Investigasi Infrastruktur Garam Nusa Tenggara Barat
================================
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Petani garam harus menguji komitmen pemerintah untuk kembangkan pengelolaan program bantuan pembangunan infrastruktur garam. Tentu, upaya perkuat program tersebut, membutuhkan investasi garam yang memadai dalam menunjang pembangunan infrastruktur garam nasional, misalnya: Gudang garam, alat produksi, mesin penyedot air atau penimba air tawar, penyiapan geomembran dan transportasi pengangkut garam.
Baiknya pemerintah fokus mendatangkan investasi garam untuk perbaiki infrastruktur garam nasional dan kerja taktis dalam perpendek pola distribusi garam yang tidak lagi melibatkan kartel asing. Sehingga petani garam nasional bisa memiliki kemandirian yang kuat dan bertahan, stok garam juga selalu tersedia.
Investasi garam ini menjamin, agar kualitas garam lokal meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan pasar lokal dan industri. Tentu, harapannya agar garam lokal terserap sesuai kebutuhan pasar konsumsi dan industri. Syarat berjalannya investasi garam secara baik dan benar ini, maka diperlukan peningkatan produktivitas petani garam sehingga meningkat kualitas garam lokal dalam bernagai level. Dengan adanya investasi garam masuk akan terjalin sinergi antara sektor industri dengan para petani garam.
Sinergi tersebut, tentu dapat meningkatkan kesejahteraan para petani garam dalam negeri, sekaligus menjamin ketersediaan garam sebagai bahan baku sektor industri. Upaya investasi garam, jelas membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sebut saja Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat, yang memiliki potensi untuk menjadi produsen garam industri nasional dan substitusi impor. Dengan mengganti garam industri impor, pemerintah akan menghemat devisa serta mencegah impor secara terus menerus.
Tentu, syarat pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat agar bisa memenuhi investasi infrastruktur garam tersebut, harus meyakinkan banyak pihak bahwa: proses peningkatan kualitas garam nasional harus dimulai dari proses hulu produksi garam oleh petani, misalnya dengan menjaga konsistensi masa produksi garam sampai memperoleh hasil yang optimal, dengan kandungan NaCl untuk garam konsumsi minimal 94% dan garam industri 97%.
Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan teknologi modern sehingga bisa mencapai standar kualitas yang sesuai kebutuhan industri dan meningkatkan serapan garam lokal. Kadar NaCl yang tinggi juga harus disertai dengan impuritas dan cemaran logam yang rendah.
Dengan demikian, pemerintah pusat via Kementerian Kelautan - Perikanan dan pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa berkolaborasi mendorong secara bertahap dalam upaya peningkatan kualitas garam, termasuk untuk tambahan ketersediaan lahan.
Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan tambak garam sekitar 11 ribuan hektar, namun lahan yang produktif sekitar 5 ribu hektar. Angka tersebut merupakan data tahun 2017 dan belum ada perubahan data sampai sekarang. Bahkan, belum juga ada penambahan penggunaan lahan produktif tersebut.
Mestinya, areal tambak garam di NTB dihajatkan untuk memproteksi garam impor dan memperkuat produktifitas dengan kebijakan akseleratif melalui investasi infrastruktur garam. Namun, sayangnya pemerintah daerah NTB dinilai belum fokus pada pemberdayaan petani garam, sehingga petani garam di daerah ini memiliki ketergantungan dengan kebijakan impor garam oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian, ketika ada impor garam yang masuk ke Indonesia, maka petambak lokal pun kena imbasnya. Misalnya di tahun 2017 sampai desember 2019 lalu, pemerintah pusat mengimpor garam antara 2,4 juta ton, petani garam lokal langsung kena imbasnya. Misalnya garam di Sumbawa atau di Lombok harganya sekitar Rp 700 per kilo. Lebih rendah dari harga petani garam di Sulawesi Selatan yang sebesar Rp 1.400 per kilo. Ditambah dengan impor garam di tahun 2019 ini sebesar 2,7 juta ton, bagaimana harga garam lokal tidak jatuh. Sekarang harga garam sangat anjlok turun hingga 30%.
Padahal, sejak 20 19 hingga awal 2020, harga garam rakyat semakin anjlok. Selain tak laku di pasaran, memasuki musim hujan, harga garam turun hingga Rp 150/kilo. Harga jual itu anjlok jika dibandingkan periode Juni 2019 yang mencapai harga Rp 500/kilo. Sementara, tahun 2020 sebesar Rp 100 - 300 rupiah tergantung kualitasnya.
Pasalnya rencana berhenti impor garam industri dilakukan pada tahun 2020 itu hanya janji palsu dan kebohongan terbuka. Malah, pemerintah permudah izin importasi bahan baku garam untuk industri tahun 2020. Pemerintah membuka kembali keran impor garam industri sebanyak 2,92 juta ton pada tahun 2020. Bahkan, naik 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 2,75 juta ton. Impor garam ini menjadi perhatian. Lantaran kualitas garam lokal dianggap masih belum sesuai dengan spesifikasi kebutuhan industri, NaCl di atas 97%.
Mestinya, pemerintah memikirkan dan pertimbangkan solusi untuk menyetop atau mengurangi impor garam yaitu memaksimalkan lahan tambak garam di dalam negeri. Misalnya dengan mengakses sekitar 60 ribu hektar lahan tambak garam secara nasional. Pola itu akan mampu menambah jumlah produksi yang saat ini menghasilkan sekitar 5 juta ton per tahun.
Hal itu, kebijakan yang diambil pemerintah terkait impor garam kurang tepat. Stok garam diawal tahun 2020 sekitar 1,9 juta ton, hampir 2 juta ton. Ditambah impor sekitar 2,9 juta ton. Jadi stok menjadi 4,9 juta ton. Padahal, kebutuhan garam tahun 2020 hanya sekitar 4,3 juta ton. Jadi kelebihan 600 ribu ton.
Salah satu solusi untuk menyetop atau mengurangi impor garam yaitu dengan memaksimalkan lahan tambak garam di dalam negeri. Misalnya dengan mengakses sekitar 30 ribu hektar lahan tambak garam secara nasional. Pola itu akan mampu menambah jumlah produksi yang saat ini menghasilkan sekitar 3 juta ton per tahun. Permintaan garam industri dan konsumsi yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dimana tahun 2019 penambahannya sekitar 10 persen untuk garam konsumsi.
Karena itulah harus memaksimalkan potensi tambak garam agar tak ada alasan lagi kekurangan garam lalu impor. Kualitas garam yang diproduksi garam lokal dinilai cukup baik untuk diserap oleh industri.
Jika Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa memenuhi penambahan penggarapan lahan yang baru sekitar seluas 7.700 hektar untuk produksi garam potensi lahan yang tersedia. Secara keseluruhan, potensi lahan garam di NTB mencapai 10.000 hektare dan paling sedikit 7.700 hektare dapat direalisasikan dalam waktu 2-3 tahun. Dari lahan seluas 10.000 hektare tersebut, produksi garam bisa capai 2,6 juta ton per tahun.
Strategi yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah yakni harus bisa kembangkan Koperasi petani garam, seperti Pugar yang merupakan cermin dari Pasal 33 UUD 1945, karena itu pemerintah harus mendorong kerjasama yang dominan antara BUMN, BUMD dan koperasi dalam perekonomian dan investasi garam.