Bolehkah Minta Upah Dalam Da’wah?
THE JAMBI TIMES - Ada beberapa teman
yang ‘mendesak’ saya untuk menjawab pertanyaan tentang boleh-tidaknya
meminta/memerima upah dalam da’wah. Karena belum sempat memberikan jawaban yang
relatif lengkap, maka untuk sementara saya ajukan bahan renungan sebagai
berikut:
1.
Da’wah dilakukan pertama kali oleh Allah (Wallahu yad’u ilal-jannah –
Al-Baqarah 221, dll.), melalui malaikatnya, yang kemudian dilanjutkan oleh para
rasulNya. Dalam surat Yasin ada penegasan bahwa para rasul tidak meminta upah.
Nabi Nuh, antara lain, juga dengan tegas mengatakan bahwa beliau hanya
mengharapkan ‘upah’ dari Allah.
2.
Umat Islam seharusnya menjadi umat yang bersatu dalam satu jama’ah yang
solid dan tersistem. Da’wah adalah salah satu ‘lembaga’, semacam departemen,
dalam jama’ah tersebut, yang pelaksanaannya seharusnya dijalankan para
aparat-(kader)-nya, yang berda’wah dengan mengajarkan kurikulum yang sama, yang
disusun departemen tersebut.
3.
Da’wah pada hakikatnya adalah mengajarkan kitabullah (Al-Quran), bukan
yang lain-lain, karena Islam yang benar hanya bisa tegak bila Al-Quran menjadi
ruh kesadaran umat. Sehubungan dengan inilah, ada hadis yang menegaskan bahwa
“yang paling pantas mendapatkan upah adalah mengajarkan kitabullah”.
Pertanyaannya di sini: bila pengajar kitabulah “paling pantas” mendapat upah,
lalu siapa pula yang “paling wajib” memberi upah? Jawabannya, yang paling wajib
(= paling bertanggung-jawab) memberi upah da’i adalah jamaahnya sendiri
(departemen da’wah dalam jama’ah), bukan sembarang orang atau sembarang
lembaga! Bila sembarang orang atau sembarang lembaga dituntut memberi upah,
maka itu adalah isyarat nyata dari da’wah yang liar, yang dilakukan oleh
sembarang individu.
Dan itu berarti umat Islam sedang mengabaikan jama’ah, alias hidup berpencaran semau gue. Dalam keadaan demikian itulah para da’i bergerak secara individual, dan otomatis (faktanya!) sebagian dari mereka menganggap masyarakat (umat) sebagai ‘pasar’! Jadi, jangan heran bila kegiatan da’wah tak ada bedanya dengan dagang! Malangya, para pedagang itu (sebagian da’i) tidak sadar bahwa mereka sedang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah!(AH)
Dan itu berarti umat Islam sedang mengabaikan jama’ah, alias hidup berpencaran semau gue. Dalam keadaan demikian itulah para da’i bergerak secara individual, dan otomatis (faktanya!) sebagian dari mereka menganggap masyarakat (umat) sebagai ‘pasar’! Jadi, jangan heran bila kegiatan da’wah tak ada bedanya dengan dagang! Malangya, para pedagang itu (sebagian da’i) tidak sadar bahwa mereka sedang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah!(AH)