Pemberitaan Kompas Tidak Berimbang, Ketum PPWI: Ibarat Kapal di Laut Lepas, Kompasnya Rusak
The Jambi Times, JAKARTA | Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI),
Wilson Lalengke sangat menyayangkan pemberitaan media
nasional Kompas yang berat sebelah, tidak berimbang, dan tidak adil
dalam pemberitaannya terkait kisruh gugatan PMH terhadap Dewan Pers.
Menurutnya, Kompas sebagai media seharusnya independen dalam
mengungkapkan fakta dan pemikiran-pemikiran kepada masyarakat.
Baca juga: Tanggapan Soal berita Kalah Gugatan di PT Versi Dewan Pers
Baca juga: Tanggapan Soal berita Kalah Gugatan di PT Versi Dewan Pers
"Sangat
disayangkan yà a, media sebesar Kompas harus menceburkan dirinya dalam
lumpur pemberitaan partisan yang tidak adil" ungkap alumni PPRA-48
Lemhannas RI tahun 2012 itu kepada media ini melalui releasenya, Jumat,
13 September 2019.
Seperti diketahui, Kompas
dalam edisi cetaknya Kamis, 12 September memberitakan tentang bantahan
Dewan Pers atas klaim PPWI dan SPRI (Serikat Pers Repuplik Indonesia)
bahwa Dewan Pers kalah di peradilan tingkat banding. Dalam pemberitaan
yang mengisi hampir setengah halaman korannya tanpa foto pendukung
berita itu, Kompas hanya memuat komentar dan pendapat Dewan Pers saja.
Kompas tidak sedikitpun meminta pendapat pihak pembanding, PPWI dan
SPRI.
"Jikapun Kompas lupa meminta pendapat
kami terkait kisruh gugatan PMH Dewan Pers tersebut dalam pemberitaan
kemarin itu, namun setidaknya media ini mesti memberitakan juga di hari
sebelumnya atau setelahnya. Jangan giring opini publik dengan hanya
menyajikan informasi dari pihak Dewan Pers sebagai tergugat, yang
jelas-jelas ditolak eksepsinya oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,"
jelas Wilson.
Lulusan pascasarjana bidang
Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini menyatakan bahwa
menurut Komite Asosiasi Jurnalis Internasional, tujuan jurnalisme adalah
untuk menyediakan informasi sekomprehensif dan selengkap mungkin kepada
publik agar setiap orang dimampukan mengambil kesimpulan yang benar dan
keputusan yang tepat. Jika media hanya menyiarkan informasi dari pihak
tertentu saja, hal itu akan menjerumuskan masyarakat kepada pengambilan
kesimpulan yang salah, yang pada akhirnya mereka membuat keputusan dan
respon yang salah total.
Wilson lebih lanjut
menjelaskan bahwa pada hakekatnya setiap informasi adalah makanan bagi
otak manusia, yang jika tidak benar, tidak lengkap, tidak sempurna,
hanya menyadur pendapat dari satu pihak saja seperti dalam perdebatan
hukum tentang keabsahan Dewan Pers membuat kebijakan UKW serta
verifikasi media dan wartawan, maka sudah pasti pemberitaan itu bukan
makanan yang baik.
"Berita Kompas tersebut bukan makanan yang baik bagi otak rakyat, informasinya yang tidak cover both side, tidak berimbang, dan berat sebelah itu tidak lebih dari sekadar sampah beracun yang menggiring masyarakat kepada kebodohan," tegas pendiri dan mantan guru SMA Plus Provinsi Riau ini.
"Berita Kompas tersebut bukan makanan yang baik bagi otak rakyat, informasinya yang tidak cover both side, tidak berimbang, dan berat sebelah itu tidak lebih dari sekadar sampah beracun yang menggiring masyarakat kepada kebodohan," tegas pendiri dan mantan guru SMA Plus Provinsi Riau ini.
Oleh karena itu,
pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni
Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21 (Sekjen KAPPIJA-21) dan
Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu menghimbau
masyarakat untuk tidak lagi menjadikan Kompas sebagai rujukan informasi
dalam hidup keseharian mereka.
Dirinya mengibaratkan media itu seperti penunjuk arah bagi nahkoda dan ribuan penumpang kapal di tengah lautan lepas. Ketika alat atau orang yang dijadikan penunjuk arah memberikan arah yang salah, maka alamat kapal akan tenggelam.
Dirinya mengibaratkan media itu seperti penunjuk arah bagi nahkoda dan ribuan penumpang kapal di tengah lautan lepas. Ketika alat atau orang yang dijadikan penunjuk arah memberikan arah yang salah, maka alamat kapal akan tenggelam.
(APL/Red)