FSGI: DKB 3 Menteri Diduga Kuat Timbilkan Mis-Infirmasi di Lapangan
SKB 3 Menteri itu salah satunya mengatur tentang murid dan guru di sekolah negeri yang berhak memilih seragam yang dikenakan dengan atau tanpa kekhasan agama tertentu. Namun, dari pantauan lapangan oleh jaringan FSGI di berbagai daerah, ternyata SKB 3 Menteri menimbulkan mis-informasi di kalangan peserta didik, pendidik dan orangtua peserta didik.
“FSGI memberikan dukungan dan apresiasi terhadap hadirnya SKB 3 Menteri terkait dengan seragam sekolah. Dukungan yang kami berikan tentunya bukanlah cek kosong tetapi disertai dengan beberapa catatan,” sebut Heru Purnomo, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Lebih lanjut Heru menyebutkan, ”Terbitnya SKB 3 Menteri ini diduga sangat erat kaitannya dengan peristiwa di SMK Negeri 2 Padang. Jangan sampai SKB ini hanya sebagai tindakan reaktif pemerintah untuk meredam gejolak yang muncul dari kasus tersebut tanpa kajian dan tindak lanjut untuk menyelesaikan tindakan intoleran dalam bentuk lainnya di sekolah. Seperti yang disampaikan Menag pada saat peluncuran SKB ini, apa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang merupakan puncak gunung es dari budaya intoleran di sekolah. Sehingga kami sangat berkeyakinan bahwa hadirnya SKB ini tidak akan cukup untuk menyelesaikan tindakan intoleran di sekolah.”
Peristiwa yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang bukanlah satu-satunya tindakan intoleran dalam penggunaan seragam sekolah. FSGI mencatat sedikitnya ada 10 Kasus yang terungkap ke publik sekitar tahun 2014-2021, yaitu :
1. SMA N 2 Denpasar 2014 Larangan siswa menggunakan jilbab lewat Tata Tertib sekolah. Tidak disebutkan secara eksplisit pada aturan tersebut, tetapi siswa yang menggunakan seragam berbeda dianggap melanggar aturan sekolah
2. SMA N 5 Denpasar 2014 Melarang siswa menggunakan tutup kepala lewat pengumuman membuat siswa yang ingin menggunakan jilbab mengurungkan niatnya
3. SMP N 1 Singaraja 2014 Melarang siswa menggunakan jilbab secara terang-terangan
4. SMA N 1 Maumere, Sikka 2017 Siswa yang berjilbab dilarang menggunakan rok yang panjang. Melanggar ketentuan dianggap pelanggaran.
5. SD Inpres 22 Wosi Manokwari 2019 Ada aturan tidak tertulis tetapi berupa himbauan secara lisan larangan menggunakan jilbab. Aturan sudah ada sejak sekolah berdiri.
6. SMA N 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu 2018 Ada aturan tidak tertulis tetapi berupa himbauan secara lisan untuk menggunakan jilbab. Dianggap sebagai budaya sekolah sejak sekolah berdiri.
7. SMP N 3 Genteng Banyuwangi 2017 Peraturan sekolah mewajibkan siswa untuk menggunakan jilbab meski non-muslim. Aturan ini sudah dicabut oleh Bupati Banyuwangi saat itu
8. SD N Karang Tengah 3 Gunung Kidul 2019 Kepala Sekolah mewajibkan siswa baru, kelas I, menggunakan seragam muslim. Pada tahun ajaran berikutnya seluruh siswa wajib menggunakan seragam muslim
9. SMAN 1 Gemolong Sragen 2020 Siswa dipaksa menggunakan jilbab oleh Pengurus ROHIS.
10 . SMK N 2 Padang 2021 Siswa diwajibkan menggunakan busana muslim sesuai dengan Perda yang dibuat oleh Walikota sejak tahun 2005
“ Jika dianalisis kejadian pelarangan dan kewajiban menggunakan jilbab ini terjadi setelah reformasi yang beriringan dengan tumbuhnya politik identitas di Indonesia. Diikuti oleh arogansi mayoritas terhadap minoritas karena selama masa orde baru daerah-daerah terkekang dengan kekuatan sentralisasi pemerintah pusat. Apalagi di masa orde baru penggunaan jilbab di sekolah benar-benar dilarang sampai dengan tahun 1991. Sehingga pertentangan antara kewajiban dan larangan penggunaan jilbab hampir tidak muncul ke permukaan,” ungkap Eka Ilham, guru di SMK N 1 Pali Belo Kabupaten Bima
BENTUK MISINFORMASI DI LAPANGAN
FSGI menemukan bahwa telah muncul misinformasi terkait kehadiran SKB 3 Menteri ini di kalangan publik yang disebarkan lewat media sosial. Pro kontra yang sangat tajam plus ketidakpercayaan terhadap pemerintah termasuk Mendikbud membuat misinformasi ini tersebar dengan masif. “Pro kontra yang terjadi tidak bisa dipandang sebelah mata bahkan dikhawatirkan dapat menjadi amunisi tindakan intoleran lainnya”, ujar Fahriza Marta Tanjung, Wakil Sekjen FSGI.
“Di lingkungan saya dan saya menyimak melalui grup-grup WhatsApp, banyak orang tua yang khawatir, terutama yang menyekolahkan anaknya di Madrasah. Mereka khawatir jika madrasah seperti MI, MTs maupun MA jangan-jangan juga akan dikenakan aturan yang sama. Akan diberi kebebasan memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak,” ucap Slamet Maryanto, Guru SMAN 38 Jakarta.
Hal senada diungkapkan oleh Nihan, Kepala SMA Negeri 3 Kabupaten Seluma, Bengkulu, yang menuturkan, “ Jika di sekolah saya, orang tuanya beranggapan bahwa penggunaan jilbab dilarang sama sekali. Bahkan ada yang beranggapan bahwa siswa diberi hak sebebas-bebasnya untuk menentukan bentuk dan jenis seragam sekolahnya. Sebagai Kepala Sekolah tentunya saya belum bisa memberikan klarifikasi karena belum disosialisasikan.”
Sementara itu, Kepala SMPN 52 Jakarta, Heru Purnomo mengungkapkan, bahwa sebelum keluarnya SKB 3 Menteri, sebagian sekolah itu ada yang mewajibkan, bagi siswa yang menggunakan jilbab, agar menggunakan jilbab yang ada logo sekolahnya. “ Lalu Ini bagaimana? Apa mau dilarang pakai jilbab berlogo sekolah, karena jangan sampai kami divonis melanggar SKB tersebut. Padahal, Kami tidak mewajibkan siswa untuk berjilbab? “, tambah Heru.
Selain itu, ada juga keresahan pada para guru yang mengampu pelajaran agama Islam, karena guru Pendidikan Agama Islam tersebut, selama ini mewajibkan penggunaan jilbab pada peserta didik yang memengikuti mata pelajaran agama islam, ”Jadi hanya diwajibkan kepada siswi yang sehari hari tidak menggunakan jilbab. Artinya hanya saat pembelajaran tatap muka khusus pelajaran agama Islam, apakah ini termasuk pelanggaran”, ujar Eka Ilham, Kepala Divisi Litbang FSGI.
Dalam SKB ditentukan juga bahwa Sekolah dan daerah diberikan waktu dalam 30 hari ke depan untuk mencabut aturannya yang melarang atau mewajibkan seragam sekolah dengan atau tanpa kekhasan agama tertentu. “Namun, jika waktunya 30 hari sejak ditandatangani pada 4 Februari 2021, menurut FSGI hal tersebut sulit di laksanakan di lapangan, mengingat sebagian besar sekolah saat ini masih Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), bagaimana control pemerintah dalam 30 hari kedepan, sementara sistem pengawasan dan siapa yang melakukan pengawasan, belum di atur dalam SKB 3 Menteri tersebut,” urai Retno Listyarti, Dewan Pakar FSGI.
SKB 3 MENTERI, PENEGASAN TERHADAP PERMENDIKBUD TENTANG SERAGAM SEKOLAH
Fahriza Marta Tanjung, Wasekjen FSGI, menyatakan,” Kami menilai, secara prinsip apa yang diatur dalam SKB ini merupakan kelanjutan dari Permendibud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada Permen tersebut dinyatakan bahwa pakaian seragam sekolah terdiri dari pakaian seragam nasional, pakaian seragam kepramukaan dan pakaian seragam khas sekolah.”
Lebih lanjut Fahriza menyatakan bahwa pada Pasal 3 ayat 4 poin d, yaitu : “ Pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing.”
Menurut Reza, itu artinya larangan untuk mewajibkan ataupun melarang menggunakan seragam khas tertentu sesuai dengan agama yang diyakini itu sudah ada sejak Permendikbud ini hadir. Pada permen ini, Pasal 1 ayat 4 juga disebutkan bahwa : “Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.”
Fahriza menambahkan bahwa pakaian seragam muslimah memang hanya untuk siswa beragama Islam bukan siswa beragama lainnya.
“ Jika dilihat dari kronologinya, kehadiran Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 ini patut diduga merupakan jawaban pemerintah saat itu terhadap kasus pelarangan menggunakan jilbab di SMA Negeri 2 Denpasar. Hal yang kurang lebih sama terjadi dengan hadirnya SKB 3 Menteri ini sehingga kami sangat memahami jika pemerintah ingin “menguatkan” dan meningkatkan “Eskalasi Hukum” Permendikbud tersebut lewat SKB ini dengan aturan yang lebih teknis dan operasional,” terang Fahriza.
PENGAWASAN DAN SANKSI BELUM JELAS
SKB 3 Menteri tidak mengatur mekanisme pengawasan, siapa yang melakukan pengawasan, hanya menyebutkan menyediakan portal pengaduan baik secara daring maupun luring. Tampaknya, SKB 3 Menteri berharap korban, baik peserta didik, orangtuanya dan pendidik yang mengadu sehingga bisa di tindaklanjuti untuk diberikan sanksi. Bagiamana kalau tidak ada pengaduan karena korban takut mengadu?
“Sesuai dengan apa yang tertuang dalam SKB 3 Menteri disebutkan bahwa Pemda dan Sekolah diberi waktu selama 30 hari untuk mencabut peraturan yang bertentangan dengan SKB. Saya kira ini sangat sulit dilakukan mengingat sampai dengan saat ini SKB ini belum tersosialisasi dengan baik. Apalagi kami menilai bahwa efektifitas dari SKB ini akan dapat diukur dengan baik adalah bagaimana implementasinya di sekolah bukan sekedar ada aturannya atau tidak. Lalu bagaimana melihat implementasinya sementara saat ini sekolah-sekolah sedang melaksanakan PJJ? Sehingga pengawasan tidak mungkin dilakukan walaupun Kemendikbud sudah menyediakan layanan pengaduan, ” sambung Mansur, Wasekjen FSGI lainnya.
Mansur menambahkan, ” Pada SKB juga tidak jelas disebutkan sanksi yang akan diberikan itu berdasarkan aturan yang mana. Misalnya saja sanksi untuk kepala sekolah maupun guru. Apakah berkaitan dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, atau Permendikbud Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah , atau UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Harus ada kejelasan.”
REKOMENDASI
Berkaitan dengan kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, maka dengan ini FSGI memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Sosialisasi SKB harus dilakukan secara massif, minimal selama 1 tahun atau setidaknya sampai dengan PJJ selesai. Batasan waktu 30 hari untuk mencabut aturan tertulis penggunaan seragam sekolah yang intoleran terlalu terburu-buru apalagi saat ini sedang PJJ. Sosialisasi SKB juga harus diberikan secara berjenjang yaitu Kemendikbud kepada Pemda, Pemda melalui Dinas Pendidikan kepada Kepala Sekolah, Kepala Sekolah kepada guru, siswa dan orang tua.
2. Pelibatan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat juga harus dilakukan dalam sosialisasi SKB karena yang terjadi di lapangan pro kontra SKB ini telah berubah menjadi pertentangan dan perdebatan antar agama bukan hanya sekedar urusan seragam sekolah. Peran Kementerian Agama perlu ditingkatkan lagi tidak hanya sekedar melakukan pendampingan moderasi beragama dan memberikan pertimbangan untuk pemberian sanksi tetapi juga dilibatkan dalam sosialisasi.
3. Kemendikbud juga harus memastikan bahwa guru, siswa dan pegawai sekolah yang memilih untuk berbeda (memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan seragam khas keagamaan tertentu) dari mayoritas pilihan warga sekolah mendapat perlindungan dari tindakan diskriminasi dalam lingkungan sekolah maupun dalam proses belajar mengajar
4. Setelah PJJ selesai dan PTM dilaksanakan, akan terlihat implementasi SKB yang sesungguhnya disinilah proses pengawasan baru dapat berjalan. FSGI mendorong siswa, guru, pegawai sekolah dan orang tua agar berani melaporkan tindakan intoleran dalam penggunaan seragam sekolah.
5. Perlu dilakukan revisi terhadap SKB terkait dengan batas waktu pencabutan aturan tertulis penggunaan seragam sekolah yang intoleran dan sanksi yang akan diberikan. Setidaknya ada aturan tambahan yang memperjelas batas waktu pencabutan aturan tersebut dan sanksi yang akan diberikan kepada kepala sekolah dan guru.