Iman Sebagai Pandangan Hidup
Pandangan hidup
THE JAMBI TIMES - Pandangan hidup adalah istilah yang digunakan untuk menyebut cara pandang manusia terhadap dunia dan kehidupan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pandangan hidup sebagai
konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam masyarakat yang
bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini ). Dalam bahasa Inggris, pandangan hidup disebut dengan istilah worldview (kadang ditulis: world-view), [1] yang dalam kamus Longman Language Activator didefinisikan sebagai the attitude that a person, a group or nation has towards life and the world
(cara pandang yang dimiliki satu orang, satu kelompok atau bangsa
terhadap kehidupan atau dunia). Sebagai contoh, kamus itu menyebutkan
pandangan hidup bangsa Indian tradisional yang dibentuk oleh
konsep-konsep yang sudah mapan bagi mereka. Contoh lainnya adalah
pandangan hidup Komunis, yang tentu dibentuk oleh paham atau ajaran
Komunis.
Istilah lain, dalam bahasa Inggris, yang mengandung pengertian pandangan hidup secara lebih khusus adalah vision (visi). Harfiah, vision diambil dari bahasa Latin visio, yang berasal dari videre,
melihat. Pengertian yang berlaku selanjutnya adalah (1) penglihatan,
daya lihat; (2) pandangan; (3) impian, khayalan, bayangan.[2]
Sebagai istilah, visi antara lain berarti bayangan indah yang merasuk ke dalam pikiran dan berpengaruh kuat.[3]
Pengertian ini menegaskan bahwa visi adalah sebentuk pandangan yang
menumbuhkan suatu bayangan atau gambaran dan tekad membaja untuk
menjelmakannya menjadi sebuah kenyataan. Pengertian tentang visi ini
akan lebih mudah dipahami bila kita bawa ke dunia seni bangunan
(arsitektur). Seorang arsitek (ahli seni bangunan) memulai kerjanya
dengan membuat bayangan atau gambaran tentang bentuk bangunan di dalam
otaknya. Bayangan itu kemudian dituangkan ke dalam sket (gambar kasar),
yang selanjutnya dikembangkan menjadi gambaran yang rinci, sehingga
akhirnya bisa diwujudkan menjadi sebuah bangunan yang sebenarnya.
Bayangan bentuk bangunan yang ada di kepala sang arsitek itu adalah visi
dalam pengertian sederhana. Lebih lanjut, visi sang arsitek akan nampak
semakin nyata dan khas ketika ia mengaitkan bentuk bangunannya dengan
keadaan lingkungan alam, kebutuhan, adat, dan kebudayaan masyarakat yang
hendak menggunakan bangunan itu, sehingga ia membuat rancangan bagunan
yang bersesuaian dengan hal-hal tersebut. Bila sang arsitek hanya
merancang bangunan tanpa mempedulikan hal-hal tersebut, maka ia layak
disebut sebagai arsitek yang tidak mempunyai visi. Barangkali karena
itulah dalam sebuah kamus keluaran Oxford University Press, visi
didefinisikan sebagai power of seeing or imagining, looking ahead, grasping the truth that underlies facts (kemampuan melihat atau membayangkan, melihat ke depan, memahami kebenaran di balik fakta-fakta).[4]
Dalam naskah ini pandangan hidup dan visi dianggap sebagai dua hal yang tak terpisahkan. Pandangan hidup adalah pandangan (wawasan) menyeluruh tentang dunia dan kehidupan; sementara visi adalah pandangan yang berkaitan dengan bidang-bidang atau hal-hal tertentu dalam kehidupan. Dengan kata lain, pandangan hidup mewakili pandangan atau pengetahuan umum (general idea), dan visi mewakili pandangan pengetahuan khusus (special idea), yang biasanya hanya dimiliki orang-orang tertentu.
Dengan kata lain, pandangan hidup sebenarnya merupakan ‘seluruh
pengetahuan (informasi) tentang kehidupan yang diterima seseorang’.
Sedangkan visi adalah ‘suatu gambaran tertentu tentang sisi kehidupan
tertentu, yang mempengaruhi seseorang, sehingga ia bersemangat untuk
mewujudkannya menjadi kenyataan’.
Iman sebagai pandangan hidup
Bicara tentang iman sebagai pandangan hidup adalah bicara tentang sisi qalbiyah dari iman, dengan catatan bahwa istilah qalbun atau al-qalbu di sini adalah jiwa, yang dalam kajian psikologi terbagi menjadi dua unsur atau daya (potention), yaitu pikiran dan perasaan. Dengan demikian, sisi qalbiyah (= kejiwaan) yang dimaksud di sini bila dirinci akan mencakup sisi penalaran atau pemahaman (intelect; kognitif), cita-cita (idealism), penghayatan batin atau perasaan (emotion; afektif), dan kehendak atau keinginan (will). Jadi, jelaslah bahwa pandangan umum yang menganggap sisi qalbiyah dari iman sebagai kepercayaan
– yang masuk ke bidang perasaan – adalah suatu pandangan yang tak
seimbang, karena mengabaikan satu sisi jiwa yang lain, yakni pikiran.
Selain itu, pandangan demikian juga berbahaya karena menjerumuskan iman
ke lubang gelap tanpa dasar, sehingga iman menjadi sesuatu yang serba
rahasia (misterius). Padahal, rujukan-rujukan agama kita yang pokok,
Al-Qurãn dan Hadis, memaparkan ‘apa itu’ iman secara demikian gamblang.
Tapi bisa dimaklumi juga mengapa pendangan demikian itu bisa hidup. Hal
itu sangat berhububungan dengan pengajaran agama yang cenderung
menggambarkan iman sebagai sebuah doktrin.[5]
Sisi penalaran, pemahaman dan cita-cita dengan kata lain berarti alam pikiran, atau jalan pikiran, atau logika.[6] Sedangkan perasaan dan keinginan, bisa dikatakan sebagai alam rasa atau alam kebatinan, bila mengingat bahwa batin dalam pemahaman orang Indonesia berarti perasaan.[7]
Di antara kedua sisi jiwa itu, perasaan lah yang paling banyak berperan
dalam mengendalikan kehidupan manusia secara umum. Hal itu terjadi
karena, pertama, perasaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan panca indra, yang merupakan ‘modal awal’ untuk bisa menjalani hidup. Kedua,
pada saat manusia hanya menguasai ilmu dalam kadar yang sangat sedikit,
sisi jiwa yang tercakup dalam alam rasa seperti dugaan, perkiraan,
prasangka, kepercayaan, dan sebagainya, dengan sendirinya mendapatkan
peluang untuk berperan. Karena itu, bisa dikatakan bahwa secara umum
manusia adalah makhluk irrational; dalam arti bahwa ratio-(akal)-nya kurang berperan dibandingkan dengan perasaannya.
Sehubungan dengan itu, perhatikanlah perkataan Abu Bakar ini:
“Beruntunglah orang yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin
(dirinya); sebaliknya celakalah orang yang menjadikan nafsunya sebagai
pemimpin.”
Perkataan Abu Bakar tersebut akan menjadi semakin tajam bila
dihubungkan dengan sebuah pepatah, yang kadang disebut sebagai Hadis
Nabi, yaitu: Agama adalah (urusan) akal. Agama tidak berlaku bagi orang yang tak berakal.[8]
Kedua petuah tersebut bisa dijadikan isyarat (indikasi) bahwa agama
(Islam) diturunkan untuk ditempatkan di wilayah akal, supaya akal bisa
menajadi pemimpin dalam kehidupan manusia.
Alam pikiran mu’min
Alam pikiran, atau jalan pikiran, atau logika (yang selanjutnya kita
sebut sebagai pikiran saja) adalah sisi jiwa yang daya atau potensinya
adalah ‘menangkap’ dan mewadahi ilmu. Dengan kata lain, pikiran adalah
daya ilmiah. Selanjutnya, dalam hubungan dengan pandangan hidup, pikiran
mewakili sisi ilmiah dari pandangan hidup. Tegasnya, pikiran itu sama
dengan ilmu, mulai dari ilmu dalam pengertian umum (= pengetahuan)
sampai pada ilmu dalam pengertian khusus (= disiplin ilmu tertentu).
Pada hakikatnya, ilmu adalah benih yang menjelmakan dan mengembangkan
pikiran. Karena itu, jelas sekali, sempit dan luasnya pikiran seseorang
sangat ditentukan bahkan tergantung sekali pada ilmu yang ada dalam
otaknya.
Di sinilah bisa kita lihat dengan gamblang bahwa ketika kita bicara
tentang alam pikiran mu’min berarti bicara tentang ilmu yang
membentuknya, yakni Al-Qurãn. Lebih jauh, isi pikiran “mu’min” bahkan
bisa dihitung secara matematis berdasar jumlah ayat-ayat Al-Qurãn yang
ada di kepalanya. Bila kita gunakan Hadis Nabi yang mengatakan bahwa
iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang,[9]
misalnya, maka bertambahnya iman itu, secara kuantitas ilmu, adalah
karena bertambahnya penguasaan ayat-ayat Al-Qurãn; dan sebaliknya
berkurangnya iman terjadi karena berkurangnya (tidak menetapnya)
ayat-ayat Al-Qurãn yang dikuasainya.
Pernyataan Hadis Nabi itu diperkuat antara lain dengan pernyataan Allah dalam surat Al-Anfãl ayat 2: Sebenarnya
para mu’min adalah mereka yang bila diajak merenungkan (ajaran) Allah
jiwa mereka bergetar (bereaksi positif; menyambut dengan baik), yakni bila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah lah iman mereka, dan selanjutnya bersandar diri lah mereka pada (ajaran) pembimbing mereka (Allah).[10]
Dalam ayat tersebut diisyaratkan adanya hubungan sebab-akibat antara
pembacaan ayat-ayat Allah secara pasif (dibacakan orang lain) dengan
pertambahan iman. Apalagi bila pembacaan itu dilakukan secara aktif
(melakukan pengkajian sendiri), sesuai prosedur,[11] dan memang diniatkan untuk membangun iman.
Tinjauan iman secara kuantitas ilmu itu bisa jadi terasa ganjil bagi
orang-orang yang terbiasa menganggap iman sebagai kepercayaan.
Sebaliknya, menghitung ‘kuantitas’ iman itu justru penting untuk
membebaskan diri dari kecenderungan berpikir mengambang dan melantur,
sehingga akhirnya menganggap ajaran Allah sebagai sesuatu yang tidak
jelas, dan karena itu tidak bisa diuraikan secara nalar (rasional).
Tapi, apakah benar bahwa kuantitas penguasaan ayat menjadi jaminan
tingkatan iman? Pertanyaan ini akan dijawab pada uraian lebih lanjut. Di
sini cuma hendak ditegaskan tentang hubungan sebab-akibat antara ilmu
dan iman, khususnya pada satu sisi iman, yaitu pandangan hidup. Hubungan
sebab-akibat adalah hubungan yang bersifat pasti. Ketika kita sebutkan
ilmu sebagai sesuatu yang membentuk iman, pada dasarnya kita sedang
bicara tentang nilai ilmu.[12] Namun berperan atau tidaknya nilai itu sangat tergantung pada faktor pendukungnya.
Faktor pendukung untuk membuat ilmu menjadi iman adalah sisi lain
dari jiwa, yaitu perasaan dan atau kehendak (niat), yang nanti akan
dibahas tersendiri.
Pembentukan pikiran mu’min
Bila pikiran diumpamakan sebagai sebidang kebun, maka alam pikiran
adalah segala jenis tumbuhan dan hewan yang hidup di kebun itu. Tapi di
dalam pikiran kita tidak menanam pohon atau memelihara hewan. Di dalam
pikiran, kita menampung dan menghidupkan berbagai pengetahuan. Di situ
pula kita memelihara sejenis pengetahuan tertentu (ilmu), yang
selanjutnya malah berperan menjadi pengendali diri kita, khususnya dalam
kehidupan kita sebagai makhluk budaya. Dengan kata lain, dalam pikiran
kita ada sejumlah pengetahuan yang pasif, sebatas menyebabkan kita tahu
sesuatu saja, ada pula ilmu yang aktif, mendorong kita melakukan segala
sesuatu. Ilmu yang aktif tidak hanya memberi tahu tentang apa yang bisa
diperbuat tapi juga menumbuhkan motivasi (niat) untuk hanya melakukan
suatu hal dan tidak melakukan hal yang lain.
Alam pikiran mu’min adalah sebidang kebun yang diramaikan dengan
berbagai pengetahuan, tapi di sana hanya ada satu ilmu yang menjadi
pengendali (dominan) bagi dirinya, yaitu ilmu Allah. Bagaimana hal itu
bisa terjadi?
Ketika orangtua mengirim anaknya ke sekolah, pada hakikatnya ia
sedang mengawali suatu usaha pembentukan pandangan hidup bagi anaknya.
Selanjutnya, para guru, berbagai buku, dan teman-teman, secara perlahan
tapi pasti membuat si anak ‘mengenal kehidupan’. Tapi, sering kali,
orangtua dibuat terkejut ketika sang anak yang disekolahkan itu
tiba-tiba jadi pandai membantah nasihat-nasihat atau
peringatan-peringatannya. Sang anak bahkan membuat orangtuanya marah
karena mulai melanggar sesuatu yang sejak lama dianggap tabu. Si
orangtua agaknya tak sadar bahwa si anak telah tumbuh menjadi manusia
yang mempunyai pandangan hidup yang berbeda dengan dirinya.
Pendidikan adalah faktor pembentuk pandangan hidup, tak terkecuali
pandangan hidup mu’min. Tapi, pada masa kini kita melihat begitu banyak
orang yang mengaku mu’min tanpa harus menempuh proses pendidikan. Dengan
demikian, jangan heran bila mereka kebanyakan tidak mampu mewujudkan
iman ke dalam kehidupan, karena dalam otak mereka yang bernama iman itu
memang tak pernah tergambar dengan jelas.
Tapi, bila iman terbentuk melalui pendidikan, mengapa pula banyak
orang lulusan pesantren dan sekolah agama yang juga tak tahu gambaran
iman yang sebenarnya? Hal itu tentu berkaitan dengan pendidik (guru)
yang mengajar, bahan (materi) dan cara (metode) pendidikan yang
diberlakukan.
Allah sebagai mahaguru
Sigmunt Freud yang lahir tahun 1856 (wafat tahun 1939) diakui dunia
sebagai mahaguru psikologi, yang pengaruhnya hingga kini bukan hanya
merambah bidang psikologi dan psikiatri, tapi juga merembet ke berbagai
bidang-bidang lain. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah tentang
pembagian kepribadian manusia menjadi id, ego, dan super ego.
Id dalam teori Freud adalah dorongan-dorongan naluriah yang mempengaruhi ego (aku; manusia) melalui alam bawah sadar; sementara super ego, yang antara lain berupa ‘kata hati’ berperan sebagai sensor bagi ego. Bila ajaran Freud itu kita bandingkan dengan ajaran Allah yang menegaskan bahwa manusia (ego) ada kalanya dikendalikan dorongan-dorongan dari alam bawah sadar, alias nafsu (id) dan bisa juga dipengaruhi norma-norma sosial atau secara umum disebut ilmu (super ego),
ketahuanlah bahwa teori psikoanalisa Freud itu bukan murni hasil
temuannya. Ada kemungkinan kalau-kalau Freud hanya mencuri! Paling
tidak, mungkin, Freud hanya ‘terilhami’ oleh kata-kata Nabi Yusuf ini:
“Tak akan kubiarkaan diriku mengikuti nafsuku, karena sebenarnya
nafsu itu hanya mendorong untuk berbuat buruk; kecuali nafsu yang
mendapat rahmat (ajaran; wahyu) dari Tuhanku (Allah)…”[13]
Melalui perkataannya itu Nabi Yusuf dengan jelas menggambarkan posisi manusia (aku, ego) yang menjadi rebutan antara nafsu (id) dan kesadaran ilmiah (super ego) yang oleh Nabi Yusuf disebut sebagai rahmat Tuhanku.
Bila kita hubungkan dengan pengalaman Nabi Adam, manusia (ego) terjerumus ke alam bawah sadar (id), alias menjadi hilang kesadaran karena faktor nis-yun (lupa; lalai) alias tiadanya ‘azam (tekad baja) untuk berpegang teguh pada ajaran Allah (super ego).[14]
Melihat kenyataan demikian, siapa sebenarnya yang layak disebut
sebagai mahaguru, Sigmunt Freud (pencuri ilmu) atau Allah (pemilik
ilmu)?
Ilmu Allah dan cara mempelajarinya
Ilmu dalam definisi umum adalah “rangkaian keterangan yang didukung
oleh fakta”. Sementara ilmu Allah adalah “rangkaian keterangan dari
Allah yang didukung oleh fakta yang tergantung kepadaNya”. Tegasnya, rangkaian keterangan dari Allah itu adalah Al-Qurãn, dan fakta yang tergantung kepadanya adalah segala makhluknya, termasuk manusia.
Semua ilmu masuk ke dalam pikiran melalui proses belajar, baik
langsung maupun tidak, baik secara resmi (formal) atau tidak. Tapi ilmu
Allah hanya bisa masuk bila dipelajari secara sengaja, bahkan harus
melalui prosedur (sunnah) dan proses (tahapan) tertentu. Hal itu dipaparkan Allah dalam surat Al-Muzzammil.[15]
Pertama, Allah menegaskan dalam surat tersebut, bahwa
Al-Qurãn adalah materi pelajaran atau bahan ajar yang harus dipelajari
secara langsung, tanpa perantara, dengan cara – ibarat makanan –
‘menggigitnya’ (qaradha) sedikit demi sedikit.
Kedua, sebagai bukti kesungguhan, orang yang akan mengkaji
Al-Qurãn harus mau membagi hidupnya menjadi dua fungsi, yaitu untuk
mencari penghidupan (nafkah) pada siang hari, dan untuk kegiatan
belajar-mengajar Al-Qurãn pada malam hari.
Ketiga, setiap ayat yang sudah dipelajari harus dibawa ke dalam shalat (menjadi bacaan shalat), supaya bisa bertahta dalam kesadaran.
Ilmu Allah sebagai faktor maghfirah
Maghfirah yang dimaksud di sini adalah perbaikan, bukan pengampunan; karena kata kerja dasarnya, ghafara, antara lain berarti ashlaha,
memperbaiki atau dalam istilah sekarang mereformasi. Ada dua pengertian
dari istilah reformasi. Pertama berarti merombak, yaitu mengubah bentuk
yang sudah ada supaya menjadi lebih baik dan cocok. Kedua berarti
membuang sama sekali bentuk lama dan menggantinya dengan bentuk yang
baru. Dua hal itu, perombakan dan/atau penggantian, pasti terjadi
sebagai dampak dari mempelajari suatu ilmu, termasuk ilmu Allah.
Otak manusia bukanlah sebidang kebun kosong. Ketika Allah menurunkan
Al-Qurãn di jazirah Arabia, bangsa-bangsa yang tinggal di tanah itu dan
sekitarnya (Arab, Yahudi, Persia, dll) tentu sudah mempunyai pandangan
hidup sendiri-sendiri. Dengan kata lain, Al-Qurãn tidak ‘jatuh’ ke ruang
hampa. Begitu juga ketika kita, bangsa Indonesia, menghadapinya
sekarang. Bila kita pinjam istilah Hegel, sebelum berhadapan dengan
Al-Qurãn, kita sudah mempunyai sebuah ‘tesis’, yaitu pandangan hidup
yang sudah lebih dulu terbentuk karena masuknya berbagai ajaran atau
ilmu. Dengan demikian, Al-Qurãn datang sebagai sebuah antitesis bagi
pandangan hidup kita itu. Selanjutnya, kita akan bertahan bila merasa
bahwa tesis kita lebih baik. Sebaliknya, bila kita menyadari bahwa tesis
kita buruk, maka kita akan berusaha menerima Al-Qurãn. Tapi hal itu
tidak bisa dilakukan secara dadakan. Harus ada proses, yang sering kali
bahkan meminta pengorbanan.
Pelaksanaan konsep surat Al-Muzzammil, pada dasarnya dimaksudkan
untuk menciptakan perubahan bertingkat (kumulatif) pada pelakunya. Bila
pandangan lama diumpamakan sebagai penyakit, yang membuat kita ‘sakit
jiwa’ (maradhun fil-qalbi), maka Al-Qurãn adalah obatnya, yang harus ‘ditelan’ (dipelajari) butir demi butir (ayat demi ayat).
[1] Kadang disebut juga view of life. Orang Jerman menyebutnya weltanschauung atau weltansicht; orang Arab menggunakan istilah tashawwurul-hayah (تصور الØÙŠØ©).
[2] Kamus Internasional, Osman Raliby, N.V. Bulan Bintang, Jakarta, 1982.
[3] An image, especially something pleasant or beautiful that comes into your mind and affects you strongly. (Longman Language Activator).
[4] Oxford Learner’s Dictionary of Current English.
[5] Ing.: doctrine,
pengertian aslinya adalah kepercayaan-kepercayaan dan ajaran Gereja
(Kristen), yang selanjutnya merambah organisasi politik (partai politik,
dan lain-lain. Apa yang menjadi doktrin selanjutnya diperlakukan
sebagai dogma, suatu konsep yang harus diterima sebagai kebenaran yang
tidak boleh dipertanyakan. Dalam teologi Islam (ilmu tauhid), misalnya, rukun iman yang berjumlah enam adalah suatu doktrin yang ‘kebenarannya’ tidak boleh dipersoalkan.
[6]
Cara berpikir dengan rumusan tertentu. Lebih luas, logika adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut semua cara berpikir manusia.
Sebagai contoh, seorang anak kecil menilai sesuatu dengan logika (cara
berpikir, atau jalan pikiran) anak-anak.
[7] Dalam bahasa aslinya, Arab, bãtin (باطن) berarti (1) bagian dalam dari segala sesuatu (isi), (2) rahasia; hakikat.
[8] ألدِّين Ù‡ُÙˆَ الْعَÙ‚ْÙ„ْ لاَ الدَِينَ Ù„ِِÙ…َÙ†ْ لاَ عَÙ‚ْÙ„َ Ù„َÙ‡ُ
[9] ألإيمان يزيد و ينقص
[10] إنما المؤمنون الذين إذا ذكرالله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم ءاياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكّلون
[11] Seperti diajarkan Allah dalam surat Al-Muzzammil.
[12] Nilai yang dimaksud adalah value, yaitu quality of being useful, daya guna.
[13] Surat Yusuf ayat 53.
[14] Surat Thaha ayat 115.
[15] Untuk lebih jelas, silakan baca naskah penulis yang berisi kajian surat Al-Muzzammil.(a.h)