janji.

[1] Seperti ditulis dalam edisi khusus majalah Tempo, 25 Mei 2003.
[2] Terjemah Hadits Shahih Muslim, Ma’mur Daud, hal. 78, cet. Kedua, Widjaya, Jakarta, 1986.
[3] Para guru manajemen biasa mengajukan prinsip-prinsip manajemen yang diringkas menjadi POAC (planning, organizing, actuating, controling). Ada juga yang menambahkan dengan satu prinsip lagi, yaitu staffing.
[4] وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
[5] وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
[6] Mustami’ adalah kata pelaku dari kata kerja istama’a (pola ifta’ala). Kata kerja dasarnya adalah sami’a (pola fa’ila).
Kamus Al-Munjid mengajukan empat pengertian sami’a, yaitu:  1. mendengar (سمع الصوتَ: أدركه بحاسة الأذن), 2. mengabulkan; memenuhi permintaan atau harapan (سمع له الله: أجابه), 3. memberikan (سمع منه و له: اعطاه), 4. menyimak; memperhatikan; mematuhi perintah (سمع إليه: أصغى).
Dr. Abdullah Abbas Nadwi, dalam Belajar Mudah Bahasa Al-Quran (terjemahan Penerbit Mizan dari Learn The Language of the Holy Qur’an), menyebutkan bahwa kata kerja berpola ifta’ala mempunyai pengertian: (1) refleksif dari dari kata kerja pangkal I (fa’ala), sehingga bila jama’a berarti mengumpulkan, maka ijtama’a berarti berkumpul (sendiri); (2) melakukan sesuatu untuk diri sendiri, sehingga bila bada’a berarti memulai, maka ibtada’a berarti menemukan; (3) kadang mempunyai arti yang lain, seperti dharaba berarti memukul, sedangkan idhtharaba berarti terguncang, gelisah (atau ‘terpukul’, seperti yang sudah lazim digunakan orang Indonesia, pen.); (4) sering mempunyai arti yang sama dengan bentuk akarnya, seperti basama dan ibtasama yang keduanya berarti tersenyum.
[6] Lihat Hans Wehr, A Dictionary Of Medern Written Arabic.
[7] Lihat Hans Wehr, A Dictionary Of Medern Written Arabic.

(a.h)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.