Jebakan Politik Uang Pilkada
THE JAMBI TIMES - JAKARTA - Praktik politik uang dalam setiap prosesi
pemilihan umum termasuk juga pemilihan kepala daerah masih menjadi ancaman bagi
demokrasi di Indonesia. Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan
langsung adalah agar praktik politik uang itu bisa dieliminir. Meski berbagai
peraturan perundang-undangan telah melarang praktik haram tersebut, pelanggaran
masih juga terjadi. Dengan bekal Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, khususnya pasal 187A, penyelesaian
masalah terkait dengan politik uang menemukan jalannya.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal
(Bareskrim) Polri, Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto, menyatakan hal itu usai Pelatihan
Penyidikan dan Sistem Laporan Tindak Pidana Pemilihan Tahun 2017, di Bareskrim
Polri – Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kamis (13/10/2016).
Ari mengingatkan, regulasi itu menutup ruang
bagi pasangan calon hingga para pemilih untuk terlibat dalam haramnya praktik politik
uang.
“Sudah saatnya meninggalkan pola lama yang
justru anti-demokrasi melalui politik uang. Bertarunglah dalam pilkada dengan
menampilkan visi dan misi, cara yang bersih. Jika tidak, dengan undang-undang
yang sudah ada, dapat dipastikan bahwa setiap pelanggaran akan mendapat
ganjaran yaitu penindakan hukum,” ujar Ari.
Berdasarkan data, pasal 187A Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyatakan
pada ayat satu bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung
untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak
pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon
tertentu, atau tidak memilih calon tertentu akan dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua)
bulan dan denda paling sedikit rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Lalu pada ayat dua
menyatakan bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Dari titik itu, Ari menyandingkan rumusan
dari regulasi itu dengan pengertian tindak pidana materiil dan formil.
“Satu sisi, tindak pidana materiil adalah
tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak
dikehendaki atau dilarang. Tindak pidana ini baru dianggap selesai apabila
akibat yang tidak dikehendaki atau dilarang tersebut benar-benar terjadi.
Sementara tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang perumusannya
dititik-beratkan pada perbuatan yang dilarang. Tindak pidana tersebut telah
selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam tindak pidana
tersebut,” ungkap Ari.
Dengan hal itu, masih menurut Ari, sebenarnya
masih ada beberapa pertanyaan yang berpotensi muncul dan mesti diantisipasi oleh
semua pihak termasuk juga anggota Kepolisian Republik Indonesia.
“Diantaranya adalah bagaimana pembuktian
surat suara yang telah dicoblos dan disimpan dalam kotak suara yang disegel?.
Lalu, bagaimana dengan asas pemilu yang "rahasia", akankah penyidik Polri
menanyakan kepada penerima yaitu pemilih mencoblos paslon nomor berapa dengan
pemberian tersebut. Bukankah ini pelanggaran asas rahasia?” papar Ari.
Meski demikian, tambah Ari, setiap penyidik
Polri justru berfokus pada tugas pokok dan fungsinya sebagai pelindung dan
pelayan masyarakat.
“Penyidik fokus saja untuk mewaspadai
perkara politik uang. Lakukan penyidikan secara profesional, karena tidak
menutup kemungkinan akan dijadikan sebagai kendaraan untuk mengalahkan lawan
politik dari masing-masing pasangan calon dengan membuat seolah-olah terjadi
politik uang. Penyidik Polri juga jangan sampai ikut masuk dalam area yang
diciptakan oleh pasangan calon tertentu, tetap pegang teguh pada kebenaran
materiil. Dan ingat, Polri tidak berpolitik,” kata Ari.
Selain itu, penekanan khusus lainnya juga
disampaikan Ari kepada penyidik Polri agar situasi dan kondisi politik dalam
pemilihan kepala daerah yang berlangsung bisa kondusif.
“Penyidik Polri mesti memodomani aturan
hukum penyidikan tindak pidana pemilihan. Lalu adakan pertemuan secara rutin antara
pengawas pemilihan, penyidik dan jaksa. Ini untuk terus meningkatkan sinergitas
dalam forum Sentra Gakkumdu. Selain itu, selalu ikuti dan cermati setiap
perkembangan yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilihan. Laporkan juga
setiap perkembangan dan kejadian-kejadian yang terkait dengan penyelenggaraan
pemilihan tahun 2017 dengan memanfaatkan sistem
online yang telah tersedia. Terakhir, fokus pada perlindungan dan pelayanan
untuk masyarakat,” tutup Ari.(KABARESKRIM)