Praktik-praktik De Islamisasi di Indonesia sejak 1972
Ditulis oleh: Ibnu Dawam Aziz
Membuka sedikit tabir rekayasa de Islamisasi dalam menguasai NU dan Pesantren.
Dalam sebuah Pesantren besar banyak terdapat Gus- Gus yang potensial untuk menggantikan Kyai Sepuh, dari sanalah proyek de Isdlamisasi dimulai, de Islamisasi akan mendekati salah seorang Gus yang potensial untuk difasilitasi belajar ke Luar Neberi, pertama kali pasti dibawa Ke Mesir atau Karachi, atau difasilitasi bertemu dengan orangnya MULLAH dari Iran. Tujuan semula sangat baik, yaitu untuk membuka wawasan si Gus untuk lebih terbuka (melihat dunia luar), setelah itu masuk pada tahap berikutnya si Gus akan di fasilitasi untuk membuka wawasan Islamnya sampai Universitas Montreal Canada atau Chicago AS.
Selama si Gus difasilitasi ke Luar Negeri, Pesantren menerima bantuan financial untuk membangun Pesantren "Modern". Bila Kyai Sepuh mewariskan pesantren kepada "GUS" yang sudah difasilitasi, maka tidak ada masalah. Akan tetapi bila Kyai Sepuh bertahan untuk tetap dan mewariskan PESANTREN kepada "GUS" yang belum terfasilitasi "Keluar Negeri " atau kepada Gus yang Konsisten belajar ke Arab Saudi ( Mekah/Madinah ) dengan mandiri. Maka "GUS" yang telah difasilitasi akan didukung untuk mendirikan "Pesantren Baru " atau di fasilitasi untuk langsung masuk ke ranah ORGANISASI kedalam (PENGURUS NU dan untuk MENGUASAI NU) sebagai kepanjangan de Islamisasi yang ada dalam kekuasaan. Itulah mengapa JIL semua dekat dengan PEMERINTAH dan tokoh-tokohnya masuk dalam ranah kebijakan Pemerintah.
Sedangkan untuk Umat Islam diluar NU, focus de Islamisasi tertuju pada Pelajar Muslim Potensial untuk difasilitasi belajar ke Luar Negeri bersama dengan Proyek de Islamisasi “Gus” dan Pesantren. Untuk kemudian di Buka Wawasan Islamnya di Mesir (Al-AZHAR), Karachi sampai Chicago atau Montreal melalui pendekatan Perbandingan Agama.
Hasil garapan CENDEKIAWAN MUSLIM alumnus Montreal atau Chicago akan difasilitasi masuk dalam ranah kekuasaan atau Akademisi. Dikalangan akademisi kiprah mereka akan diwadahi melalui Perguruan Tinggi Islam UIN/IAIN. Fakultas Ushuluddin bidang studi Perbandingan Agama, sebagai pintu masuk untuk menguasai IAIN secara utuh.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa de Islamisasi di Indonesia bisa berjalan dengan sangat sempurna sejak tahun 1972 ?
Hal ini dapat terjadi karena Konsep de Islamisasi di Indonesia sejak tahun 1972, seiring dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dimana CSIS sebagai perancang de Islamisasi di Indonesia, sekaligus adalah lembaga Thing Tank Pemerintah Orde Baru. (Sudjono Humardani, Ali Murtopo, Daud Yusup, Hari Can Silalahi dan Wanandi Bersaudara.)
Sikap kemandirian Pak Harto yang tidak mau diperintah oleh sebuah pengaruh secara totalistas membawa pak Harto untuk mengembangkan sebuah teori Manajemen Konflik dengan membuat tandingan, kemudian melahirkan kekuatan penyeimbang, didirikanlah MUI pada tahun 1975. Bersamaan dengan itu lahirlah apa yang kemudian di kenal dengan istilah ABRI Merah dan ABRI Hijau, yang sebenarya merupakan sebuah sarana keseimbangan Politik untuk dapat dikendalikan secara utuh oleh Pak Harto.
Manajemen Konflik inilah yang kemudian mampu membawa Pak Harto bertahan untuk dapat berkuasa sampai beberapa periode.
Mengendalikan Konflik kepentingan antara dua kelompok untuk menguasai keduanya merupakan keahlian Pak Harto, akan tetapi akhirnya justru Pak Harto dapat dikuasai oleh salah satu dari kelompok kepentingan.
Bila CSIS berhasil mengendalikan Pak Harto secara totalitas sampai 1980. Dan bila kemudian Pak Harto mulai meninggalkan CSIS tahun 1980 yang kebijakan ini ditentang oleh LB Moerdani, kemudian terjadi masa transisi selama 10 tahun, merupakan percaturan Politik Umat Islam dimana kemudian Pak Harto meninggalkan CSIS pada tahun 1990 atas perjuangan MUI yang didukung oleh kekuatan ABRI Hijau dan lahirlah ICMI yang semula adalah sebuah lembaga Think Tank tandingan CSIS.
Kemudian karena keberadaan CSIS itu seperti apa telah dipahami oleh umat Islam, dan tidak mungkin lagi membenturkan CSIS secara terang-terangan dengan MUI/ICMI maka dibentuklah sebuah Think Tank baru sebagai tandingan ICMI lembaga itu namanya FORDEM.
Saat Gus Dur berkuasa dengan dukungan FORDEM, Kemudian ICMI dapat dilebur dari sebuah Lembaga Think Tanks berubah menjadi sebuah ORMAS CENDEKIAWAN ISLAM. Setiap Orang Islam yang duduk dalam jabatan Pemerintahan dan Universitas berbondong menjadi Anggota ICMI sampai keseluruh organ Pemerintahan tingkat Kecamatan. Sejak itu ICMI bukan lagi sebuah Lembaga Think Tanks. Taapi berubah sebagai ORMAS "Cendekiawan Muslim"
Inilah sejarah de Islamisasi di Indonesia sejak tahun 1972.
Menjawab sebuah pertanyaan, mengapa de Islamisasi lebih berhasil menggarap Organisasi Islam NU dari pada Organisasi Islam lainnya ?
Karena dalam tubuh Organisasi Islam selain NU, pengaruh seorang ulama/Ustadz/Kiyai terbatas pada wilayah interaksi aktif dalam sebuah kajian. Sedangkan dalam tubuh Organisasi NU pengaruh seorang Kiyai /Ulama akan mampu menjangkau tingkatan berjenjang dari tingkatan para santri sampai penganut NU akar rumput.
Bila dihitung secara kasar, saat de Islamisasi mampu mengendalikan seorang kiyai/Ustadaz/Ulama diluar NU maka seorang Ulama disana paling banyak pendapatnya hanya akan diikuti oleh seratus orang pengikut. Tapi bila seorang Ulama/Kiyai NU dapat dikendalikan de Islamisasi, maka Ulama itu akan diikuti secara totalitas oleh para santrinya yang ratusan dan akan diikuti pula oleh akar rumput sampai ribuan orang.
12 November 2017