Tugas dan Fungsi KPK Dianggap Menyimpang Harus Dilakukan Koreksi
The Jambi Times, JAKARTA | Langkah
Revisi Undang Undang KPK, dianggap sebagai salah satu upaya untuk
meluruskan kembali penyelenggaraan tugas dan wewenang lembaga anti
rasuah itu.
Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus beranggapan,
revisi UU KPK mesti jadi momentum bagi Ketua KPK yang baru Komjen Pol
Firli Bahuri untuk melakukan koreksi total terhadap pelaksanaan tugas
dan wewenang KPK yang selama ini menyimpang.
Lebih
lanjut, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah usai
diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang perubahan
kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Undang-undang KPK versi
revisi itu telah diundangkan pada 17 Oktober 2019.
Menurut Petrus Selestinus, itu artinya, selama 17 tahun KPK, Undang-Undangnya telah mengalami 2 kali revisi.
“Undang-Undang
KPK kali ini harus menjadi momentum bagi Firli dan kawan-kawan untuk
membuat KPK tampil lebih digdaya dan taat asas,” ujar Petrus Selestinus,
Kamis (12/12/2019).
Menurut Advokat Peradi
ini, keinginan agar KPK tampil lebih didgdaya dan taat asas dimaksudkan
agar KPK rezim Firli dkk mampu mengefektifkan dan mengefisienkan tugas
pemberantasan korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan.
“Yang
mana selama 15 tahun usia KPK, hal itu gagal diwujudkan. Padahal, UU
KPK memberikan 5 tugas dan kewenangan besar yaitu koordinasi, supervise,
penyelidikan, penyidikan danpPenuntutan, pencegahan Tindak Pidana
Korupsi dan Monitoring. Namun gagal diimplementasikan,” bebernya.
Selama
ini, dari 5 tugas dasar itu, yang menonjol dilakukan hanya bidang
penindakan, yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
“Sedangkan 4 bidang tugas lainnya nyaris tidak terdengar,” kata Petrus.
Menurut
dia, meski terlihat mennjol, namun penindakan, yakni penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan itu pun tidak sukses. Karena, banyak kasus
besar mangkrak dan tidak tuntas oleh KPK. Seperti, kasus BLBI, Bank
Century, E-KTP dan lain sebagainya.
“Belum lagi
kasus-kasus besar yang mangkrak di Kepolisian dan Kejaksaan yang juga
menjadi wewenang KPK untuk mengambilalih. Tetapi kenyataannya tidak
pernah dilakukan,” ujar Petrus Selestinus.
Petrus mengatakan,
kegagalan pencegahan dan pemberantasan korupsi selama 15 tahun
perjalanan KPK tidak semata-mata karena ada titik lemah pada UU KPK.
Tetapi juga pada persoalan kapasitas pimpinan KPK yang mudah
diintervensi.
“Pimpinan KPK akhirnya melakukan
praktek tebang pilih, dan memilih jalan pintas melakukan penindakan
dengan cara OTT. Karena OTT tidak mudah diintervensi dan mendapat
publikasi luas, tetapi OTT juga bisa diorder untuk target-target
tertentu,” imbuhnya.
Persoalan kegagalan
melaksanakan tugas di KPK, lanjutnya, dikarenakan tidak semua tugas,
wewenang dan kekuasaan besar atau superbody yang diberikan oleh UU itu
diimplementasikan.
Contoh, kewenangan dalam
koordinasi dan supervisi yang memungkinkan KPK mengambilalih penyidikan
atau penuntutan dari Polri atau Kejaksaan, namun KPK tidak pernah
lakukan itu.
“Juga KPK tidak pernah
menghasilkan konsep tentang sistim pemberantasan korupsi yang lebih
baik, sesuai tugasnya di bidang monitor, pada pasal 9 UU KPK,” ungkap
Petrus.
Petrus mengingatkan, tugas yang selama
ini belum dilakukan secara serius oleh KPKJ yakni yang tertuang pada
ketentuan pasal 14 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu tugas
monitoring. Tugas ini seharusnya melakukan pengkajian terhadap system
pengelolaan administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintahan.
“Dan
memberi saran untuk melakukan perubahan sistem jika sistem yang ada
berpotensi korupsi. Namun fungsi inipun tak terdengar,” ujarnya.
Selama
ini, menurut Petrus, KPK justru terjebak pada tindakan-tindakan
konvensional yang sama. Dan dikhawatirkan, hal itu juga terus terjadi
pada Polri dan Kejaksaan. “Sehingga KPK kehilangan soperbody-nya,
menjadi loyo dan gagal mengeksekusi kekuasaan yang digdaya itu,”
ujarnya.
KPK Baru di Bawah Kepemimpinan Komjen Pol Firli Bahuri Harus Buktikan Lebih Baik Dari KPK Terdahulu
Petrus
Selestinus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
ini menyampaikan, pasca revisi UU KPK, penampilan atau performa KPK
baru harus berbeda. Sebab, saat ini sudah ada sebuah struktur baru di
KPK yaitu Dewan Pengawas KPK (Dewas).
Dewas KPK memiliki kekuasaan dan kewenangan mengawasi dan ikut menentukan proses penindakan di KPK.
Dewas
KPK juga memiliki kewenangan mencampuri adanya Surat Penghentian
Penyidikan Perkara (SP3) di KPK. Posisi KPK sendiri berada pada rumpun
kekuasaan eksekutif. Pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Serta
adanya tambahan asas dimana pada setiap tindakan KPK harus tetap
menjunjung tinggi HAM di samping asas-asas lainnya,” jelasnya.
Revisi
UU KPK itu telah memunculkan organ baru dengan status hukum baru. Di
mana KPK menjadi lembaga yang berada di bawah rumpun kekuasaan
eksekutif. Hal tersebut berimplikasi kepada hilangnya organ Penasehat
KPK dan Pegawai KPK Non-ASN.
“Perubahan
struktur dan status hukum KPK ini diharapkan agar kedigdayaan KPK terus
bertambah. Dan harus berjalan dengan tetap menjunjung tinggi HAM dan
asas-asas lainnya,” tegas Petrus.
Dengan
perubahan itu pula, diingatkan Petrus Selestinus, mestinya pada tanggal
17 Oktober 2019 lalu, KPK langsung mengumumkan siapa saja Pegawai KPK
yang tidak lagi memenuhi syarat. Hal itu bersamaan dengan dihilangkannya
Penasehat KPK.
Sayangnya, hal itu tidak pernah
diumumkan sampai sekarang. Padahal, ketentuan itu harus diumumkan,
termasuk Penyidik KPK yang kehilangan status dan wewenang sebagai akibat
berlakunya UU KPK No. 19 Tahun 2019 ini.
“Beberapa
Penyidik yang serta merta kehilangan legal standing untuk menjadi
Penyidik tetapi diduga masih diberi peran menyidik. Ini melanggar
ketentuan pasal 70C UU KPK hasil revisi,” katanya.
Oleh
karena itu, Petrus Selestinus mengingatkan Firli Bahuri dkk bersama
Dewas KPK, agar menjernihkan persoalan itu. Sebab, yang dilakukan
penyidik itu menyangkut hasil penyidikan yang kelak akan diuji dalam
persidangan.
Atau, kata dia, jika perlu,
kinerja Agus Rahardjo dkk dilakukan audit forensik, guna memastikan
seberapa banyak dan besar penyimpangan terjadi dan siapa saja korbannya.
“Kita
hanya bisa memastikan terjadinya penyimpangan melalui lahirnya revisi
UU KPK. Tetapi kita belum bisa memastikan berapa besar dan banyaknya
penyimpangan dan siapa saja yang telah jadi korban pelaksanaan tugas
pimpinan KPK yang menyimpang selama rezim Agus Rahardjo dkk,” ujarnya.
Dewas KPK Untuk Mengontrol Kekuasaan Yang Tanpa Batas
Dilahirkannya
Dewan Pengawas KPK (Dewas KPK), menurut Petrus Selestinus, adalah
sebagai bukti bahwa selama 17 tahun berjalannya Undang-Undang KPK,
keberadaaan institusi anti rasuah itu nyaris tanpa kontrol yang memadai.
Indenpendesi
KPK selama ini juga sering dipertanyakan. Sehingga potensi atau dugaan
terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan KPK cukup
dirasakan oleh masyarakat, khsusnya Penyelenggara Negara, yang sering
jadi target tebang pilih dalam penindakan di KPK.
Petrus
mengatakan, sudah sangat banyak keluhan dari penyelenggara Negara dan
masyarakat atas praktek tebang pilih dalam penindakan oleh KPK.
Dia
melanjutkan, masyarakat pencari keadilan juga mengalami praktek
kesewenang-wenangan KPK dalam menjerat pelaku atau pelaku lain.
“Dengan
menciptakan posisi offside bagi pihak-pihak tertentu. Bahkan
kesewenang-wenangan melepaskan pelaku lain dengan cara hanya
menjadikannya saksi atau tidak diikutsertakan sebagai pelaku turut
serta,” ujarnya.
Kabar mengenai adan ya praktik
tawar menawar penerapan pasal-pasal mana yang mau digunakan terhadap
pelaku tertentu, juga sudah santer di KPK.
“Hal
itu juga sudah banyak diungkap dari jeritan mantan Napi KPK. Namun
belum pernah dilakukan audit rorensik. Inilah yang harus dilakukan oleh
Firli dkk dalam 100 hari pertama menjalankan tugasnya,” tantang Petrus
Selestinus.
Bagi Petrus, kekuasaan dan
kewenangan yang nyaris tanpa control. Apalagi dengan embel-embel
Independen sebagai mahkota berlindungnya, maka banyak pihak yang terkait
kasus korupsi sering diintimidasi oleh KPK.
“Termasuk,
mengintimidasi saksi-saksi dengan narasi yang menyeramkan untuk
diekspose ke media. Padahal, UU mewajibkan KPK untuk melindungi saksi.
Karena Saksi memiliki peran besar dan menentukan dalam mengungkap sebuah
kejahatan korupsi,” ungkapnya.
Dengan adanya
Dewas KPK, dia berharap, KPK akan berjalan secara normal dengan tetap
menjunjung tinggi asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 UU KPK
hasil revisi. Yaitu Kepastian Hukum, Keterbukaan, Akuntabilitas,
Kepentingan Umum, Proporsional, dan Penghormatan Terhadap Hak Asasi
Manusia.
“Sehingga kekhawatiran banyak pihak
bahwa KPK akan sewenang-wenang, arogan dan lain sebagainya itu, bisa
diminimalisir,” ujar Petrus.
Perilaku Pimpinan
KPK dan Pegawai KPK akan diawasi dan ditindak oleh Dewas KPK. Peran
partisipasi publik berupa memberikan laporan atau melaporkan Pimpinan
KPK dan Pegawai KPK kepada Dewas KPK juga bisa dilakukan manakala
terjadi malpraktek atau perilaku menyimpang.
“Jadi semua sudah terbuka lebar. Apalagi KPK juga wajib membuka diri terhadap pelaksanaan fungsi Dewas KPK ini,” katanya.
Dengan
dipilihnya Komjen Pol Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru,
masyarakat Indonesia dan dunia internasional ingin segera melihat warna
baru KPK. Dengan tambahan kewenangan, kekuasaan untuk menunjang
pelaksanaan 5 tugas besar KPK, yang selama ini stagnan dan diabaikan.
Menurut
Petrus, revisi UU KPK justru memberi tambahan wewenang kepada KPK, agar
pencari keadilan dan semua pihak yang terkait dengan KPK tidak
dizolimi.
“KPK
akan dengan leluasa melakukan tugas koordinasi, monitor, supervisi,
pencegahan dan penindakan, sebagai langkah awal mengefisienkan dan
mengefektifkan tugas dan wewenang Polri dan Kejaksaan di bidang
Pemberantasan Korupsi yang masih stagnan,” tuturnya.JON
