News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

FSGI Beri 7 Masukan Tertulis Kepada Presiden Jokowi Terkait PPDB Sistem Zonasi

FSGI Beri 7 Masukan Tertulis Kepada Presiden Jokowi Terkait PPDB Sistem Zonasi



The Jambi Times, JAKARTA | Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo berencana mengevaluasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi. KemendikbudRistek kemudian membentuk Satgas Khusus Pantau dan Evaluasi PPDB. Sebenarnya ada apa dengan PPDB Sistem zonasi, apakah perlu dipertahankan atau diganti. Akar masalah sebenarnya bukan karena ada kecurangan atau tidak, namun apakah pemerintah daerah sudah membangun sekolah negeri baru di Kelurahan atau Kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, terutama SMAN dan SMKN yang jumlahnya minim hampir di seluruh provinsi di Indonesia. 


“Kalau PPDB sistem zonasi akan diganti, apakah menjamin mayoritas  anak Indonesia usia sekolah akan tertampung di  sekolah negeri, mengingat jumlah sekolah negeri memang terbatas. Tak ada penambahan SMAN dan SMKN bahkan SMPN selama puluhan tahun. Kesadaran bahwa sekolah negeri minim justru ketika Kemendikbud menerapkan PPDB Sistem zonasi pada 2017 lalu”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan pakar FSGI. 


Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pantauan PPDB Sistem Zonasi sejak kebijakan PPDB Sistem Zonasi diterapkan oleh KemendikbudRistek pada tahun 2017, saat itu Muhajir Effendi yang menjabat sebagai Mendikbud RI. FSGI sejak awal sudah berposisi mendukung Kemendikbud RI atas kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), karena menurut FSGI kebijakan ini lebih menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemenuhan hak atas Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Republik Indonesia. 


Penjelasan Mendikbud Muhajir saat akan menerapkan kebijakan PPDB Sistem Zonasi adalah didasarkan dari  hasil penelitian yang dilakukan Balitbang Kemendikbud selama  delapan (8) tahun, yang datanya  menunjukkan bahwa sekolah negeri justru di dominasi oleh peserta didik dari keluarga kaya atau mampu secara ekonomi, padahal  anak-anak keluarga kaya memiliki banyak pilihan untuk bersekolah, beda dengan anak-anak dari keluarga miskin yang akan sulit melanjutkan sekolah jika tidak di SMA atau SMKN karena ketiadaan biaya. 


“Sekolah negeri  berbiaya murah, bahkan gratis untuk WAJAR 9 tahun, hal ini membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengakses sekolah negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Sebelum ada PPDB sistem zonasi, Sementara anak-anak dari kelurga miskin sebelum PPDB sistem zonasi  sulit mengakses sekolah negeri, karena seleksinya menggunakan nilai akademik semata”, ungkap Heru Purnomo, Sekjen FSGI. 


Peserta didik yang memiliki nilai akademik tinggi umumnya didominasi anak-anak dari keluarga berada yang gizinya sudah baik sejak kecil, memiliki sarana dan prasarana belajar yang memadai, orangtuanya mampu membayar guru privat maupun bimbel, sehingga wajar saja ketika anak-anak dari keluarga mampu selalu diterima di sekolah negeri terbaik pilihannya. “


Sementara peserta didik dari keluarga tidak mampu kondisi berbanding terbalik, secara gizi mungkin rendah, tak mampu memiliki sarana belajar yang memadai, orangtuanya tak mampu bayar bimbel, dan anak kemungkinan harus membantu orangtuanya di rumah atau mungkin membantu orangtuanya berjualan. Anak-anak pada kelompok ini adalah yang terpinggirkan ketika PPDB sebelum menggunakan sistem zonasi”, tambah Heru. 


Sistem PPDB Sebelumnya Diserahkan Pada Pasar Bebas, Pemerintah Tidak Campur Tangan


Sebelum PPDB sistem zonasi , sistem PPDB di Indonesia selama 50 tahun menggunakan sistem seleksi PPDB dengan nilai Ujian Nasional atau ujian negera. Siapa yang nilanya tinggi dari 3 sampai 6  mata pelajaran yang diujikan di ujian kelulusan, maka yang bersangkutan akan diterima di sekolah negeri.  Sistem tersebut kemudian memuncul sekolah unggul atau sekolah favorit. Semakin favorit sebuah sekolah negeri maka peserta didik dari segala penjuru akan mendaftarkan diri dan berharap diterima. 


Hal ini kemudian melahirkan sekolah unggulan, karena semua anak yang bersekolah di tempat tersebut  memang anak-anak dengan nilai akademik tinggi bahkan super. Sekolah ini kemudian sarat dengan prestasi akademik maupun non akamdemik, baik di level daerah, nasional bahkan internasional.  Mayoritas bantuan daerah maupun nasional tertumpah ke sekolah unggulan ini, anak kaya makin berprestasi karena dapat dukungan dari APBN maupun APBD. Hal yang sama tidak dinikmati oleh Sekolah negeri bukan unggulan, yang peserta didiknya juga bukan anak unggulan, ada ketidakadilan.


“Sistem PPDB tersebut selama 50 tahun memang nyaris tak ada gejolak, karena sistem tersebut diserahkan pada meknisme pasar, negara minim sekali kehadirannya,padahal hak atas pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi negara sebagaimana diamanatkan  dalam Konstitusi RI. Selain itu, sistem PPDB sebelumnya menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi, kondisinya lebih beruntung dan memiliki banyak pilihan ”, ungkap Retno. 


Retno menambahkan, “bahwa  anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri umumnya anak-anak keluarga tidak mampu yang tidak tahu harus bersuara kemana, dan akhirnya pasrah menerima keadaan karena nilai akademik anak-anak mereka umumnya memang kalah dari anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Sistem PPDB zonasi justru  menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapapun, baik pintar atau tidak, kayak atau tidak, dan seterusnya”. 


Memang, saat pertama kebijakan digulirkan banyak daerah kebingungan membagi  wilayah untuk zonasi PPDB. Daerah bingung karena mereka baru menyadari kalau ternyata sekolah negeri di wilayah mereka, terutama untuk SMPN, SMAN dan SMKN sangat minim dengan penyebaran yang tidak merata. Dampaknya Pemerintah Daerah terlambat membuat  Surat keputusan PPDB Sistem Zonasi. Pembagian zonasi beragam dan setelah pelaksanaan disadari bahwa perlu ada perbaikan pembagian zona pada tahun berikutnya. 


“Sistem PPDB sistem zonasi baru diterapkan selama 7 tahun, tentu saja belum bisa menghapus pola lama yang sudah berlangsung selama 50 tahun. PPDB sistem zonasi pastilah ada kekurangannya, namun kekurangan tersebut masih berpeluang diperbaiki bersama. Harus kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga setahap demi setahap PPDB sistem zonasi dapat dirasakan manfaatnya. Sebaiknya dievaluasi bukan diganti sistemnya”, simpul Retno. 


Alasan FSGI Mendukung PPDB Sistem Zonasi 


Adapun alasan mendasar FSGI mendukung sistem zonasi adalah sebagai berikut :

(1) Lebih melindungi peserta didik selama perjalanan dari dan ke sekolah.

Ketika sekolah dengan rumah dekat maka anak-anak bisa berjalan kaki  atau naik sepeda, hal ini juga mengurangi polusi udara. Selain itu, karena saling kenal  maka tawuran pelajar dapat ditekan, penculikan dapat di cegah dan para orangtua bersedia ikut mengawasi sekolah anaknya, semua hal tersebut berdampak kuat melindungi anak-anak. 

(2) Lebih menjamin tumbuh kembang anak secara optimal. 

Kesehatan pencernaan sangat penting dalam tumbuh kembang seorang anak, termasuk konsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Ketika sekolah dan rumah anak dekat maka anak-anak sempat sarapan tanpa terburu buru, dan para orangtua juga bisa mengantarkan makan siang anak-anak ke sekolah mereka yang dimasak dari rumah. 

(3) Lebih berkeadilan.

PPDB Sistem zonasi mendorong kehadiran negara mengatur PPDB, ketika negara hadir dalam pemenuhan hak atas Pendidikan anak Indonesia, maka prinsip keadilan dalam akses dapat dijamin, dimana semua anak dengan latar belakang dan kondisi apapun dapat mengakses sekolah negeri selama masih ada kuotanya. Jika peminat dan daya tampung tidak seimbang, barulah dilakukan seleksi dengan mempertimbangkan usia, pilihan sekolah, prestasi akademik, dst.  Adanya 4 jalur PPDB (prestasi, afirmasi, zonasi dan Perpindahan tugas orangtua) memberikan peluang akses bagi siapapun, bukan atas dasar nilai atau prestasi akademik semata. 

(4) Mendorong daerah menambah sekolah negeri baru untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di daerahnya. Hasil pantauan FSGI menunjukkan dalam 7 tahun pelaksanaan PPDB sistem zonasi terjadi pertambahan jumlah sekolah di negeri di jenjang SMP, SMA dan SMK. Misalnya, Provinsi DKI Jakarta menambah 10 SMKN, Kota Bekasi menambah 7 SMPN, Kota Tangerang menanbah 9 SMPN, Kota Depok menambah 1 SMAN, Kota Pontianak menambah 1 SMAN, dsb.  Penambahan sekolah negeri baru di kecamatan atau kelurahan yang tidak ada sekolah negerinya, menunjukkan kesungguhan Kepala Daerah dalam memenuhi hak atas Pendidikan anak-anak di wilayahnya.  

Pemenuhan hak atas Pendidikan merupakan kewajiban negara dalam  pelaksanaan Program Wajib Belajar sebagaimana diamanatkan dalam  UUD 45, Pasal 31 (amandemen ke empat yang ditetapkan pada 10 Agustus 2002) Ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, termasuk ketentuan wajib belajar dari sembilan menjadi 12 tahun.

FSGI Ajukan 7 Rekomendasi 

1. FSGI mendorong Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan PPDB Sistem Zonasi, karena sistem ini yang paling mendekati prinsip keadilan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 terkait pemenuhan hak atas Pendidikan yang menjadi kewajiban negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah;

2. FSGI mendesak Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera membangun SMP Negeri baru dan  Pemerintah Provinsi  segera membangun SMAN dan SMKN baru di wilayah kecamatan yang tidak ada SMPN atau SMAN atau SMKN. SD Negeri di berbagai daerah relative mencukupi jumlah dan penyebarannya, namun begitu SMP Negeri dan SMA/SMK Negeri jumlahnya langsung jomplang, sehingga berbentuk piramida, semakin tinggi jenjang pendek, semakin sedikit jumlah SMA/SMK Negerinya, oleh karena itu yang banyak dijumpai kecurangan adalah di jenjang SMA/SMK Negeri. 

“Membangun sekolah negeri baru yang dibutuhkan Masyarakat  sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah  No. 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal pada pasal 3 disebutkan bahwa urusan pemerintah wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar diantaranya adalah Pendidikan, oleh karena itu, Pemda wajib menyediakan pelayanan dasar terkait Pendidikan”, ujar Heru.

FSGI mendorong Pemerintah Daerah segera merencanakan Pembangunan sekolah sekolah negeri baru terutama SMP Negeri untuk pemkot/pemkab; dan untuk pemerintah provinsi menambah jumlah SMA dan SMK Negeri di wilayahnya yang “blank spot” atau tidak ada sekolah negerinya. Pemda dapat bekerjasama dengan pemerintah pusat, Pemda menyediakan lahannya dan pemerintah pusat menmdirikan bangunan atau Gedung sekolahnya.

“ Hal tersebut  sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud No 24 Tahun 2007 tentang Standar SarMP/MTS, SMA/SMK/MA dan juga Standar Nasional Indonesia 03-1733-2024 tentang Tata Cara Perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan”, ungkap Guntur Ismail, Ketua tim kajian Hukum FSGI. 

SD Negeri relative cukup karena keberhasil program SD Inpres di masa pemerintah Presiden Soeharto. Sayangnya program tersebut hanya memasang target melek aksara, rakyat bisa baca, tulis dan hitung. Namun, berpuluh tahun lamanya  tidak pernah ada program SMP/SMA/SMK Inpres sehingga saat kebijakan PPDB Sistem  zonasi diterapkan, baru semua pihak menyadari bahwa jumlah sekolah negeri jenjang SMP, SMA dan SMK sangat minim dengan penyebaran yang tidak merata. 

3. FSGI mendorong  Pemerintah Daerah melakukan pemetaan wilayah kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri di jenjang SMP, SMA dan SMK, lalu berkoordinasi dengan Kemendikbudristek yang menyiapkan anggaran untuk membangunkan Gedung sekolah baru, yang lahannya harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah, tentu saja luas lahan harus berdasarkan standar sarana dan prasaran yang sudah diatur dalam Permendikbud tentang standar sarana dan prasarana. 

4. FSGI mendorong  Pemerintah Daerah  pemerintah daerah melakukan regrouping atau merger  dengan SDN terdekat  yang kekurangan murid atau tidak mendapatkan murid saat PPDB, misal kasus PPDB 2023 dimana 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Ponorogo tidak mendapatkan siswa pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023/2024. Ke 5 SDN yang tidak mendapatkan siswa itu adalah SDN Jalen, SDN 2 Munggu, SDN 3 Babadan, SDN 1 Duri dan SDN 3 Tegalombo. Gedung-gedung SD yang kosong dapat dibangun kembali menjadi gedung SMP Negeri misalnyam, agar lebih banyak calon peserta didik yang diterima PPDB di sekolah negeri. 

“Perpindahn peserta didik dari dampak merger sekolah harus memperhitungkan jarak 1-3 KM dari zonasi sekolah SD jika mengikuti ketentuan dalam kebijakan PPDB”, ujar Retno.

5. FSGI mendorong pemerintah daerah tidak hanya menghitung penambahan jumlah sekolah negeri, namun juga menghitung kebutuhan pengajarnya. Ketika menambah jumlah sekolah, maka pemerintah daerah juga wajib menghitung kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikannya. Hal ini harus disiapkan secara teliti dan terstruktur; 

6. FSGI mendorong pemerintah daerah memperbaiki sistem kependudukan terutama terkait perpindahan Kartu Keluarga, peristiwa 20 anak masuk dalam satu KK di Kota Bogor, padahal mereka dari berbagai daerah dengan orangtua yang berbeda tapi berhasil melakukan perpindahan KK yang dekat dengan sekolah yang dituju. Ini menunjukkan kelemahan sistem kependudukan dan verifikasi di level Dinas Pendidikan cabang kota Bogor serta jajaran birokrasi di level RT/RW dan kelurahan yang meloloskan ke-20 calon peserta didik tersebut, yang kondisinya patut di duga  berpotensi curang. 

7. FSGI mendorong  pemerintah daerah melibatkan sekolah-sekolah swasta melalui program PPDB bersama seperti diterapkan Pemprov DKI Jakarta. Pelibatan sekolah-sekolah swasta level menengah dalam PPDB bersama akan sangat membantu menyelamatkan hidup sekolah sekolah swasta untuk tetap dapat murid dalam PPDB dengan pembiayaan pendidikan dari dana BOS, BOSDA/BOP. Selain itu, PPDB bersama juga menjadi jalan keluar bagi Pemda yang kesulitan mendapatkan lahan untuk membangun sekolah negeri baru. 


Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.