News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Tantangan Pewarta Di Era Informasi dan Media Digital

Tantangan Pewarta Di Era Informasi dan Media Digital

Oleh: Wilson Lalengke


1. PENDAHULUAN

“Siapa menguasai informasi, dia menguasai dunia”, demikianlah sebuah kalimat bijak yang sering kita dengar. Ungkapan itu dalam kenyataannya bukanlah sebuah utopia belaka. Realitas telah memberikan bukti di sepanjang sejarah manusia. Seseorang yang memiliki informasi selalu memenangkan setiap kesempatan yang ada. Kemajuan seseorang maupun sebuah bangsa amat ditentukan oleh kepemilikan atau penguasaan informasi. Negara-negara kaya di benua Eropa adalah contoh kongkrit sebagai bukti bahwa penguasaan informasi adalah mutlak bagi pencapaian keberhasilan sebuah usaha. Faktor kecepatan memperoleh informasi juga menjadi amat penting. Penguasaan informasi boleh sama antara satu pihak dengan pihak lainnya, namun dampak dan efektivitas kepemilikan informasi tersebut akan berbeda, salah satunya disebabkan oleh faktor siapa yang terlebih dahulu menguasai informasi tersebut.

Dahulu kala masyarakat hanya mengandalkan berita dari orang per orang melalui proses verbal, suara dari mulut ke mulut, dan kemudian berkembang kepada bentuk tulis dan baca. Pada mulanya manusia hanya mampu saling berkomunikasi antara individu satu dengan individu lain, sementara saat ini seseorang bisa menyampaikan informasi kepada banyak orang bahkan tiada terhitung jumlah penerima informasinya. Dalam hal sistim pertukaran informasi seperti terakhir ini, dari satu pihak kepada banyak orang/pihak, manusia membutuhkan wadah khusus yang dinamakan “media massa” atau dikenal juga dengan istilah umum “pers”. Salah satu entitas penting dalam dunia media massa adalah wartawan atau jurnalis .

Abad berganti, peradaban bergeser. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian perjalanan peradaban manusia yang masuk dan mempengaruhi hampir setiap sisi kehidupan manusia, di manapun jua di atas permukaan bumi ini. Pola interaksi dalam berbagi informasi tidak luput dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, dunia informasi ini merupakan sisi peradaban manusia yang paling terkait-kelindan dengan kemajuan teknologi. Peralihan wadah (baca: media) penyampai informasi dari analog (berbentuk cetakan, benda kasat mata, dan sejenisnya) ke sistim digital (termasuk online, streaming, dan bentuk informasi elektronik lainnya) amat muskil dielakkan.

Dalam kondisi dunia pers yang berbasis teknologi informasi seperti sekarang ini, jurnalis yang sejak awal mulanya sebagai pion dan ujung tombak media massa, merupakan kalangan yang rentan tertimpa berbagai tantangan berat dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai jurnalis. Makalah ini bermaksud memberikan berbagai telaah dan alternatif solusi sebagai bahan pemikiran bagi para jurnalis.

2. BEBERAPA PERSOALAN UMUM

Berdasarkan hasil riset tentang komunikasi dan media massa di tahun 1970-an, para ilmuwan komunikasi umumnya menggunakan model pendekatan powerful-effect dalam menganalisis pola interaksi dan dampak yang ditimbulkan oleh sebuah sistim pemberitaan di media massa. Noelle-Neumann, seorang ahli komunikasi, melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan pendukung teori ini, yang menganggap bahwa media memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi dengan tayangan visualnya. Media massa menurut Wilbur Schramm, 2005 , dapat memperluas wawasan masyarakat. Media massa adalah pembentuk kebudayaan dan peradaban manusia, dari masa ke masa. Sejalan dengan itu, teori komunikasi massa populer “uses and gratifications”, mencoba menjawab pertanyaan, “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002). Sebuah studi pernah dilakukan untuk mengkaji tentang perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsung-nya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari publik yang aktif dalam memanfaatkan muatan media saat mengkonsumsi media massa. Masyarakat konsumen media massa diasumsikan sebagai partisipan aktif dan diarahkan oleh tujuannya sendiri. Dalam penelitian itu media massa dianggap hanya sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan individu, dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan cara lain.

Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat atau pendengar terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002). Hasilnya, kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. 

Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membaca surat kabar, selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagi informasi dan rutinitas keseharian. 

Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa setiap pengguna media massa senantiasa memiliki motivasi kuat terhadap media massa yang pada intinya dimaksudkan untuk mengisi kekosongan rasa, jiwa, dan pikir. Kekosongan itu melahirkan keingin-tahuan terhadap sesuatu yang harus dipenuhi. 

Jawaban atas keingin-tahuan itu tidak lain adalah informasi, yang selanjutnya –bagi publik– akan  dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku di kehidupan sehari-hari. Pada kondisi yang lebih luas, sebuah media massa dapat memenuhi rasa ingin tahu masyarakat dalam jumlah yang besar terhadap suatu masalah. Pada saat yang hampir bersamaan sesungguhnya media massa telah melakukan pembentukan opini, sikap dan perilaku publik terhadap sesuatu masalah tersebut, yang seringkali berbentuk dukungan, pilihan, atau penolakan terhadap suatu hal. Prinsip komunikasi massa melalui pemberitaan di media massa ini perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menggalang dukungan dan kekuatan bagi tercapainya tujuan jurnalistik, yakni “Menyediakan informasi yang cukup kepada pembaca (publik) agar mampu membentuk paradigma (keputusan) diri sendiri.”   Untuk itu, amat relevan kiranya agar setiap jurnalis terus belajar dan meningkatkan kompetensinya demi peningkatan kemampuan kerja jurnalistiknya.

Pada dua dekade terakhir, para jurnalis sebagai elemen penting dari sebuah sistim publikasi dan media massa di Indonesia menghadapi berbagai persoalan. Hal ini diperberat oleh perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, yang berakibat kepada perubahah paradigma media massa dan sistem yang diberlakukan di internal pekerja media dan publikasi. Kehadiran berbagai ruang berbagi informasi seperti media sosial, jejaring komunikasi berbasis mobil phone, dan berbagai variannya, menjadi faktor vital yang mempengaruhi pola kerja para jurnalis. Awalnya sebagai kuli tinta, kemudian bergeser menjadi kuli disket, dan hari-hari ini dipanggil si Junol (Jurnalis Online) ataupun si Juned (Jurnalis Digital).

Beberapa permasalahan yang harus menjadi perhatian serius bagi seorang jurnalis di era digital ini antara lain, sebagai berikut:

a. Rendahnya Kualitas Jurnalis

Banyak kalangan mengakui bahwa salah satu persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia saat ini adalah pengelolaan dunia jurnalisme yang bergeser dari rel yang diharapkan. Pemberitaan dan publikasi informasi yang bebas kebablasan sering menjadi bahan gunjingan dimana-mana. Hal itu tentu saja terkait langsung dengan kerja-kerja jurnalis yang dianggap tidak melakukan tugasnya sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan. Kode etik jurnalistik seakan hanya pajangan semata, dan tidak lagi menjadi acuan dalam pelaksanaan tugas seorang jurnalis.

Sebenarnya yang terjadi adalah kemampuan kerja rata-rata jurnalis Indonesia saat ini umumnya berada pada tingkat yang memprihatinkan. Ketrampilan menulis berita yang faktual, aktual, informatif dan bernilai kebenaran tidak sebanding dengan idealisme yang dimiliki jurnalis. Tingkat pendidikan rata-rata para jurnalis yang kurang memadai, baik dari segi kesesuaian pendidikan dengan kerja-kerja jurnalisme maupun dari sisi levelitas pendidikan yang masih rendah, menyebabkan kualitas hasil karya kebanyakan jurnalis yang berseliweran di media massa amat memprihatinkan.

Kehadiran jutaan “pemain” informasi yang bebas berkeliaran di media sosial dan berbagai jaringan komunikasi berbasis internet, menambah rumitnya persoalan kualitas SDM pekerja informasi belakangan ini. Suply informasi di media sosial yang sering menjadi “bahan baku” pembuatan berita oleh banyak jurnalis, baik berita tulis, berita foto, maupun berita video, tidak jarang menjadi blunder tersendiri bagi pemberitaan di media-media, tidak hanya di tingkat lokal, namun seringkali juga di level media mainstream nasional.

b. Minimnya Sarana/Prasarana Kerja Jurnalis

Kinerja yang kurang maksimal juga disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana kerja kebanyakan jurnalis kita. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari pola kerja seadanya dari para jurnalis berbagai media, baik media besar terlebih lagi media-media berskala kecil. Ketidakberdayaan untuk melengkapi diri dengan peralatan kerja, seperti kamera, laptop, alat komunikasi handphone, notebook, dan lain-lain merupakan imbas dari rendahnya pendapatan para jurnalis. Tidak tersedianya peralatan mobilitas kerja, seperti kendaraan dan biaya transportasi menjadi hambatan tersendiri bagi umumnya pekerja media di lapangan.

Kemampuan sebahagian besar badan pengelola publikasi untuk mengadakan peralatan kerja bagi jurnalisnya juga tidak begitu baik, sehingga umumnya para pengusaha media membebankan pengadaan sarana kerja kepada masing-masing jurnalisnya. Rendahnya arus keluar-masuk dana bagi sebagian besar pengusaha media massa menjadi pertimbangan utama dalam program pemberian kelengkapan kerja jurnalis yang bekerja di perusahaan mereka. Dalam kondisi tidak dibebankan peralatan kerja jurnalispun, belakangan ini satu per satu perusahaan media mengalami kebangkrutan dan gulung tikar selamanya.

Kondisi ini berdampak langsung terhadap hasil kerja para jurnalis. Kehilangan moment penting pada suatu liputan menjadi keseharian mereka. Perekaman situasi yang kurang memadai akibat terbatasnya peralatan dokumentasi seperti kamera dan alat rekam lainnya menyebabkan hasil liputan menjadi tidak sempurna, bahkan jauh dari harapan sijurnalis itu sendiri. Akhirnya, publikpun disajikan infromasi dan data publikasi apa adanya, seada-adanya.

c. Minimnya Penghargaan dan Fasilitas bagi Jurnalis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghasilan jurnalis di Indonesia amat rendah. Beberapa kalangan bahkan menempatkan profesi jurnalis sebagai penerima penghasilan yang paling rendah setelah buruh pabrik garmen. Upah seorang jurnalis di Indonesia malah lebih rendah dari penghasilan pedagang kaki-lima! Bagi mereka yang berstatus jurnalis tetap sebuah media massa mainstream menengah ke atas, bolehlah berbangga dengan gaji bulanan antara 2,7 hingga 5 juta rupiah. Sesuatu yang sulit bagi para jurnalis lepas yang sehari-hari serabutan mengejar berita sana-sini, namun rata-rata dalam sehari hanya membawa pulang 50 ribu hingga 100 ribu rupiah di kantongnya. Dengan penghasilan demikian itu, bagaimana mungkin seorang jurnalis mampu memenuhi kebutuhan sandang dan papannya?

Kesulitan mendapatkan penghasilan yang memadai bagi para jurnalis di negeri ini merupakan salah satu kendala terbesar dalam meningkatkan kualitas kerja dan hasil karya jurnalistiknya. Himpitan ekonomi yang seakan tiada berubah membaik dari waktu ke waktu menjadi persoalan klasik nan krusial. Terlebih lagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, tentu beban pikiran untuk mendapatkan penghasilan yang lebih memadai menjadi faktor penghambat dalam menghasilkan karya-karya jurnalistik yang baik.

Pada kondisi yang demikian, tidak jarang terjadi penurunan tingkat idealisme para jurnalis, yang bermuara kepada perilaku melenceng dari pribadi seorang jurnalis sejati. Pameo ada dana ada berita menjadi prinsip dalam bekerja. Lebih parah lagi, banyak terjadi terima uang berita hilang. Tidak berlebihan kiranya jika banyak kalangan memberi label “bodrex”, WTS, wartawan tempo, dan sejenisnya kepada sebagian jurnalis.

Alhasil, ruang publikasi media massa kita, baik cetak, elektronik, maupun online, dipenuhi dengan informasi yang kurang akurat, ABS, penuh kamuflase, lebay, bahkan jauh dari fakta dan kebenaran. 

Akbatnya, publik sebagai penikmat informasi yang tersaji di tengah-tengah mereka mengambil kesimpulan dan keputusan yang salah, karena kesalahan informasi yang diterimanya. Fatalitas terjadi di mana-mana, menyebabkan keburukan dan kemunduran peradaban di tengah masyarakat kita.
d. Kurangnya Sinergitas Antar Pemangku Kepentingan di Dunia Jurnalistik.

Dari sisi eksternal, ketidak-berdayaan kaum jurnalis Indonesia juga disebabkan oleh faktor pendukung yang kurang memadai. Kebijakan pemerintah dan perundangan yang ada belum berpihak kepada peningkatan kualitas dunia jurnalisme di dalam negeri. Tumpang-tindih dan ketidak-sesuaian antar aturan yang diberlakukan terhadap para pekerja informasi dan publikasi menjadi penghambat bagi pembangunan jurnalisme secara umum, dan peningkatan kualitas karya para jurnalis secara khusus. Egosentris setiap lembaga dan pengambil kebijakan bidang informasi dan publikasi yang amat tinggi, menyebabkan ketidak-harmonisan dalam sinergi kerja-kerja jurnalistik di lapangan.
Sebagai contoh sederhana, menurut UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, digariskan bahwa pers adalah lembaga sosial (pasal 1 ayat 1), namun pada ayat 2 di pasal yang sama dinyatakan tentang perusahaan pers yang merupakan badan hukum Indonesia.

 Bagaimana mungkin lembaga sosial berbentuk perusahaan? Lagi, pada banyak kasus penyiaran dan publikasi berita, jurnalis harus berhadapan dengan kriminalisasi atas hasil karya jurnalistiknya walau dalam UU Pers tersebut telah dicantumkan dengan jelas tentang jaminan kebebasan pers sebagai Hak Asasi Manusia yang paling asasi, selevel dengan HAM memiliki agama dan kepercayaan apapun.
Pemerintah bersama lembaga-lembaga yang dibentuk untuk menangani dunia informasi dan publikasi terlihat belum memberikan perhatian serius dan memadai terhadap keberadaan rakyatnya dari kelompok jurnalis. Selama ini, kalangan jurnalis dianggap sebagai kelompok mapan ilmu pengetahuan dan kemampuan “survive” di tengah masyarakat, sehingga dipandang tidak perlu diperhatikan. Akibat dari paradigma berpikir pemerintah yang demikian itu, maka belum pernah terdengar adanya program pemberdayaan jurnalis, semisal beasiswa khusus bagi jurnalis, program perumahan bagi jurnalis, pemberian kredit usaha bagi jurnalis, atau bentuk pemberdayaan lainnya. 

Jadilah para jurnalis harus berjuang sendiri mengatasi masalahnya masing-masing dengan cara masing-masing pula. Sebagian kecil berhasil keluar dari himpitan masalah, yang umumnya dengan cara meninggalkan dunia jurnalistik dan memasuki dunia kerja baru yang lebih menjanjikan.

3. ALTERNATIF PENINGKATAN KINERJA JURNALIS

Mengeluh dan menangisi nasib sebagai jurnalis yang termarginalkan tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan, kalangan jurnalis diharamkan untuk berharap banyak mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah sekalipun, apatahlagi dari rekan sesama jurnalis dan pemimpin redaksi serta pemilik media. Sangat sedikit dari kalangan yang disebutkan terakhir ini yang benar-benar memahami situasi dan kondisi para jurnalisnya dan membantu mereka sesuai kebutuhan secara memadai. Kondisi perusahaan media massa tempat para jurnalis bekerja juga belakangan ini banyak yang kembang-kempis, bahkan kolaps diterpa berbagai krisis internal yang umumnya terkait dengan penurunan omset yang berakibat kepada krisis keuangan yang parah.
Berikut ini dipaparkan beberapa konsep yang mungkin dapat dijadikan bahan pemikiran, bahasan, referensi dan acuan dalam menyiasati berbagai persoalan yang dihadapi para jurnalis, sebagai berikut:

a. Pelatihan Jurnalistik Intensif

Untuk mengatasi masalah rendahnya kemampuan kerja para jurnalis, hal ini dapat diatas dengan pengadaan beragam program pelatihan jurnalistik, baik dalam bentuk workshop, magang, pelatihan inensif, maupun tutor sebaya, dan lain-lain. Peningkatan wawasan dan pengetahuan tentang ilmu jurnalistik juga merupakan hal penting yang harus diagendakan bagi setiap perkeja media massa. Penyelenggaraan seminar, forum diskusi, kuliah umum jurnalistik, dan berbagai bentuk pembelajaran, baik yang membahas jurnalisme maupun bidang ilmu pengetahuan lainnya amat penting diinisiasi sepanjang masa.

Setiap orang memiliki keterbatasan ingatan, keterbatasan memori untuk menampung berbagai informasi dan data dalam benaknya. Upgrading, updating, dan pengulang-ingatan atas berbagai bidang ilmu, terutama yang terkait dengan jurnalistik mutlak dilakukan secara terjadwal dan terus-menerus. Perkembangan dunia informasi, media massa, sistim publikasi, dan teknologi informasi yang begitu pesat, juga menjadi alasan kuat mengapa para jurnalis perlu diberikan sentuhan pelatihan dan pengembangan wawasan demi mencapai wujud jurnalis yang profesional, handal, dan berkualitas serta bertanggung-jawab.

Hampir tidak ada cara lain, selain pengadaan kegiatan semacam pendidikan dan pelatihan bagi jurnalis dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketrampilan kerja mereka. Pendidikan dapat ditempuh melalui lembaga pendidikan formal seperti sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga kursus reguler. Namun, peningkatan kualitas diri jurnalis juga dapat melalui pelatihan-pelatihan temporer, parsial sesuai kebutuhan, dan pelatihan bidang khusus. Penyelenggaraan semestinya dilakukan oleh pemerintah, namun dapat juga diinisiasi oleh kalangan dunia media massa maupun lembaga-lembaga pemerhati dunia jurnalistik kita.

b. Penyediaan Sarana/Prasarana Kerja yang Memadai 

Kelengkapan peralatan kerja amat menentukan hasil kerja seseorang. Sarana/prasarana yang dimiliki setiap jurnalis haruslah menjadi perhatian serius bagi semua penyenggara kegiatan publikasi, dari jenis apapun juga. Melengkapi jurnalis dengan perangkat kerja yang cukup dapat memperlancar proses penyediaan informasi yang cukup dan berkualitas bagi media yang bersangkutan.

Sepatutnya, penyediaan sara-prasarana kerja para jurnalis menjadi tanggung jawab dari lembaga media massa yang mempekerjakannya. Berbagai cara dapat ditempuh untuk menyiasati berbagai kendala dalam penyiapan perangkat kerja jurnalistik kepada para jurnalis. Misalnya, penyediaan perangkat dalam jumlah yang terbatas namun dapat digunakan secara bergantian sesuai momentum dan kebutuhan lapangan. Strategi lainnya, dapat juga melaui pola sewa peralatan dari pihak lain, yang dengan demikian dapat memperkecil biaya awal yang mesti dikeluarkan. Dan lain-lain strategi yang dapat dilakukan.

Akan tetapi, sebagai seorang jurnalis, alangkah bijaknya jika setiap pekerja media massa itu melengkapi diri dengan peralatan kerjanya. Ibarat seorang petani, ia harus menjunjukkan dirinya sebagai petani profesional sejati dengan kepemilikan atas sarana-prasarana kerja pertanian. Semakin canggih dan modern alat pertaniannya, semakin baik dan profesional-lah yang bersangkuran. Dengan performa petani yang lengkap peralatan kerjanya, maka sang petani itu diyakini mampu mengerjakan tugas-tugas yang akan diberikan kepadanya. Semestinyalah juga semua jurnalis berupaya semaksimal mungkin melengkapi dirinya dengan peralatan kerja dengan selengkap mungkin.

c. Peningkatan Penghasilan dan Fasilitas Jurnalis

Terkait dengan usaha meningkatkan penghasilan seorang jurnalis, penulis cenderung menyarankan agar para jurnalis berhenti berharap untuk mendapatkan penghasilan lebih atau meningkat dari pekerjaan sebagai jurnalis. Marilah kita mengembalikan posisi kerja-kerja pers sebagai suatu kegiatan sosial, kerja mengabdi bagi peradaban bangsa. Sebagai kerja sosial, tentu bukan imbalan uang yang menjadi ukuran keberhasilan, namun kepuasan bathin yang terwujud sebagai hasil membantu orang lain, membantu publik dalam mengambil sikap dan keputusan penting dalam hidup mereka. Biarkanlah infromasi sebagai barang bebas, tidak terikat oleh angka-angka, tidak mengikuti kurs rupiah.

Lalu, bagaimana kita menyiasati kebutuhan hidup sehari-hari? Adalah sebuah keniscayaan bahwa terdapat banyak peluang bagi seorang jurnalis untuk mengerjakan berbagai hal yang berorientasi ekonomi, baik yang terkait dengan jurnalistik maupun bidang lain yang berberda sekali dengan profesi jurnalis. Ketersediaan informasi, pertemanan, dan jaringan yang luas dengan berbagai kalangan yang terbentuk sebagai akibat dari kerja-kerja jurnalistik seperti wawancara, koordinasi, komunikasi dan kontak hubungan lainnya, adalah cukup potensial dalam memulai bisnis pribadi di luar jurnalisme. Berkolaborasi dengan pihak lain adalah jalan awal yang mudah untuk dilakukan dalam membangun usaha baru.

Usaha bisnis ini menjadi yang utama, kerja sebagai jurnalis sebagai kegiatan sosial yang menunjang usaha bisnis utama tersebut. Banyak bidang yang bisa diupayakan, semisal menerbitkan buku dengan berbagai ragam, usaha penyewaan buku bacaan anak-anak dan remaja, dan sejenisnya. Di luar jurnalistik dapat berbentuk koperasi jurnalis yang bergerak di bidang transportasi, perdagangan, pertanian, bahkan properti dan ekspor-impor. Saat ini, bisnis di dunia maya berbasis internet menjadi ladang yang tidak terbatas dengan potensi yang juga tidak terbatas. Pilihan usaha tersedia amat banyak, mulai dari toko online, penyediaan artikel atau jurnal ilmiah online, hingga ke perdagangan valuta dan komoditi emas, dan lain-lain. Pemberdayaan anggota keluarga, bagi jurnalis yang sudah berkeluarga, merupakan hal mutlak dalam menggalang kekuatan ekonomi keluarga.

d. Koordinasi dan Kerjasama antar Instansi Terkait

Poin ini hakekatnya lebih ditujukan kepada para stake holder di tingkat pengambil kebijakan, khususnya di bidang jurnalistik. Di internal pelakon jurnalisme, jajaran pemimpin redaksi dan pemilik usaha media massa menjadi institusi penting yang mesti terlibat langsung dalam proses kerjasama yang baik dan harmonis satu sama lainnya. Peningkatan sinergitas dan koordinasi antar lembaga dan instansi terkait penting didorong agar dapat dilahirkan berbagai aturan, kebijakan dan program-program yang pro kepada kepentingan para pekerja media massa terutama kalangan jurnalis. Sudah selayaknya jika pemerintah bersama perangkatnya melahirkan berbagai program dan strategi pemberdayaan jurnalis, semisal penyediaan kesempatan belajar, kesempatan berusaha melalui kemitraan dengan dunia usaha, dan lain-lain.

4. HARAPAN AKHIR

Karya jurnalistik yang dihasilkan oleh seorang jurnalis profesional, berkualitas, berwawasan dan piawai dalam mengolah informasi akan memberikan pencerahan yang baik dan berkualitas bagi publik konsumen karya jurnalistik tersebut. Kondisi ini pada akhirnya akan bermuara kepada terbentuknya komunitas masyarakat yang cerdas, trampil, dan mampu mengambil keputusan bagi hidupnya, keluarganya, komunitas dan bangsanya dengan baik dan benar. Muaranya, pembentukan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang tinggi nan luhur dapat diwujudkan, untuk kemudian dipertahankan dan dilestarikan dari generasi ke generasi. 

Penulis ini adalah alumni Lemhanas angkatan 2012 dan Ketua umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dan yang aktif menyuaraan kemerdekaan pers Indonesia hingga sampai ke meja hijau.Ini profil lengkap dari Wilson Lalengke yang dikutip dari wartanusa.id.

Sahabat-sahabatnya di dunia maya mengenalnya dengan nama Shony. Demikian juga dengan teman sekelasnya sesama mahasiswa S-2 di Eropa, menyapanya dengan nama itu. Nama lengkapnya Wilson Lalengke, seorang Indonesia tulen dengan karakter Indonesia murni yang suka “angin-anginan” dan keras kepala. Terlahir sebagai anak pertama dari sebuah keluarga petani miskin 50-an tahun lalu dengan nama kecil Wilson dan nama keluarga (Fam) Lalengke, di sebuah kampung kecil yang sudah musnah ditinggal pergi para penghuninya di pedalaman Sulawesi Tengah. Kampung tua itu bernama Kasingoli.

Oleh Ibundanya, Wuranggena Kulua, dan almarhum Ayahandanya, Sion Lalengke, adik-adik dan keluarga besar, serta orang sekampungnya, sosok ini biasa dipanggil “Soni”. Pasalnya, kata “Wilson” adalah produk Barat yang tidak dikenal di komunitas kampung kecil tradisional tersebut. Akhirnya, sang Ibu memungut tiga huruf terakhir dari kata itu, S-O-N, dan menambahinya dengan I, menjadi SONI, yang kemudian bermetamorfosa kepada bentuknya sekarang yakni Shony.

Wilson cukup beruntung. Di pertengahan tahun 2000, ia yang saat itu berprofesi sebagai guru SMA di Pekanbaru berkesempatan mengunjungi Jepang melalui Youth Invitation Program yang disponsori oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Dia terpilih dari ribuan guru se-Indonesia untuk mengikuti program tersebut. Selang 4 tahun kemudian, Wilson berhasil mendapat kesempatan menerima beasiswa untuk melanjutkan studi pasca sarjana di Eropa. Berturut-turut, ia menyelesaikan studi pasca-sarjana, Master in Global Ethics di Universitas Birmingham, Inggris tahun 2006 atas beasiswa Ford Foundation – International Fellowships Program, dan Master in Applied Ethics di konsorsium Universitas Utretch Belanda dan Universitas Linkoping Swedia tahun 2007, atas dukungan beasiswa dari Komisi Eropa melalui program Erasmus Mundus. Lima tahun kemudian, ia juga berhasil meraih satu kursi di Sekolah Kepemimpinan Nasional untuk mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Ke-48 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia tahun 2012.

Dalam usahanya mengembangkan diri, menempuh rangkaian pendidikan hingga mencapai jenjang pasca sarjana, Wilson yang menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S-1) di Universitas Riau, Pekanbaru, menjalaninya dengan penuh perjuangan yang tidak dapat dikatakan mudah. Seperti banyak diketahui bahwa mengenyam pendidikan, apalagi di tingkat pendidikan tinggi, bagi warga termarginalkan di tanah air merupakan kesulitan yang belum teratasi hingga kini.

Sebelum akhirnya “terdampar” di Sumatera, Wilson yang dimasa kecilnya bercita-cita menjadi diplomat ini, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di daerah kelahirannya, Sulawesi Tengah. Setelah menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Inpres Lee, di sebuah kecamatan terpencil, Kecamatan Mori Atas, dia kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Tomata, di ibukota kecamatan itu. 

Hanya setahun di sana, ia pindah dan belajar di SMP Negeri 2 Poso, untuk kemudian melanjutkan studi di SMA Negeri 2 di kota yang sama. Hampir setahun menganggur setelah menamatkan SMA-nya, Wilson yang hobi beternak ayam dan memancing ini, kemudian merantau ke Bandung, dengan tujuan utama mengadu nasib mencari pekerjaan di tahun 1986.

Disebabkan oleh kesulitan mendapatkan pekerjaan di kota sejuk itu, ia kemudian merantau ke Pekanbaru, Propinsi Riau, di penghujung tahun itu juga. Di Pekanbaru, dengan bantuan dari sebuah keluarga dokter spesialis saraf (neurolog), keluarga dr. Chris Rumantir, Wilson yang gemar makan buah-buahan ini akhirnya boleh mendapat kesempatan kuliah setelah berhasil meraih satu kursi melalui Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru, serupa UMPTN sekarang) di Universitas Riau. Ia diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, untuk program studi PMP-KN, jenjang Diploma-2, tahun 1987 dan diselesaikan tepat 2 tahun setelahnya.

Sebelum berangkat kuliah ke Eropa, Wilson yang menikah dengan Winarsih, seorang wanita Jawa dari Blitar lebih dari 20 tahun lalu ini, tercatat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kantor Walikota Pekanbaru. Seperti halnya dalam menempuh studi, perjalanan karirnya juga penuh lika-liku yang sulit. Dimulai dari menjadi guru honorer selepas menamatkan program Diploma-2, di sebuah SMP swasta di pinggiran kota Pekanbaru di tahun 1989. Setahun kemudian ia mendapat tugas sebagai guru CPNS ke sebuah SMP negeri di kecamatan terpencil di Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau.

Lebih dua tahun bertugas di sana, ia kemudian meminta mutasi tugas ke Pekanbaru, terutama dimotivasi oleh keinginan melanjutkan studi. Tahun 1994, ia baru dapat melanjutkan kuliah dengan status “izin belajar” di jenjang S-1 di Universitas Riau sambil tetap menjalankan tugas sehari-hari sebagai PNS, namun saat itu ia dimutasi ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.

Wilson, yang telah dikaruniai empat orang anak – Winda, Anggi, Angga, Anggun – ini, selanjutnya diberi tugas untuk menjadi guru di sebuah SMA unggulan di Pekanbaru sejak pertengahan tahun 1998, setelah ia menamatkan program sarjana setahun sebelumnya. Selain mengasuh mata pelajaran pokok sesuai latar belakang pendidikannya, ia juga aktif menjadi instruktur komputer dan internet bagi siswa dan teman-teman seprofesinya. Lima tahun mengabdi menjadi “cik-gu” di SMA Negeri Plus Propinsi Riau itu, ia kemudian dimutasi ke SMK Negeri 2 Pekanbaru.

Di tempat tugas barunya, Wilson yang dipercaya menjadi ketua Jaringan Informasi Sekolah (JIS) Kota Pekanbaru sejak tahun 2002, seakan menemukan dunianya: “dunia maya” sebagai wilayah untuk diexplorasi, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperlukan bagi peningkatan diri. Dunia teknologi informasi kemudian menjadi bagian dari kesehariannya. Membangun jaringan atau network antar sekolah di Pekanbaru melalui program Wide Area Network (WAN) dan melaksanakan berbagai pelatihan-pelatihan baik untuk siswa maupun guru sekolah-sekolah se-Pekanbaru adalah tugas pokoknya di SMK itu. Kerjasama dengan beberapa instansi juga dijalin untuk mensukseskan program “melek TI” di kotanya, seperti bersama PT. Telkom, PT. Lintas Artha, dan lain-lain.

Selepas menyelesaikan program masternya, Wilson yang menyukai film spionase dan fiksi ini, kembali ke Indonesia menjelang akhir tahun 2007. Sebagai wadah implementasi atau penerapan ilmu yang diperoleh pada program pasca-sarjananya, ia aktif sebagai penulis di media online Kabar Indonesia, Koran Online Pewarta Indonesia, dan berbagai media online lainnya. Sebab dengan demikian, menurutnya, pemikiran-pemikiran berdasarkan teori filsafat dan etika yang dipelajari selama kuliah dapat disebarluaskan kepada setiap warga pembelajar di seantero nusantara.

Kesukaannya menulis sejak masa SMA telah mengantarkannya sebagai salah satu penulis yang dihadiahi predikat “Reporter of the Month April 2007″ oleh Kabar Indonesia. Sebelumnya, beberapa tulisannya juga telah dimuat di Harian Riau Pos dan Mingguan Genta, keduanya media lokal di Pekanbaru, serta di majalah Caltex, majalah internal PT. Caltex Pacific Indonesia. Di tahun 2007-2010, Wilson dipercaya menjadi Pimpinan Redaksi Kabar Indonesia, Pimpinan Redaksi Tabloid Explore Indonesia, dan saat ini sebagai Pimpinan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia dengan situs utama www.pewarta-indonesia.com.

Dalam pergaulan hidup keseharian, Wilson yang doyan makan “popeda”, sejenis panganan dari sagu, adalah seorang teman yang baik, kata rekan-rekan terdekatnya. Diapun termasuk figur ayah yang disayangi oleh anak-anaknya. Namun Wilson juga terkadang tidak menyenangkan bagi segelintir kalangan, terutama karena karakter dan ciri khasnya yang kepala batu dan suka menentang arus. Walau sering diingatkan oleh atasannya, “jangan menentang matahari, matamu bisa buta”, tetapi tetap saja ia bertahan pada prinsip “lebih baik buta, daripada berputih mata melihat ketidak-benaran dan kemungkaran yang berlangsung di depan mata…”

Itulah Wilson Lalengke, seorang anak bangsa yang tidak banyak keinginan, kecuali berharap agar segenap rakyat Indonesia sungguh-sungguh diberi kesempatan untuk menjadi sebenar-benarnya manusia di sepanjang usia mereka. (WN)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.