Tinjau Ulang "Rangkap Jabatan" Komisaris BUMN
Emrus Sihombing Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner
Setelah
hasil wawancara dan release yang kami buat tentang rangkap jabatan bagi
Budi Gunadi (BG), sebagai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), dan sekaligus Wakil Komisaris Utama Pertamina dimuat di berbagai
media massa pekan ini, ada beberapa teman mengirim WA ke HP saya
menyampaikan, sejumlah pejabat kementerian sekaligus komisaris di BUMN
tertentu.
Merujuk pada WA tersebut, lalu kami
coba “berselancar” di dunia maya. Ternyata tidak sulit menemukan melalui
“Google Pencari” dengan mengetik kata kunci, “daftar nama pejabat
jadi komisaris bumn”. Pada berita itu dikemukakan, cukup banyak, bahkan
sudah ratusan, pejabat pemerintah menjadi komisaris BUMN. Muncul
hipotesis, apakah keberadaan mereka lebih cenderung menjadi cost (beban)
keuangan negara atau mampukah mereka meningkatkan devisa negara?
Lalu
Lembaga EmrusCorner, mencoba diskusi dengan berbagai pihak melalui
teknologi komunikasi melakukan pendalaman. Setidaknya ada tujuh hal
dapat disimpulkan tentang rangkap jabatan di kementerian dan juga
komisaris di BUMN. Pertama, sepanjang jabatan rangkap itu sesuai dengan
aturan yang berlaku, maka itu legal. Namun serta merta muncul pemikiran
kritis, kepentingan siapa saja dan bagaimana proses munculnya
pasal-pasal sehingga melegalkan rangkap jabatan tersebut berpotensi
menjadi beban keuangan negara. Sebab, narasi sebuah aturan tidak ada di
ruang hampa. Sarat dengan kepentingan dari para aktor sosial terkait
terhadap isi sebuah pasal atau keseluruhan undang-undang.
Kedua,
dipastikan terjadi conflict of interest. Dengan rangkap jabatan tidak
terhindarikan terjadi conflict of interest, langsung atau tidak langsung
dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian, pengelolaan BUMN sulit
bergerak fleksibel, menghadapi persaingan bisnis di tingkat lokal,
regional apalagi global serta sulit memprediksi masa depan BUMN lebih
“cerah”. Akibatnya, bisa saja BUMN selalu berada pada status quo, atau
malah merugi terus. Bukankah sejumlah BUMN kita sampai sekarang masih
ada merugi. Padahal, di sana ada sejumlah komisaris yang juga dari
kementerian. Lalu apa fungsi komisaris kalau sejumlah BUMN kita tetap
merugi? Untuk itu, sudah saatnya Kementerian BUMN meninjau keberadaan
semua komisaris di seluruh BUMN kita.
Ketiga,
menimbulkan kecemburuan sosial. Di satu sisi, komisaris BUMN yang
sekaligus juga pejabat di kementerian, misalnya eselon satu, mendapat
penghasilan dua kali dari tempat yang berbeda dengan sumber yang sama,
yaitu dari uang negara. Sementara pemerintah merencanakan akan
meniadakan beberapa eselonsisasi di kementerian. Jadi, ragkap jabatan
dan pengurangan eselonisasi, dua hal yang tampaknya berseberangan. Di
satu pihak, pejabat sudah sejahtera di kementariannya dan masih mendapat
penghasilan yang tak kalah jumlahnya dari BUMN. Di pihak lain, jenjang
PNS “dipangkas”, sehingga harapan memperoleh tambahan penghasilan yang
legal bisa terganggu.
Keempat, pembenaran.
Ratusan orang yang memiliki jabatan rangkap tersebut seolah negara
membenarkan bahwa hanya mereka sajalah yang mempunyai kemampuan luar
biasa sehingga mereka wajar memperoleh kedudukan rangkap tersebut
dibanding ratusan juta penduduk Indoensia lainnya. Tentu, ini pemikiran
yang sagat keliru. Dengan kata lain, langsung atau tidak langsung negeri
ini memposisikan mereka lebih superior dari seluruh rakyat Indonesia
lainnya. Padahal, dipastikan tidak selalu demikian. Masih sangat banyak
WNI lainya mempunyai kemampuan, keahlian dan daya kreatif serta inovatif
yang luar biasa dibanding dengan para komisaris di BUMN, terutama yang
berasal dari pejabat pemerintah.
Kelima, BUMN
bisa tersandera. Dengan masuknya ratusan pejabat pemerintah sebagai
komisaris BUMN, membuat perusahaan-perusahaan plat mereh ini sulit
bersikap dan bertindak objektif, netral, independen, professional untuk
mampu bersaing bisnis di kancah nasional maupun internasional. BUMN
menjadi terjebak dan tersandera dari kepentingan para komisaris
tersebut.
Keenam, mereka beban BUMN. Sebagai
komisaris di salah satu BUMN, mereka mendapat sejumlah fasilitas yang
menjadi beban keuangan BUMN yang terkait. Beban itu meliputi antara lain
gaji/honorarium, tunjangan jabatan, bonus, mobil dinas dan supir, biaya
operasional, perjalanan dinas, tunjangan kesehatan dan lain sebagainya
yang sangat fantastis di tengah pembiayaan BPJS kesehatan kita yang
belum mencukupi. Karena itu, tidak heran acapkali kita dengar
pertumbuhan usaha BUMN dari aspek keuangan selalu bermasalah.
Konsekuensinya, BUMN menjadi “terbonsai”.
Ketujuh,
perlakukan yang berbeda. Ratusan pejabat kementerian bisa menjadi
komisaris di BUMN. Kenap orang yang berada pada jabatan tertinggi
(Presiden), menengah atau tentunya juga yang terendah (PNS golongan
satu) di republik ini, menurut hemat kami, tidak menjadi komisaris di
BUMN. Jadi, ketika bicara keadailan sosial, harus ada perlakuan yang
sama. Nyatanya, yang terjadi perlakukan yang berbeda.
Merujuk
setidaknya pada ketujuh hal di atas, sejatinya Kementerian BUMN perlu
melakukan evaluasi keberadaan komisaris-komisaris di seluruh usaha BUMN,
terutama yang bersumber dari kementerian-kementerian yang terkait dan
yang lain.
Untuk itu, saya menyarankan agar
para komisaris BUMN dari pejabat pemerintah perlu ditinjau ulang,
Sebaiknya, komisaris dari para professional sesuai dengan bidangya.
Jumlah komisaris pun harus dikurangi secara signifikan sesuai dengan
kompleksitas BUMN itu sendiri. Dengan demikian, komisaris bisa bekerja
lebih efektif dan efisien.
Emrus Sihombing
Direktur Eksekutif
Lembaga EmrusCorner
