Bonuscitra - Demokratisasi Seputar Indonesia (RCTI/SCTV) "Siapapun bisa mengirim hasil liputan"
SEJAK empat-lima bulan sebelum bacaan ini ditulis Citra (Agustus/September 1992-red), tayangan liputan Seputar Indonesia (SP) di RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia)/SCTV (Surya Citra Televisi) tidak lagi menampilkan topik-topik "panas." Misalnya tentang aksi unjuk rasa para pekerja, penggusuran tanah atau rumah kumuh dan demonstrasi.
Alasannya, karena ada beberapa teguran dari atas. Di samping kata Adolf Posumah, produser pelaksana Seputar Indonesia, adanya kebijakan dari manajemen RCTI sendiri yang menghendkai hal itu. Karenanya, liputan Seputar Indonesia lebih terlihat 'soft', meskipun kadang masih bisa dibilang cukup pedas.
Sementara belakangan itu - sejak beberapa pekan sebelum bacaan ini ditulis Citra - ada beberapa tayangan liputan yang bukan berasal dari reporter RCTI, tetapi ada yang berasal dari Wonosobo (Jawa Tengah), Padang (Sumatera Barat), TVRI Pusat Jakarta, dan Sekretariat Negara.
Sebagai contoh, seorang "koresponden" dari Wonosobo pernah mengirim lima liputan yang empat di antaranya ditayangkan, antara lain tentang percobaan bunuh diri oleh seorang wanita dengan memanjat 'tower' milik PT Telkom di Jawa Tengah. Orang pernah tinggal selama 9 bulan (sampai saat itu masih-red) di atas pohon dan tentang ukuran Al Qur'an paling besar di dunia.
Sebenarnya, kata Adolf, siapapun orangnya boleh mengirimkan karya liputannya ke RCTI. Sedangkan bisa/tidaknya karya liputan itu ditayangkan, sepenuhnya di tangan RCTI. Menurut Andy Arnold, juru kamera senior SP, sebuah liputan bisa ditayangkan, kalau memenuhi beberapa kriteria, pertama, "berita" itu memiliki nilai informasi tinggi dan layak diketahui oleh masyarakat luas serta layak ditayangkan.
Kedua, dari segi teknis, format alat yang dipakai sama dengan yang dipergunakan oleh RCTI (format Betacam-red), atau paling tidak, menggunakan sistem super VHS. Ketiga, kalau bukan orangnya yang datang sendiri ke RCTI, si pelipu harus mencantumkan data pribadinya secara tertulis dan lengkap. "Ini ada kaitannya dengan pertanggungjawaban terhadap topik yang mereka liput dan kirimkan ke sini," ujarnya.
Lalu, para "koresponden" itu mendapat imbalan berapa? Menurut Chrys Kelana, pemimpin redaksi SP, imbalannya 50 ribu rupiah per topik dan yang ditayangkan. "Tapi itu belum itung-itungan secara dagang, bisnis. itu baru sekadar uang rokok saja. Pembayaran sejumlah itu belum standar," katanya. Chrys berjanji, suatu saat (waktu itu) akan ada standar tentang itu, yang tentunya sudah diperhitungkan secara bisnis yang belakangan itu (September 1992-red) baru dibicarakan.
TERNYATA, dengan adanya beberapa kiriman liputan dari "koresponden" ini, memunculkan gagasan baru (waktu itu) bagi redaksi SP. Dalam waktu tak lama lagi (dari saat itu), RCTI (kala itu) akan meneybar dan menempatkan beberapa koresponden resmi, utamanya di kota-kota besar atau di daerah yang sekiranya banyak memunculkan informasi yang layak tayang.
"Alasannya, dengan adanya koresponden itu dari segi waktu lebih efektif, kecuali kalau ada liputan yang butuh reporter lebih banyak, maka kami tetap akan mengirim dari Jakarta. Dan yang lebih penting, dengan adanya koresponden itu, informasi dari daerah atau kota-kota besar akan lebih bervariasi dan sering muncul di layar RCTI," ujar Chrys sambil menambahkan bahwa reporter Jakarta lebih bisa berkonsentrasi di lingkup Jakarta dan sekitarnya.
Sementara Hengky Bambang Supriyatno, "koresponden" yang empat liputannya (waktu itu) telah ditayangkan dan masing-masing dihargai 50 ribu, merasa senang ketika ada kabar dari RCTI yang punya rencana (saat itu) akan menyebar dan menempatkan beberapa koresponden resmi di kota-kota besar atau di daerah.
Bahkan dia berharap, suatu saat RCTI (kala itu) akan mempertimbangkan jerih payahnya selama itu, misalnya diangkat sebagai koresponden, karena katanya, dalam proses peliputan itu dia banyak nombok. "Tapi saya cukup merasa senang ketika ada respon dari RCTI. Kalaupun honor yang sekarang (1993-red) saya terima cuma 50 ribu rupiah per liputan, saya nggak apa-apa.
Saya nggak nuntut honor terlalu tinggi. Yang penting karya liputan saya bisa tampil dan pemirsa menikmatinya. Meskipun, terus terang saya banyak nombok," ujar Bambang yang lahir di Wonosobo, 13 November, 36 tahun sebelumnya (1957-red). Tahun 1980-1984 pernah jadi koresponden harian umum Kedaulatan Rakyat dan sejak itu pula mengoperasikan kamera video untuk kepentingan pembuatan 'company profile'.
Menurut Bambang, yang dalam peliputan menggunakan format super VHS, sebaiknya gagasan RCTI (saat itu) segera direalisasikan, kraena katanya, informasi dari daerah banyak juga yang menarik. "Tapi ya, tinggal kebijakan RCTI saja bagaimana. Sedangkan yang penting bagi saya adalah soal pengabdian. Artinya, saya melakukan kerja ini untuk RCTI dilandasi dengan rasa ikhlas saja. Apalagi dengan tetap melakukan kerja ini, kebisaan atau kemampuan saya dlaam hal jurnalistik tersalurkan," ujarnya.
Mungkin benar apa kata Bambang, gagasan RCTI untuk menyebar dan menempatkan koresponden di berbagai kota dan daerah (saat itu) segera direalisir. Soalnya, selain per 1 Januari 1993 sudah muncul ANteve (Andalas Televisi) di Lampung, pada waktu-waktu yang (saat itu) akan datang, (waktu itu) akan bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta lain (contoh: Indosiar-red) yang tentu saja, adanya persaingan, termasuk materi liputan, pasti berlangsung.
Lebih mendasar dari itu, liputan dari luar berarti juga memperkaya sudut pandang peliputan. Dengan kata lain, terjadi demokratisasi dalam sudut pandang terhadap peristiwa. Peran sebuah media massa idealnya ke situ: mendorong demokratisasi.
Ditulis oleh: Sigit Wahyana
Dok. Citra - No. 147/III/18-24 Januari 1993, dengan sedikit perubahan
Keterangan tambahan: ide awal acara Seputar Indonesia datang dari Peter Gontha (yang lebih dulu diawali dengan Seputar Jakarta)