Memalukan! Dewan Pers ‘Berselingkuh’ dengan BPK RI
Penulis : Hence Mandagi Ketua Dewan Pers Indonesia
Ancaman
Dewan Pers terhadap media dan pemerintah daerah yang menjalin kerja
sama tanpa surat ijin (baca verifikasi) dari Dewan Pers (DP) cukup
membuat sejumlah kepala daerah dan pimpinan media terusik karena takut
terdampak masalah hukum. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
atau BPK RI menjadikan perijinan DP sebagai acuan dalam melakukan audit
keuangan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak media atau
perusahaan pers. Dengan menempatkan perijinan DP sebagai salah satu
dasar hukum melakukan audit maka BPK RI secara sadar hukum menjadikan
Dewan Pers sebagai lembaga pemerintahan dan bukan lembaga independen.
Dewan
Pers seharusnya menolak kebijakan atau keputusan BPK RI tersebut agar
marwah Dewan Pers sebagai lembaga independen tetap dijaga sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tentang Pers bahwa dalam upaya
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional
maka dibentuk Dewan Pers yang independen.
Sangat disesalkan
bukannya menolak, Dewan Pers justeru ‘berselingkuh’ dengan BPK RI. DP
menggunakan kebijakan BPK RI tersebut sebagai senjata untuk
menakut-nakuti pemerintah daerah agar memutus kontrak kerja sama atau
menolak kerja sama dengan media yang belum memiliki perijinan DP.
Sikap
DP ini sungguh sangat memalukan karena sudah mengkhianati undang-undang
pers. Kelihatan sekali DP tidak ada kerjaan dan hanya sibuk dan fokus
pada urusan sepeleh. Kerja sama media dengan pemerintah daerah
sebetulnya (maaf) adalah praktek menjual idealisme pers yang dapat
merusak upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan
pers nasional. Perusahaan pers berhak tersinggung dan marah dengan
sebutan (maaf) ‘melacurkan diri’ jika melakukan kerja sama dengan
pemerintah.
Sebab kenyataannya DP menelanjangi diri sendiri
karena tidak paham fungsi Pers nasional sebagai alat kontrol sosial.
Kalau semua media bekerja sama dengan pemerintah maka siapa yang akan
menggantikan peran pers untuk melakukan kontrol .
Selama
bertahun-tahun DP tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk
menjalankan alasan utama dibentuknya DP yaitu untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Perusahaan
pers atau media pun selama bertahun-tahun digiring ke dalam situasi
untuk ikutan ‘melacurkan diri’. Itu namanya DP kurang kerjaan. Selama 20
tahun sejak UU Pers tahun 1999 disahkan, DP tidak memberi kontribusi
nyata terhadap pengembangan kemerdekaan pers.
Kehidupan Pers
tidak akan pernah terpisah dari urusan Perusahaan Pers. Perusahaan Pers
adalah inti dari kemerdekaan per situ sendiri. Bagaimana memberdayakan
perusahaan pers ini adalah kunci keberhasilan upaya mengembangkan
kemerdekaan pers dan kehidupan pers nasional. Selama ini DP sepertinya
tidak paham soal itu atau mungkin pura-pura bodoh.
Kenyataannya
perusahaan pers seharusnya mampu menghidupi dirinya dari para pengguna
jasa periklanan atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan sarana
promosi produk-produk yang dipasarkannya. Belanja iklan dari pengguna
jasa periklanan itu lah yang patut diperjuangkan DP untuk menghidupkan
perusahaan pers. Fokusnya harus ke situ bukan ke kerja sama pemerintah.
Ada dana belanja iklan nasional 150 triliunan tiap tahun yang berpotensi
mensejahterakan wartawan lewat perusahaan pers namun hanya dimonopoli
konglomerat media.
Parahnya, milyaran rupiah anggaran DP
sebagian besar habis hanya untuk urusan sepeleh verifikasi media dan uji
kompetensi wartawan yang tidak pernah selesai. Anehnya, dua urusan itu
yang paling dominan dikerjakan DP. Bisnis UKW pun jadi program utama DP
karena menghasilkan dana milyaran dari wartawan sebagai objek sasaran.
Ada
hal yang menarik yang patut menjadi permenungan pers nasional, dimana
ada banyak rekan wartawan yang mengaku senior dan berlatar belakang
media besar serta menjabat sebagai petinggi di jajaran organisasi
konstituen DP, kelihatan lantang berkoar-koar dan muncul ke permukaan
hanya pada saat mengeluarkan statement atau pernyataan ketika ada
wartawan yang menjadi korban kekerasan. Sesudah itu tenggelam bak
ditelan bumi. Tidak ada satupun yang mau peka atas kondisi ril bahwa ada
43 ribu media yang di dalamnya terdapat ratusan ribu wartawan yang
terancam kehilangan pekerjaannya karena ditutup akses ekonominya dan
dihina dengan sebutan abal-abal oleh DP.
Di sisi lain, 43 ribu
media yang disebut abal-abal itu hanya pasrah dan diam saja. Bahkan
cenderung tunduk pada ancaman DP. Seolah tidak ada pilihan lain selain
‘mengemis’ kerja sama dengan pemerintah dan pasrah pada kesewenangan
Dewan Pers.
Dewan Pers Indonesia mengajak seluruh wartawan
dan media se Indonesia di luar konstituen Dewan Pers agar mau bersatu
melawan tirani Dewan Pers. Gerakan menulis berita perjuangan merebut
belanja iklan nasional harus dikumandangkan ke seluruh penjuru tanah
air.
DPI menghimbau agar dalam menulis berita dapat
menggunakan data dan nara sumber yang berkompeten sehingga tercipta
opini positif bahwa belanja iklan nasional harus dishare ke daerah agar
tidak hanya dinikmati dan dimonopoli oleh perusahaan pers milik
segelintir konglomerat media di Jakarta.
Pers lokal harus
mampu mendorong pemerintah daerah dan para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah memperjuangkan nasib media lokal dan wartawan lokal untuk
mendapatkan kesejahteraan melalui pembagian belanja iklan nasional.
Hampir seratus persen belanja iklan nasional dikuasai oleh perusahaan
pers di Jakarta. Padahal yang berbelanja produk yang dijual di pasaran
adalah masyarakat lokal. Seharusnya perputaran uang masyarakat lokal
yang lari ke Jakarta tersebut kembali ke daerah dalam bentuk belanja
iklan. Semangat ini yang harus ditularkan ke seluruh media lokal.
Jika
ingin pers Indonesia sejahtera dan merdeka dari diskriminasi dan
kriminalisasi maka masyarakat pers jualah yang harus memperjuangkan hal
itu. Dewan Pers yang selama ini membiarkan ‘kemiskinan’ melanda
perusahaan pers harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Berhentilah
‘berselingkuh’ dengan BPK RI. Kembali lah ke jalan yang benar. Bangun
lah ngeri ini dengan informasi yang benar bukan ‘pencitraan’ palsu yang
mendustai rakyat. Hentikan ‘pelacuran’ media dengan pemerintah agar
rakyat dicerdaskan bukan dibodohi. Topeng pencitraan harus dilepas dari
wajah pemerintah yang selama ini dilindungi oleh kontrak kerja sama
dengan pemerintah.
Tunjukan rasa malu kepada generasi penerus
pers Indonesia. Pers harus bangkit. Negeri ini sudah penuh dengan
konflik yang tak berujung akibat potret negative yang selalu dibangun
oleh media mainstream karena kebutuhan politik dan industri. Rakyat
sudah jemu dengan situasi politik yang seolah-olah negeri ini mau
runtuh. Padahal masih banyak rakyat miskin di seluruh penjuru tanah air
menaruh harapan tersentuh pemberitaan pers. Saatnya kita jujur pada
hati nurani bahwa negeri ini butuh pers yang benar-benar independen.