Hukum Upah Dalam Berdakwah
“Dan
tidaklah aku diperintah kecuali untuk selalu/selama-lamanya (didunia)
mengabdi kepada Allah secara ikhlas dan hanif, dan menegakkan sholat
menunaikan zakat dan demikianlah itu addien yang lurus”.
Mustahil
suatu amal ibadah seorang hamba Allah diterimaNya apabila tidak
menepati dua syarat pokok pengabdian, yaitu ikhlas (tulus niat) karena
Allah dan hanif / hunafa’ (tunduk patuh) kepada koridor perintah,
larangan, dan petunjuk dari Allah. Sebagaimana yang telah ditetapkanNya
dalam Qs. Albayyinah : 5, diatas.
Dakwah kepada pengamalan Islam adalah suatu bentuk ibadah/pengabdian yang merupakan tugas khusus dari al Khaliq kepada segolongan ummat (‘ulama, da’i) dengan syarat mereka harus ittiba’ Rasulullah dan mengamalkan atau mencontohkan terlebih dahulu terhadap apa yang akan ia serukan kepada ummat manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskanNya dalam Qs. Ali Imran : 104 :
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan
ummat yang bertugas mengajak kepada kebaikan, dan menteladankan dengan
perbuatan ma’ruf dan mencegah dari hal-hal munkar, dan mereka itulah
golongan orang yang mendapatkan kemenangan”.
Jika tujuan akhir
aktivitas ibadah kita adalah hanya semata-mata mengharapkan wajah/redha
dari Allah maka, niat yang ikhlas dalam hati dan wujud amaliah yang
hanif, yakni mencontoh kepada RasulNya adalah syarat mutlaq.
“Katakanlah
jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulallah Muhammad SAW).
Pasti Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosa kamu, dan sesungguhnya
Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (Qs. Ali Imran : 31).
Bolehkah Menerima Upah Setelah Berdakwah ?
Menyimak keterangan Allah dalam beberapa ayat Alqur-an, antara lain :
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) secara terang-terangan” (Qs. Yasin : 17).
“Ikutilah
orang-orang yang tiada meminta balasan (upah) kepadamu ; dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. Yasin : 21).
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang beriman atas (potensi) diri dan
harta mereka dengan (bayaran) al jannah (syurga). Mereka itu
melaksanakan qital (wujud rumusan menejemen Islam) di jalan Allah, maka
mereka unggul atau diungguli. (Qs. Attaubah :111).
Penjelasan:
Rasulullah
dan tentu para pemegang amanah para Rasul yang sejati, yaitu qoum Ulama
dan para Du’at, da’i dalam berdakwah memiliki beberapa prinsip pokok :
1.
Dakwah kepada jalan Allah disadarinya sebagai perintah suci dariNya
yang wajib disampaikan dan haram disembunyikan hanya karena perasaan
takut menyinggung hati orang yang mendengar.
Segala muatan dakwah :
perintah, larangan, dan petunjuk disampaikannya secara terus terang,
blak-blakan tanpa takut dibenci orang membenci, dicaci, bahkan terhadap
rencana jahat qoum kafir untuk memenjarakan, membunuh, atau mengusirnya
(persona non grata) (Qs. Al anfal :26).
Karena mereka yaqin akan
kekuasaan Allah, dan mereka tiada ingin mengemis cinta kepada manusia
dan tiada pula mengharap dibenci oleh manusia. Akhir kehidupan yang baik
hanya bagi orang-orang yang bertaqwa.
2. Berdakwah dan berjihad
di jalan Allah hakikatnya adalah bentuk transaksi hamba kepada al
Khaliq. Allah yang akan memberi upah berupa jannah dan ampunanNya, dan
tiada haq sedikitpun dari manusia untuk memberi atau menerima upah atas
kerja dakwah dan jihad tersebut. Meskipun dengan alasan kemanusiaan,
karena orang yang beriman berprinsip : hati, daya fikir (logika) dan
perasaan wajib tunduk kepada aturan dari Allah, bukan tunduk kepada
nafsu.
3. Wajib bagi kita untuk mengikuti dan membela para
pemegang amanah para Rasulullah tersebut yaitu Ulama shohih dan para
da’i, siapapun dan darimanapun hamba Allah tersebut diunculkan Allah.
Secara mukhalafah, pengertian sebaliknya adalah haram mengikuti para
ulama su’ dan da’i / penyeru palsu yang mengkhianati amanah Allah dan
rasulNya.
4. Sebuah hadits shahih menjelaskan larangan Rasullah
Muhammad SAW kepada seorang sahabat tentang hukum menerima dirham/upah
atas dakwah kepada jalan Allah. Dikisahkan dalam hadits tersebut,
seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, bahwa ia dijamu
dengan beragam hidangan oleh qoum yang mendengar dakwahnya.
Terhadap
hal ini Rasulullah SAW hanya tersenyum (tidak melarang) dan hanya
mengomentari: “Kamu Senang” , maka jawab sahabat tersebut “Iya ya
Rasulullah”. Namun ketika sahabat bertanya tentang bolehkan ia menerima
bingkisan dirham/uang/amplop/materi setelah berdakwah maka Rasul
melarangnya dengan jawaban : “Ambilah jika kamu ingin dijebloskan ke
dalam neraka”.
Jelas bahwa apabila ada orang yang disebut ulama,
kyai, atau da’i namun dengan rela, senang hati atau membiarkan diri
dipaksa jamaahnya untuk menerima upah dengan alasan apapun berarti
tidaklah layak mereka untuk didengar, diikuti, atau dibela, karena
mereka inilah para pengkhianat terhadap amanah.
Ulama yang
seharusnya mengayomi dan memprogram ummat, malah justru mereka minta
diayomi dan diprogram oleh ummat. Mereka lebih takut kepada celaan dan
ancaman manusia, dan tunduk kepada nafsu daripada takut kepada azab
neraka yang telah disediakan Allah bagi para pengingkar. Naudzubillah.
Karena ulama’ adalah kedudukan khusus yang diberikan Allah kepada
hamba-hamba pilihan, bukan julukan yang diberikan manusia.
Mawaddah fil Qurba adalah Solusinya
Mawaddah fil Qurba (kasih sayang dalam kekeluargaan) adalah suatu pola ukhuwah Islamiyah yang dijelaskan Allah dalam Alqur-an :
“…katakanlah
tidaklah aku aku meminta atas kamu atas seruan (dakwahku) ini suatu
upah, kecuali mawaddah fil qurba…” (Qs.Assyura, 42 : 23).
Sikap
ukhuwah dalam bentuk kasih sayang kekeluargaan adalah wujud nyata dari
iman yang benar dari setiap muslim. Sebagaimana dalam hadits : “Tiadalah
sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana
mencintai dirinya sendiri”.
Ulama yang benar tiada mengharap
balasan manusia atas dakwahnya, namun tiadalah larangan bagi kita untuk
menjalin kasih sayang kepada mereka dalam bentuk perhatian dan ta’awun
(saling memberi dalam kebaikan). Memberikan perhatian terhadap
keseharian sesama muslim-termasuk kepada ulama’ dengan melihat kondisi
mereka, bersilaturahim, dan merasakan suka duka mereka dalam berjuang,
serta saling memberi adalah dibenarkan apabila tiada dikaitkan dengan
upah mereka dalam berdakwah, namun semata-mata atas dasar kasih sayang
yang terikat dalam rasa kekeluargaan muslim.
“(Shodaqoh itu)
untuk orang-orang fakir (sangat miskin ; ulama’) yang terikat di jalan
Allah (seperti menuntut ilmu) dan tiada kuasa (mereka) berjalan mencari
penghidupan di muka bumi. Menurut dugaan orang yang tiada mengetahui,
mereka (ulama’) itu orang kaya, karena menjaga diri mereka dari
meminta-minta.
Engkau kenal mereka dari ciri-cirinya, mereka
tiada meminta kepada manusia dengan menyatakan, dan apa-apa yang kamu
nafkahkan dari harta yang baik-baik, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”
(Qs. alBaqoroh : 273).
Ulama’ yang shohih memelihara diri mereka
dari sifat mengeluh terhadap persoaalan duniawiyah, dari sikap
meminta-minta belas kasih manusia. Mereka shabar dan istiqomah menjalani
berbagai cobaan kesenangan atau kesempitan hidup.
Maka dari itu,
ulama’ dan ummat harus menyatu dalam gerakannya dan saling menyokong,
sehingga muncul rasa mawaddah fil qurba. Inilah sikap yang dibenarkan
dalam Islam.
Jangan sampai ulama dan da’i disamakan dengan artis /
selebritis yang jika sekali mentas dibayar sekian rupiah, kemudian
dibiarkan begitu saja.
Ulama (orang berilmu) jangan sampai pula
menjadi umala’ (penjilat) dan dai (penyeru) jangan sampai menjadi do’i
(idola/penghibur) untuk bersenang-senang saja, sebab kalau sampai
terjadi demikian, maka selamanya kondisi ummat dan negeri tidak akan
pernah mencapai keadilan, kesejahteraan, baldhatun toyyibathun walqhofun
qhofur. Wallahu’alam.
Sumber perpustakaandigital.net/
Catatan:
Bentuk da’wah ada dua yaitu: Tibyan atau tabayyan. kalau itu
Tibyan,dan dia dia mendapat job itu dalam sebuah kelembagaan
da’wah,maka menjadi kewajiban lembagalah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.tapi tidak diupah oleh studentnya.kecuali kalau si penda’wahnya
atas nama pribadi alias ngampring dan berniat.
