Lawan Rencana Revisi Peraturan Sektor Minerba Pro Oligarki!
IRESS memandang bahwa draft revisi PP No.23/2010 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar sumber daya alam (SDA) dikuasai negara dan sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pengelolaannya harus dijalankan oleh BUMN dan BUMD. Tujuan nya adalah agar negara mendapat manfaat dari pengelolaan SDA minerba bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika revisi PP No.23/2010 tetap terjadi, maka manfaat bagi kemakmuran rakyat berkurang dan pihak yang paling diuntungkan adalah para kontraktor tambang KK dan PKP2B, yang selama puluhan tahun telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari kekayaan rakyat tersebut. Ketidakadilan ini harus dihentikan!
Sedikit kilas balik, Kementerian ESDM yang dimotori oleh Menteri Ignasius Jonan, pertama kali menggagas Revisi Ke-6 PP No.23/2010 pada November 2018 setelah gagal menuntaskan pembahasan RUU Revisi UU No.4/2009 pada April 2018. Karena besarnya penolakan LSM dan publik, Revisi Ke-6 PP No.23/2010 batal ditetapkan. Setelah itu, DPR dan pemerintah pada akhir September 2019 mencoba menyeludupkan RUU Revisi UU No.4/2009 pro-oligarki bersamaan dengan penetapan RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan dan RUU Permasyarakatan untuk disahkan Presiden Jokowi. Karena penolakan para demonstran, terutama mahasiswa, pelajar STM dan masyarakat, akhirnya keempat RUU tersebut batal ditetapkan, kecuali UU KPK.
Setelah pelantikan Presiden dan DPR 2019-2024, RUU Revisi UU Minerba No.4/2009 kembali diintensifkan pemerintah, bersamaan dengan rencana Revisi Ke-6 PP No.23/2010 dan RUU Omnibus Law CLK. Rencana-rencana perubahan telah disinggung Presiden Jokowi pada pelantikan tanggal 20 Oktober 2019 dan oleh DPR pada penetapan 50 RUU Prolegnas Perirotas 2020 dalam Sidang Paripurna 22 Januari 2020. Salah satu pernyataan Presiden yang patut dicatat, penetapan RUU Omnibus Law dan RUU Revisi UU Minerba penting dan mendesak ditetapkan guna menggalakkan investasi, memberi kepastian hukum dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun dibalik itu, tampaknya tersembunyi agenda pro-oligarki.
Sesuai rencana Presiden dan DPR di atas, pemerintah di bawah koordinasi Menko Preekonomian Airlangga Hartarto secara khusus memberi kesempatan kepada pihak terkait membahas perpanjangan PKP2B (berbentuk izin usaha pertambangan khusus, IUPK) melalui “kluster kemudahan berusaha” dalam RUU Omnibus Law CLK. Sejalan dengan rencana itu, pemerintah melalui Menteri ESDM Arifin Tasrif telah meminta agar ketentuan dalam RUU Omnibus Law CLK disesuaikan dengan Revisi Ke-6 PP No.23/2010. Permintaan Menteri ESDM Arifin ini disampaikan kepada Menko Perekonomian Airlangga pada 9 Desember 2019.
Kampanye Kementerian ESDM untuk memberlakukan Revisi Ke-6 PP No.23/2010 memang telah menjadi fokus pemerintah dalam 3 bulan terakhir. Ketentuan dalam PP telah ditetapkan lebih dulu, tidak peduli isinya bertentangan dengan konstitusi atau UU. Terlihat Direktorat Jenderal Minerba KESDM terlalu bersemangat menjelaskan isi PP kepada DPR dan berbagai pihak, termasuk LSM, akademisi dan pegiat demokrasi tentang mendesak dan perlunya Revisi Ke-6 PP No.23/2010, tanpa memperdulikan apakah itu sudah sesuai dengan UUD 45 dan atau amanah MK tentang wajibnya melibatkan BUMN dalam pengelolaan SDA minerba.
Demi kepentingan oligarkis, segala upaya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Minerba, tidak peduli apakah itu merugikan negara dan rakyat, dan bertentangan dengan ketentuan UU No.21/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam presentasi kepada sejumlah pakar, asosiasi profesi sektor pertambangan dan LSM, termasuk IRESS, pada 3 Februari 2020, Dirjen Minerba Bambang Gatot Ariyono menjelaskan pentingnya memberi perpanjangan operasi (berbentuk IUPK) kepada kontraktor PKP2B dan KK yang kontraknya akan berakhir beberapa tahun ke depan. Terlihat seakan-akan Bambang Gatot menggiring peserta untuk menerima perpanjangan kontrak (berbentuk IUPK) PKP2B dengan menyatakan antara lain: 1) Perpanjangan PKP2B merupakan komitmen Pemerintah dan merupakan hak perusahaan; 2) IUPK perpanjangan PKP2B berbeda dengan IUPK dari WPN dalam hal izin, penerimaan negara, luas wilayah dan pengaturan; 3) luas wilayah yang akan diberikan kepada kontraktor PKP2B sesuai kondisi eksisting (RKSW) lebih bermanfaat dibanding luas wilayah diberikan maksimal 15.000 ha; 4) dana hasil produksi batubara (DHPB) yang diterima negara dari perpanjangan PKP2B akan lebih besar.
Argumentasi tersebut jelas melawan kehendak UUD 1945 serta tugas dan fungsi Pemerintah mengelola dan memanfaatkan SDA untuk kepentingan rakyat melalui BUMN. Presentasi Dirjen Minerba hanya menampilkan keunggulan pengelolaan oleh kontraktor PKP2B. Dirjen Minerba seakan akan ingin mengatakan bahwa negara akan mengalami rugi besar jika BUMN yang mengelola SDA minerba tersebut. Padahal, justru dengan dikelola oleh BUMN, negara dan rakyat akan mendapat penerimaan terbesar! Terlihat sekali Pemerintrah berpihak kepada segelintir kontraktor PKP2B, namun pada saat yang sama nekat melanggar konstitusi, undang-undang dan hak rakyat, sekaligus pula intensif menyebar informasi yang berat sebelah dan cenderung mengandung kebohongan publik!
IRESS menyatakan di samping melanggar Pasal 33 UUD 1945, Revisi Ke-6 PP No.23/2010 juga bertentangan dengan sejumlah ketentuan UU Minerba No.4/2009, yakni Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171. UU Minerba tidak mengenal adanya perpanjangan KK/PKP2B. Pemerintah berargumentasi bahwa hak perpanjangan otomatis kepada kontraktor PKP2B dengan merujuk pada Pasal 47, 169 dan 171 UU Minerba No.4/2009, Pasal 30 Amandemen PKP2B, Pasal 112 PP No.23/2010 dan Pasal 112 PP No.77/2014. Pemerintah sepertinya juga sedang “mengakali” penggunaan kata “dapat” pada ketentuan Pasal 47 UU Minerba. UU Minerba justru memberikan ruang besar kepada BUMN untuk mengelola lahan lahan bekas KK/PKP2B yang habis masa berlakunya. Karenanya jika yang dijadikan rujukan lain adalah PP No.23/2010 dan PP No.77/2014, karena posisinya yang lebih rendah dibanding UU Minerba No.4/2009 (sesuai tata urutan perundang-undangan Pasal 7 UU No.12/2011) maka dasar hukum tersebut otomatis batal demi hukum.
Hasil kajian atas notulen pembahasan dan diskusi pembentukan UU Minerba No.4/2009 pada periode 2005-2009 oleh pemerintah dan DPR yang tersimpan di Sekretariat DPR (memori van van tooeghlifhting),serta hasil diskusi dengan sejumlah mantan pejabat yang ikut pembentukan UU Minerba, ditemukan bahwa kontrak PKP2B yang dihormati hanya berlaku untuk 30 tahun. Hal ini tidak termasuk perpanjangan untuk 2 kali 10 tahun. Oleh sebab itu, RKAB yang berlaku juga hanya untuk 30 tahun, bukan 50 tahun.
Setelah berakhirnya masa berlaku suatu kontrak (KK atau PKP2B), pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak. Seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR. Namun, sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis negara, dan terutama guna menjamin ketahanan energi nasional, maka sudah seharusnya pengelolaan dan pemanfaatan atas WPN tersebut dilakukan oleh BUMN.
Pengelolaan WPN hasil dari PKP2B yang kontraknya berakhir harus dilakukan oleh BUMN khusus yang 10.
Marwan Batubara
Direktur Eketif iRess
