Renungan Shaum (3): Ramadhan Dan Keagungan Al-Qurãn
THE JAMBI TIMES - Al-Qurãn dan
Ramadhan ibarat dua sejoli. Firman Allah, “Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al-Qurãn (pertama kali), sebagai Acuan Hidup bagi manusia,
penjelas bagi Acuan itu sendiri, serta pemilah antara Kebenaran dan Kepalsuan.”
(2: 185).
Al-Qurãn
diturunkan secara keseluruhan dari Lauhul-mahfûzh[1] ke langit terdekat (dari bumi) pada
bulan Ramadhan. Dengan demikian, Ramadhan menjadi bulan mulia karena Al-Qurãn
diturunkan di dalamnya. Karena itu pula Rasulullah mengkaji Al-Qurãn (tadãrus)
bersama Jibril sepanjang bulan Ramadhan. Beliau biasa menyimak dan
memperhatikan maknanya, membaca ulang, menghayati isinya, membuat hati beliau
hadir dalam situasi-situasinya dan memancarkan cinta beliau dalam kekayaan
perbendaharaannya.
Orang yang
membaca Al-Qurãn ketika berpuasa memadukan Ramadhan dengan keanggungan
Al-Qurãn. Karena itu ia menghidupkan bulan ini dengan Al-Qurãn, yang di
dalamnya antara lain Allah mengatakan:
“(Inilah)
kitab penuh berkah (manfaat) yang diajarkan kepadamu (Muhammad), agar
ayat-ayatnya ditelaah, sehingga orang-orang yang pengetahuannya mendalam kelak
hidup sadar dengannya.” (38: 29).
“Mengapa
mereka tidak menelaah Al-Qurãn? Apakah hati mereka semua terkunci?” (47: 24).
“Mengapa
mereka tidak mau menelaah Al-Qurãn? Padahal jika (mereka beranggapan bahwa
Al-Qurãn ini) berasal dari selain Allah, pastilah di dalamnya mereka temukan
banyak hal yang saling bertentangan (kontradiksi).” (4: 82).
Di bulan
Ramadhan, Al-Qurãn yang mulia mempunyai rasa dan aroma khusus. Ia menawarkan
ilham (inspirasi) istimewa dan kesadaran yang berbeda. Di samping itu, ia masih
juga menganugerahkan tenaga kehidupan (vitalitas) yang segar.
Ramadhan
menghadirkan kembali kenangan saat-saat pewahyuan Al-Qurãn, saat-saat hadirnya
kebersamaan dalam pengkajiannya, dan saat-saat para pendahulu kita mencurahkan
perhatian terhadapnya.
Rasulullah
pada suatu hari memberi nasihat, “Bacalah Al-Qurãn, karena ia benar-benar akan
menjadi pembela kalian di Hari Pengadilan.” [2]
Beliau juga
mengatakan, “Manusia terbaik di antara kalian adalah dia yang mempelajari dan
mengajarkan Al-Qurãn.”
Dan, berkata
pula beliau, “Bacalah dua bunga Al-Qurãn, yaitu surat Al-Baqarah dan Ali
‘Imran. Keduanya akan datang sebagai dua gumpal awan atau sebagai ‘payung’ dari
kumpulan burung, yang akan menaungi para pembacanya di Hari Pengadilan.”
Rasulullah
juga mengatakan, “Orang yang membaca Al-Qurãn sehingga menjadi mahir, akan
berdampingan dengan kalangan terhormat serta para malaikat. Namun orang yang
membacanya dengan terbata-bata, (masih juga) mendapatkan dua imbalan
(keuntungan).”
Ketika tiba
bulan Ramadhan, para orangtua kita dulu biasa mengasingkan diri untuk melakukan
tamasya ruhani bersama Al-Qurãn Yang Agung. Konon, bila Ramadhan datang, Imam
Malik tak pernah lepas dari Al-Qurãn. Beliau berhenti mengajar dan mengeluarkan
fatwa-fatwa hukum, dengan menegaskan bahwa bulan ini adalah bulan Al-Qurãn.
Maka, rumah para orangtua kita dulu selalu dipenuhi dengung suara, seperti
suara tawon, dari mereka yang membaca Al-Qurãn. Rumah mereka bermandi cahaya,
dan hati mereka penuh dengan kebahagiaan. Mereka membaca Al-Qurãn dengan irama
yang indah, terhenti oleh keajaiban-keajaibannya, menangis karena
peringatan-peringatannya, berbahagia karena kabar-kabar gembiranya, menyambut
perintah-perintahnya, dan menghindari segala larangannya.
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Mas’ud suatu ketika membacakan bagian awal surat An-Nisa untuk
Rasulullah, hingga ia mencapai ayat berisi pertanyaan, “Maka bagaimana bila
Kami tampilkan dari setiap umat seorang syahîd, dan Kami tampilkan
dirimu (Muhammad) sebagai syahîd atas mereka semua?” (4: 41).
Rasulullah
menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud, dan berkata, “Cukup sampai di situ dulu.” Ibnu
Mas’ud menuturkan bahwa ketika ia menoleh ke arah Rasulullah, ia melihat wajah
beliau basah oleh air mata.
Tentu saja,
hanya pengagum Al-Qurãn yang bisa menangis ketika membacanya.
Menurut
riwayat lain, Rasulullah suatu hari mendengarkan Abu Musa membaca Al-Qurãn
tanpa sang pembaca menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Kemudian Rasulullah
berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa aku menyimak bacaanmu yang fasih? Suaramu tak
ubahnya suara seruling Daud!”
Abu Musa
menjawab, “Bila aku tahu, ya Rasulullah, bahwa anda memperhatikanku, pastilah
akan lebih kufasihkan lagi bacaanku.”
Tentang
kefasihan Abu Musa dalam membaca Al-Qurãn, ada satu kisah bahwa Umar bin
Khatthab setiap melihat Abu Musa hadir di tengah para sahabat biasa mengatakan,
“Hai Abu Musa, ingatkan kami kepada Tuhan kita. Abu Musa lalu berdiri di
hadapan mereka, membaca beberapa ayat Al-Qurãn dengan kefasihannya, sehingga
para sahabat pun menangis.
Sungguh
mendengarkan kata-katanya menyebabkan saya menangis, karena mata saya seperti
melihat Dia hadir. Dia membacakan peringatan dari Tuhannya dan
menghidupkan kerinduan untuk bertemu denganNya, dan hati yang rindu pun menjadi
semakin rindu.
Ketika
generasi demi generasi berpaling dari mendengarkan ayat-ayat Allah, pendengaran
pun terpelintir, perilaku terjungkir balik, dan pemahaman pun dilanda penyakit.
Ketika
Al-Qurãn digantikan dengan sumber-sumber petunjuk yang lain, korupsi menjadi
lazim, bencana berlipat ganda, pengertian menjadi kacau, dan ketangguhan pun
hilang.
Tentu saja
tujuan pengajaran Al-Qurãn adalah untuk memberi manusia petunjuk hidup yang
benar. Dia adalah cahaya dan obat jiwa. Dia adalah ilmu, budaya, dan
pembuktian. Al-Qurãn adalah kehidupan, ruh, penyelamat, kebahagiaan, imbalan,
dan kepuasan. Ia adalah ajaran Allah, konstitusi, dan kebijaksanaan abadi.
Tidak maukah
kita hidup bersama Al-Qurãn dalam bulan Ramadhan dan di luar itu? Tidak maukah
kita menyadari keagungan Al-Qurãn, dan memenuhi batin kita dengan kebahagiaan
dan pencerahan?
Tidak
maukah?
[1] Harfiah berarti “lembaran yang
terpelihara”.
[2] Tentu yang dimaksud bukanlah baca
sembarang baca, tapi baca untuk mengerti dan menghayatinya, serta menjadikannya
pedoman kehidupan seperti yang dicontohkah Rasulullah sendiri.(ah)