News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Poligini Dalam Gugus Ajaran Islam

Poligini Dalam Gugus Ajaran Islam



Masalah poligami selalu membuat saya penasaran.

Istilah yang benar adalah poligini (polygyny) bukan poligami, karena poligami artinya beristri atau bersuami banyak. Kebalikan-nya adalah monogami; yaitu beristri atau bersuami satu. Sedangkan poligini artinya beristri lebih dari satu, dan poliandri bersuami lebih dari satu.

O, begitu ya? Tapi, kok di mana-mana orang menggunakan istilah poligami dalam arti beristri lebih dari satu?

Maklumlah. Bangsa kita kan sering salah kaprah, dan suka membiarkan keterlanjuran.

Ya, begitulah. Sekarang, bisakah kita ngobrol panjang-lebar mengenai masalah poligini?

Bisa saja; tapi jangan berharap bahwa obrolan kita ini akan menuntaskan masalah atau mengakhiri predebatan.


Paling tidak, saya ingin agar masalahnya terpetakan dengan jelas, sehingga akan jelas pula bagaimana nanti saya bersikap. Saya tidak mau seperti mereka di luar sana itu, yang cenderung ribut tanpa berusaha menempatkan permasalahan pada proporsinya.

Maklumlah! Karena masalah ini, terutama setelah peristiwa pernikahan Aa Gym yang kedua, telah menimbulkan semacam malaise kan?

Malaise?

Ya. Semacam rasa tak enak di badan, ditubuh umat Islam, tanpa kita ketahui di mana pusat sakitnya.
Lho, bukankah kita sudah tahu bahwa perasaan tidak enak itu ditimbulkan oleh poligini, dan yang menderita sakit adalah kaum perempuan?  Di hariam Kompas tanggal 11 Desember, Lily Zakiyah Munir malah menyebut “poligami” sebagai wabah!

Hm, ya, memang. Anda membawa korannya?

Ya. Saya juga membawa Koran Tempo edisi 8 Desember 2006, yang memuat tulisan Achmad Munjid, yang berisi kritik langsung dan ‘lengkap’ terhadap Aa Gym.

Bagus. Kita akan membahas keduanya nanti, bila perlu.

Kenapa tidak langsung saja membahas tulisan-tulisan mereka?

Bukankah tadi anda mengatakan bahwa anda ingin masalah ini terpetakan dengan jelas? Menurut saya, pemetaan itu tentunya harus dilakukan secara sistematis.

Oh, ya. Terserah  anda deh. Ibarat naik mobil, saya hanya penumpang. Anda sopirnya!

Ha ha! Walaupun saya sopir, saya kan harus menjalankan mobil di jalur yang benar, sehingga anda bisa sampai pada tempat yang anda tuju. Kalau tidak, anda pasti tak akan mau menumpang mobil saya kan?

Benar. Saya akan minta diturunkan bila anda mulai salah arah. Tapi, saya juga khawatir kalau-kalau saya bersikap tidak sabaran seperti Nabi Musa ketika beliau melakukan perjalanan bersama to-koh yang dimashurkan sebagai Nabi Khidir.

Tidak. Karena saya bukan Nabi Khidir atau siapa pun yang dikisahkan Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 itu. Tapi, mungkin nanti saya akan menjalankan ‘mobil’ secara zig zag, karena ada hal-hal atau istilah-istilah yang mungkin butuh penjelasan tersendiri.

Silakan. Asal jangan terlalu meliuk-liuk sehingga nanti saya jadi pusing.

Bagian dari ajaran agama

Baik! Sekarang anda camkan ini! Arah pembicaraan kita, yang menyangkut poligini ini adalah pembicaraan tentang agama, tepatnya tentang bagian dari ajaran agama, yang nota bene debatable (mengundang perdebatan) atau bahkan disputable (menimbulkan perselisihan) yang akhirnya menjadi controversial (menimbulkan perdebatan panjang).

Maaf, saya ingin menegaskan; benarkah tadi anda mengatakan bahwa poligini itu ajaran agama?
Ya. Ajaran agama Islam! Konsepnya terdapat dalam Al-Qurãn dan Hadis, terekam cukup lengkap dalam buku-buku sejarah.

Dengan kata lain, bisakah poligini dalam Islam itu disebut sebagai solid reality? Kenyataan yang sa-ngat menyolok mata?

Ya. Dalam konteks data berupa dokumentasi tadi, poligini dalam Islam memang solid reality. Sama kokoh dan menyoloknya seperti Gunung Merapi.

Tapi, setidaknya yang saya baca dalam tulisan Lily Zakiyah Munir, agama Islam, katanya, pada dasarnya adalah agama monogami.

Nah, itulah salah satu contoh tafsir atas dalil-dalil tentang poligini. Ini salah satu contoh kontroversi dari zaman dulu sampai sekarang, dan entah akan berlangsung sampai kapan. Tapi, satu hal harus diakui: ayat-ayat dan hadis-hadis tentang poligini itu memang ada. Mereka yang menentang po-ligini pun tidak berani menghapus dalil-dalil itu. Mereka hanya beru-saha melakukan penafsiran. Tapi, sayangnya, di antara mereka juga ternyata ada yang berani melakukan praktik manipulasi dalil.

O, ya? Contohnya?

Lily Zakiyah Munir, seperti juga Achmad Munjid yang menulis lebih dulu di Koran Tempo, sama-sama mengajukan hadis yang menyebutkan penentangan Rasulullah terhadap Ali yang akan berpoligini, tapi mereka tidak menyebutkan alasan penentangan Rasulullah itu.

O, ya? Lantas, apa alasan Rasulullah itu?

Kata beliau, misalnya dalam hadis Bukhari nomor 2879: “ … Sungguh, aku tidak mengharamkan yang halal, dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah! Tidak akan pernah berkum-pul putri Rasulullah saw (Fathimah) dengan putri musuh Allah!

Siapa yang dimaksud musuh Allah itu?

Abu Jahal.

Abu Jahal!  Dan mereka tidak menyebutkan itu!

Memang.

Tapi, dari yang anda ungkapkan itu… kok rasanya Rasulullah seperti melakukan dissenting opinion. Satu segi beliau mengatakan tidak mau mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, tapi beliau menolak Fathimah disandingkan dengan putri Abu Jahal. Mengapa?

Ini masalah yang sangat menarik; yang sebenarnya harus didalami oleh mereka yang pro maupun kontra terhadap poligini. Tapi kita baru akan membahasnya belakangan.

Baik. Tapi, sekali lagi, kenapa mereka tidak mengungkapkan alasan penolakan Rasulullah itu?

Entah! Yang jelas, menurut saya, Hal itu bukan saja tidak fair, tapi juga mengkhianati prinsip kejujuran ilmiah; karena hanya mengajukan dalil yang mendukung penafsiran atau pendapat sendiri. Jauh sebelum ini, saya juga pernah mengkritik seorang tokoh Jaringan Islam Liberal, yang juga mengutip sebuah hadis tapi tidak utuh. Dia hanya mengambil sebagian saja, untuk mendukung pandangannya. Saya katakan kepadanya bahwa yang dia lakukan itu adalah semacam pencurian sekaligus  penipuan! Yaitu pencurian dalil dan penipuan terhadap masyarakat.

Wah, rupanya ada yang begitu juga ya?

Memang!

Lantas, apa tujuan mereka berbuat demikian?

Tidak tahu. Kalau mereka, menulis, mungkin karena tulisan mereka dibuat berdasar pesanan.

Berdasar pesanan? Siapa yang memesan?

Yaa tentu media massa yang sejak awal memang sudah menentang poligini itu, yang dimiliki pihak-pihak yang memang punya apriori (pengetahuan atau anggapan awal) yang buru terhadap konsep poligini Islam itu. Bila tidak demikian, mungkin karena sebelum menulis mereka sudah punya prakonsepsi sendiri, sehingga oto-matis mereka hanya cenderung mengambil dalil-dalil yang mendukung prakonsepsi itu, dan bila perlu mereka pun tak segan-segan memanipulasi dalil. Atau, bisa jadi juga mereka hanya kurang berhati-hati.

Dalam hal ini, kalau mereka punya prakonsepsi, kira-kira bentuknya apa?

Yaa, karena yang dibahas masalah poligini, mereka yang menentang tentu sudah mempunyai prakonsepsi (pemikiran awal) bahwa poligini itu salah, bahwa itu bukan ajaran Islam, bahwa dalil-dalil Al-Qurãn maupun hadis tentang hal itu harus ditafsirkan menurut konteks zaman, dan sebagainya.

Wah, anda baru menyebut hal-hal yang  kebetulan ada dalam pikiran saya! Apakah, menurut anda, saya ini telah menjadi korban mereka?

Ha ha! Kenapa bertanya pada saya? Kenapa tidak anda tanya diri sendiri seberapa tekun anda mendengar dan membaca mereka, dibanding dengan anda mendengar dan membaca ajaran Allah?
Wah, jangan menikam begitu doong. Saya jadi malu nih.

Malu kepada siapa? Malu kepada Allah yang ajaranNya anda abaikan, atau malu pada mereka bila anda tak kenal konsep-konsep mereka yang anda anggap modern dan maju? Padahal, anda tahu bahwa Allah mahatahu. Sementara mereka, kita semua, mungkin hanya sok tahu!

Jadi, saya tak boleh mengikuti pemikiran mereka ya?

Ini bukan soal boleh dan tidak boleh. Ini soal sikap jujur ilmiah dan dusta ilmiah, juga keteledoran ilmiah, barangkali. Kalau sekadar untuk mengetahui pemikiran mereka, tentu boleh-boleh saja. Lebih boleh lagi bila anda ingin melakukan studi banding. Selanjutnya, sadarilah bahwa dalam hidup ini kita harus punya pilihan yang jelas, tegas, dan pasti. Dan di atas segalanya, kita harus menjadi manusia yang istiqamah. Teguh dan konsisten dalam pendirian yang kita yakini. Kalau kita sudah memilih beragama Islam, jelaskan, tegaskan, dan pastikan pilihan itu. Selanjutnya, pertahankan dan da’wahkan secara ilmiah.

Caranya?

Pasrah ilmiah

Anda harus ingat bahwa ber-Islam itu pada hakikatnya adalah bersikap pasrah terhadap Allah.
Saya tahu bahwa saya memang harus bersikap begitu.

Tapi, apakah anda tahu juga bahwa kepasrahan itu harus dilakukan secara ilmiah, bukan dengan mengikuti perasaan?

Jelasnya?

Kita mempunyai Al-Qurãn, sum-ber utama ajaran Islam, yang tentu harus kita pahami dengan baik. Selain itu, kita juga mempunyai Al-Hadîts, sebagai sumber kedua, dan buku-buku sejarah sebagai tambahan. Itulah sumber-sumber ilmu, yang yang pasti membantu kita untuk melakukan kepasrahan ilmiah, bukan hanya berdasar perasaan.

Saya belum memahami maksud anda.

Pasrah kepada Allah itu pastinya, tegasnya, pembuktian nyatanya, kan harus dilakukan dengan mengikuti ajaran Allah, dengan mematuhi perintah, larangan, dan anjuranNya kan?

Ya, tentu saja!

Nah, perintah, larangan, dan anjuran Allah itu kan semua ada di dalam Al-Qurãn, Al-Hadîts, dan buku-buku sejarah.

Maksud anda, kita tinggal meng-ambil dalil-dalil dan meniru apa yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut, dan itu yang anda se-but pasrah secara ilmiah?

Iya; karena kepasrahan terhadap Allah itu sudah ada rumusannya, ada definisinya, bahkan ada polanya, yaitu dalam diri Rasulullah. Dengan kata lain, kepasrahan itu tidak boleh dilakukan dengan cara kira-kira alias mengandalkan perasaan.

Kenapa tidak boleh?

Hukum dan perasaan

Bila kita cenderung menuruti perasaan, akan banyak sekali hal-hal yang bukan ajaran agama kita anggap sebagai ajaran agama. Itu yang pertama. Dengan kata lain, secara tidak langsung kita telah berangapan bahwa agama itu adalah milik anda, bukan milik Allah. Kedua, dengan cenderung mengikuti perasaan, akan banyak ajaran agama yang tidak bisa berjalan.

Bisa diuraikan lebih jelas?

Sebagai contoh, mengapa di antara kita – sebagai umat Islam – ada yang menentang penerapan hukum mati atas pembunuh, hukum rajam atas pezina, dan hukum potong tangan atas pencuri?

Karena itu kejam, dan terkesan menutup kesempatan orang untuk bertaubat. Padahal, bukankah Islam itu membuka pintu taubat bagi orang-orang yang melakukan kesa-lahan?

Nah! Tampak sekali bahwa anda baru menyuarakan perasaan. Padahal, ketika Allah mengajarkan hukum qishas (bunuh balas bunuh), rajam, dan potong tangan, bukan berarti bahwa Ia membatalkan ‘hukum’ taubat.

Lantas, bagaimana – misalnya – si pembunuh bisa bertaubat bila ia sudah dihukum mati?

Anda harus ingat bahwa hukum diadakan untuk menciptakan dan menjaga ketertiban sosial, yang pada dasarnya – ketertiban sosial itu – adalah kebutuhan bersama, kebutuhan semua anggota masyarakat. Ketika ada anggota-anggota masyarakat melakukan pelanggaran atau pelecehan hukum, yang ternyata menyakitkan atau merugikan orang lain, pada  saat itulah aparat hukum melakukan law enforcement. Yaitu memunculkan sisi ‘keras’ dari hukum itu, karena pelanggaran atau pelecehan itu jelas mengancam keselamatan hu-kum itu, yang berarti juga mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat.

Hm, ya, saya mengerti. Dari istilahnya saja – law enforcement – sudah ada kesan bahwa hukum itu harus ditegakkan secara paksa, dengan kekuasaan, tanpa mempedulikan perasaan.

Ya. Sebab, sekali lagi, bila kita ikuti perasaan, kita tak akan mampu menegakkan hukum.
Bisa anda berikan contoh yang lebih sederhana?

Sebut saja shalat lima waktu. Kalau kita ikuti perasaan, shalat lima waktu itu kan beban. Allah sendiri menegaskan bahwa shalat itu berat.[1] Atau, dalam konteks lain; bila kita cenderung tidak tegaan, memotong ayam pun tak akan berani kan? Karena itulah, dalam melaksanakan hukum juga dibutuhkan orang-orang yang punya mental kuat, yang bisa membedakan kapan dia harus ikut perasaan dan kapan dia harus menjalankan kewajiban saja. Ketika dia bertugas melaksanakan hukuman mati, dia jalankan saja tugasnya, tanpa melibatkan perasaan.

Ya, ya. Tapi – kembali ke soal orang yang dihukum mati itu – kalau dia sudah dihukum mati, bagaimana dia bisa bertaubat?

Taubat itu artinya kembali. Jelasnya, kembali menjalankan ajaran atau hukum Allah setelah mengabaikan atau meninggalkannya. Dan ini tidak selalu bersifat pribadi, tapi sering ada sisi sosialnya. Secara pribadi, taubat ini menyangkut hubungan si pelaku dosa dengan Allah. Tapi, seiring dengan itu, si pelaku dosa itu juga terikat tanggung-jawab sosial, sehubungan dengan dosa yang diperbuatnya.

Jelasnya?

Bila anda membunuh, dan anda adalah anggota dari masyarakat yang menerapkan hukum kisas, maka secara pribadi anda bisa meminta ampunan Allah, tapi sebagai anggota masyarakat yang hukumnya telah anda sepakati, anda tetap harus dikisas!

Tapi, bukankah saya juga bisa bebas dari kisas karena dimaafkan?[2]

Benar. Bila keluarga korban memaafkan, anda bebas dari kisas, tapi harus membayar denda.
Maksud saya, bukankah dalam kasus ini  yang namanya perasaan itu berlaku juga dalam konteks pelaksanaan hukum?

Bila anda melihatnya dari sisi keluarga korban yang memaafkan, karena rasa kasihan, misalnya; mungkin memang di situ berlaku faktor perasaan. Tapi, bagaimana bila keluarga korban memaafkan anda bukan karena perasaan kasihan terhadap anda, tapi karena mereka mengetahui ajaran Allah bahwa memaafkan itu lebih baik dari mengkisas? Dengan demikian, mereka sudah mengorbankan rasa sedih dan dendam karena kehilangan anggota keluarga, berdasar kesadaran ilmiah, berdasar pengetahuan dan penghayatan mereka atas ajaran Allah.

Hm, ya, ya! Dan dengan demikian kebaikan mereka pun bertambah lagi dengan memberi saya kesempatan bertaubat.

Ya.

Tapi, sekali lagi, kalau saya dihukum mati, bagaimana saya bisa bertaubat?

Taubat itu, yang pertama, adalah kesadaran bahwa anda telah melakukan kesalahan, dan anda menyesalinya, lalu anda ingin menebus kesalahan itu. Bila anda masih punya kesempatan menebus kesalahan dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang diajarkan Allah, anda bisa melakukan hal itu. Tapi bila ternyata anda harus menghadapi vonis mati, maka penerimaan anda atas hukuman itu, itulah bentuk taubat anda.

Apakah anda punya dalil untuk itu?

Ada beberapa hadis yang mem-bahas tentang zina dan hukum rajam. Salah satunya adalah kasus seorang wanita dari suku Juhainah yang meminta dirajam karena telah berzina dan hamil. 

Rasulullah menunda hukum itu sampai wanita itu melahirkan. Kemudian, setelah hukum rajam (lempar batu) dilaksanakan, sampai wanita itu mati, Rasulullah memimpin para sahabat melakukan shalat jenazah. Pada saat itulah Umar bertanya, “Hai Nabi Allah, haruskah ia dishalati, padahal ia berzina?” Rasulullah menjawab, “Dia telah bertaubat, sebenar-benarnya taubat. Seandainya dibagikan kepada penduduk Madinah, maka taubatnya itu cukup untuk 70 orang. Manakah lagi taubat yang lebih utama daripada menyerahkan nyawa kepada Allah secara ikhlas?” Kisah ini terdapat dalam Hadis Muslim nomor urut 1678. Sekarang, coba anda pikir! Ketika Rasulullah memimpin pelaksanaan hukum rajam itu, bahkan mungkin beliaulah yang melakukan “pelemparan batu pertama”, apakah beliau tidak tersentuh oleh rasa kasihan?

Setahu saya, para mubaligh dan buku-buku selalu menggambarkan beliau sebagai orang yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Ya. Tapi ketika harus menegakkan hukum Allah, beliau adalah orang yang tegas. Dan melalui hadis tadi, Rasulullah mengungkapkan rahasia di balik sebuah tindak-an law enforcement; yaitu bahwa bagi pendosa yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, lalu dia ikhlas menerima hukuman untuk kesalahannya, maka bukan hanya ampunan Allah terbuka untuknya, tapi  taubatnya itu bahkan membawa berkah dan manfaat bagi banyak orang.

Karena taubatnya bisa dibagikan kepada 70 orang?

Bukan begitu! Itu kan jelas disebut Rasulullah sebagai pengandaian. Berkah dan manfaat yang nyata darinya adalah, pertama, dia menjadi contoh bagi orang lain karena dia bukan hanya bisa berbuat salah tapi juga berani menghadapi hukuman. Kedua, pelaksanaan hukuman baginya memberi rasa aman bagi masyarakat karena orang lain menjadi takut untuk melakukan kesalahan yang sama.

Ya, ya!  Itulah hikmat di balik penegakan hukum, yang saya kira sudah menjadi rahasia umum pula.
Benar!

Tapi, wah, saya baru sadar bahwa anda telah menjebak saya!

Maksud anda?

Dengan mengatakan bahwa banyak ajaran agama tidak bisa jalan bila kita cenderung mengikuti perasaan, sebenarnya anda ingin menegaskan bahwa masalah poligini pun tidak boleh dilihat dari kacamata perasaan, terutama perasaan wanita. Benar kan?

Ha ha! Itu benar. Tapi kalau anda bilang saya menjebak, itu  kan penafsiran anda. Bagi saya, sejauh perjalanan studi saya yang belum sempurna, Allah melalui agamanya memang membimbing manusia agar keluar dari jerat perasaan. Ini menyangkut semua aspek kehidupan, bukan hanya dalam masalah poligini. Dalam masalah perang, misalnya, Allah sampai harus menegaskan bahwa “ketika kamu melempar (tombak), sebenarnya bukan kamu yang melempar tapi Allah”.[3]

Mengapa harus ada penegasan seperti itu?

Karena di antara tentara yang berperang itu tentu ada yang tidak berani membunuh, baik karena mentalnya yang kurang kuat, atau karena musuh yang dihadapi itu, misalnya, adalah saudara atau bekas teman sepermainan di waktu kecil.

Poligini adalah beban

Tapi, tentu bukan sebuah kejanggalan bila masalah poligini ditanggapi dengan penuh perasaan oleh kaum wanita, karena merekalah yang menjadi korban. Begitu kan?

Tidak hanya wanita yang menanggapi masalah ini dengan segala perasaan tapi juga lelaki yang mengusung ide kesetaraan gender dan HAM. Tapi, bila anda katakan wanita menjadi korban, tentu yang anda maksud adalah istri pertama kan? Lalu, bagaimana dengan istri kedua, ketiga, dan seterusnya, yang mungkin malah merasa tertolong?

Tertolong dari segi apa? Bukankah kebanyakan mereka juga menjadi susah karena sering tidak bisa mendapatkan hak-hak mereka sepenuhnya? Bahkan, bukankah masyarakat juga cenderung menganggap mereka sebagai perebut suami orang?

Ya, begitulah bila poligini dilakukan secara semau gue, bukan berdasar konsep agama. Jelasnya, yang kita saksikan selama ini, poligini itu dilakukan berdasarkan keinginan dan keputusan lelaki, yang mungkin beranggapan bahwa poligini itu adalah hak mereka, bahkan mungkin mereka anggap sebagai hak istimewa kaum lelaki muslim!

Ya, ya! Begitulah memang kenyataan yang ada dalam masyarakat, dan begitu juga yang saya baca dalam majalah Sabili edisi 28 Desember 2006.

Itulah sumber masalahnya. Lelaki muslim beranggapan bahwa poligini adalah hak mereka. Sabili malah sengaja menampilkan tokoh-tokoh yang bangga dan sukses melakukan poligini sebagai hak lelaki itu kan? Padahal, dengan anggapan demikian itu, Sabili dan tokoh-tokohnya itu telah membenarkan anggapan bahwa poligini itu sebuah konsep yang menindas wanita. Bila poligini adalah hak lelaki, otomatis kaum wanita harus menerimanya sebagai kewajiban kan?

Ya. Bila si wanita menentang, dia dianggap muslimah yang tidak taat; atau malah kafir!

Itu salah! Salah! Poligini itu bukan hak lelaki, apalagi hak istimewa. Itu adalah beban.
Beban?

Ya. Jelasnya beban tanggung ja-wab sosial, dan bukan hanya bagi lelaki, tapi juga bagi wanita yang berstatus sebagai istri pertama. Bahasa lainnya adalah amanah.

Waah, anda sedang mengajukan dalih baru untuk membenarkan poligini kan?

Tidak! Saya justru sedang berusaha mengingatkan konsep lama tentang poligini. Saya sendiri justru agak cemas; jangan-jangan saya termasuk yang harus menanggung beban itu.

Ah, anda bercanda saja!  Bukankah poligini itu malah menyenangkan lelaki?

Ya. Kalau anda mendapatkan istri muda yang cantik, shalihah, dan pintar seperti istri muda Aa Gym! Tapi, bagaimana bila yang harus anda kawini itu adalah seorang wanita tua, berpenampilan buruk, dan punya banyak anak?

Lha, lelaki mana yang mau memilih wanita seperti itu untuk jadi istri mudanya?

Lelaki yang mengaku muslim sejati tentunya.

Tetap saja dia tak akan mau memilih wanita seperti itu untuk istri mudanya.

Bagaimana kalau dia disuruh Allah untuk memilih wanita seperti itu?

Maksud anda?

Bukankah tadi sudah saya paparkan bahwa agama itu harus dijalankan secara ilmiah, bukan dengan mengikuti perasaan?

Iya. Tapi, … sebenarnya bagaimana sih konsep poligini Islam itu?

Ha ha! Anda masih belum mengerti juga rupanya. Tapi, terus terang, itulah pertanyaan yang sejak tadi saya tunggu dari anda.

Maksud anda?

Bung! Selama ini kita selalu menyoroti poligini sebagai sebuah tindakan atau peristiwa penyele-wengan seorang suami mata keranjang dengan wanita-wanita jalang perampas suami orang. Sebagai sebuah kenyataan, itu memang benar. Itulah realitas. Tapi, soalnya, realitas ini mewakili konsep apa? Konsep Allah atau nafsu manusia?

Menurut saya sih, nafsu manusia, nafsu lelaki, yang disandarkan pada konsep Allah.

Kalau begitu, berarti sudah ter-jadi manipulasi terhadap konsep Allah kan?

Jadi, menurut anda, poligini itu memang konsep Allah, tapi pelaksanaannya bukan harus seperti yang kita saksikan sekarang?

Ya!

Lalu harus seperti apa?

Kaidah umum poligini

Saya ajukan dulu kaidah umumnya. Begini!  Poligini itu tidak bisa dilakukan sembarang lelaki di sembarang tempat di sembarang waktu.

O, ya? Berarti, hanya lelaki tertentu, di tempat tertentu, di waktu tertentu, yang bisa melakukan poligini?

Ya!

Bisa anda jelaskan macam apa lelaki itu, di mana dia tinggal, dan di zaman kapan dia hidup?

Yang pertama, lelaki itu adalah Rasulullah, tinggal di Madinah, di masa awal da’wah Islam, yang o-leh para ahli sejarah ilmu syari’ah disebut sebagai ‘ashru-tasyri.

Apa itu ‘ashru-tasyri?

Masa atau periode pembentukan atau terbentuknya syari’ah, alias hukum Islam. Jelasnya, masa ini berawal dari penerimaan wahyu pertama sampai wahyu terakhir, yang disusul wafatnya Rasulullah. Itu bila kita melihatnya dari sisi permukaan.

Maksud anda?

Saya maksud dengan sisi per-mukaan itu adalah hukum Islam dalam konteks penurunan teks hukum itu sendiri, Al-Qurãn. Sedangkan sisi dalamnya, yang merupakan darah dan daging dari hukum itu sendiri adalah praktik kehidupan Rasulullah bersama umatnya, yang kemudian kita sebut sebagai Sunnah Rasul. Sunnah Rasul inilah yang seharusnya menjadi pola kita dalam pelaksanaan ajaran Allah, Al-Qurãn.

Termasuk dalam konteks poligini?

Ya.

Bukankah mereka yang melakukan poligini itu selalu berdalih bahwa mereka mengikuti keteladanan Rasulullah?

Ya. Tapi, mereka hanya meneladani sisi permukaannya! Bahwa Rasulullah menikahi banyak wanita, punya banyak istri, itu memang benar. Tapi, apakah mereka mempelajari alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan Rasulullah dalam berpoligini itu?

Bisa anda sebutkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan Rasulullah itu?

Alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan berpoligini pada hakikatnya sama saja dengan alas-an-alasan dan pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan pernikahan biasa, yaitu pernikahan seorang lelaki dengan seorang wanita. Pendeknya, tujuan berpoligini itu sama dengan tujuan menikah biasa. Bedanya, dalam poligini, ada beban tambahan bagi bagi lelaki dan wanita, khususnya bagi istri pertama.

Tapi bagi lelaki, beban itu menjadi relatif ringan, karena dia juga mendapatkan tambahan kesenangan karena menguasai banyak wanita.

Itu benar, bila poligini dilakukan menurut keputusan dan keinginan si lelaki, sehingga dia hanya memilih wanita-wanita yang sesuai selera nafsunya. Tapi bagaimana bila yang memilihkan istri-istri mudanya adalah Allah, melalui konsepNya dan Sunnah RasulNya?

Hm, ya, ya. Teruskan!

Tujuan pernikahan

Maaf, anda sudah mengerti tujuan perkawinan menurut Islam kan?

Kalau saya tak salah, yaa kata orang sih untuk membina sebuah kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rahmah, penuh kasih sayang. Begitu kan?

Itu adalah kata-kata yang di-ambil dari surat Ar-Rum ayat 21. Tapi, tahukah anda bahwa ayat itu sebenarnya tidak berbicara tentang tujuan pernikahan?

Wah, benarkah?  Saya hanya tahu bahwa kata-kata itu sering dicetak dalam kartu undangan resepsi perkawinan!  Lantas, sebenarnya ayat itu bicara tentang apa?

Tentang ayat Allah yang terdapat dalam diri manusia sendiri, yaitu berupa rasa kasih sayang terhadap lawan jenis, sehingga mereka bisa hidup bersama secara nyaman.

Kok kedengarannya seperti bersifat umum ya?

Memang! Ayat itu baru berbicara tentang potensi manusia untuk bisa hidup bersama secara nyaman dengan lawan jenis, melalui cara perkawinan. Belum bicara tentang tujuan perkawinan itu sendiri.

Lantas, tujuan perkawinan itu disebutkan di ayat apa?

Setahu saya, tak ada ayat Al-Qurãn yang secara verbal dan gamblang menyebut tujuan perkawinan. Bila anda periksa surat Al-Baqarah ayat 221, misalnya, di situ hanya diisyaratkan bahwa tujuan pernikahan secara umum adalah agar manusia bebas dari  neraka.

Mungkin karena kebalikan dari pernikahan adalah perzinaan ya?

Bukan hanya itu! Maksud saya, bukan dengan menikah lantas anda bisa bebas dari azab neraka. Pernikahan hanya salah satu sya-rat untuk pembebasan dari neraka. Selain itu, harap diingat bahwa neraka itu ada dua, di dunia dan di akhirat.

Ya, saya ingat uraian anda tentang itu di QTs edisi Ramadhan. Sorga adalah “kehidupan yang baik”, dan neraka adalah kebalikannya kan?

Ya. Anda juga bisa membaca lagi tentang hal itu di QTs nomor ini; yaitu dalam artikel yang membahas terjemahan Al-Qurãn. Kemudian, soal istilah sorga, anda ingatlah kata-kata Rasulullah: 

baiti jannati

Rumahku sorgaku.

Ya. Dan menurut saya, rumah Rasullah itu pastilah tidak sebagus rumah anda. Umar bahkan pernah menangis ketika melihat Rasulullah bangun tidur dengan cap tikar daun korma tergambar di tubuh beliau.

Waduh, saya jadi malu nih, karena saya selalu tidur di kasur yang empuk. Tapi, maksud anda sebenarnya apa?

Maksud saya, bila beliau me-ngatakan “rumahku sorgaku”, tentu yang dimaksud bukan rumah dalam arti tempat tinggal, tapi ru-mah dalam arti “rumahtangga”.

O, begitu ya? Jadi yang dimaksud sebagai sorga itu adalah keadaan rumahtangga beliau, tepatnya kebahagiaan beliau bersama istri-istri beliau?

Ya.

Maaf, boleh saya ajukan pertanyaan nakal?

Silakan. Anda bahkan boleh mengajukan pertanyaan liar, kalau mau. Sejauh yang saya ketahui, Islam punya kemampuan menjawab segala pertanyaan manusia. Yang sering tidak mampu menjawab itu kan mubalighnya!

Ya, mereka kadang suka marah kalau kita mengajukan perta-nyaan agak nakal.

Sekarang, coba sebutkan per-tanyaan nakal anda itu.

Itu berhubungan dengan kata-kata Rasulullah tadi. Bila beliau mengatakan demikian, itu kan sifatnya sepihak, alias subyektif. Maksud saya, pantas saja beliau mengatakan begitu, karena beliau kan lelaki  dan… di rumahnya punya istri banyak.

He he! Begitu ya? Cukup nakal memang. Tapi, bila anda katakan itu sepihak, hanya mewakili diri beliau sendiri sebagai lelaki, lantas pernahkah anda dengar atau baca kisah tentang salah satu istri Rasulullah yang minta cerai?

Tidak!  Bagaimana mereka akan minta cerai bila menjadi istri Rasulullah mereka anggap sebagai keberuntungan yang tiada tara, yang tidak bisa didapatkan oleh semua wanita?

Kalau anda berpikir begitu, saya kira itu saja sudah cukup untuk menjawab pertanyaan nakal anda.
Tapi – pertanyaan nakal lagi nih! – bila rumahtangga Rasulullah adalah sorga, saya dengar para istri Rasulullah juga suka berselisih satu sama lain.

Untuk itu, silakan anda baca, misalnya, Hadis Muslim nomor urut 1423, kemudian buku Sejarah Hidup Muhammad karya Haekal, khususnya bab tentang istri-istri Nabi, dan lebih khusus lagi bab yang membahas tentang Maria Qibtiyah, yang melahirkan putra Nabi, yang diberi nama Ibrahim.
Bisa anda sebutkan intinya saja?

Intinya, para istri Rasulullah tidak pernah saling berselisih, bila yang anda maksud berselisih itu adalah bertengkar. Mereka hanya saling iri dan cemburu. Sesuatu yang saya kira biasa, karena hal itu juga bisa terjadi di antara para anak, bukan hanya di antara para istri.

Tapi, bagi para penentang poligini, hal itu adalah masalah besar. Artinya, saling iri dan cemburu di antara para istri itu adalah suatu isyarat bahwa mereka menderita, bahwa mereka tidak bahagia, karena dimadu.

Ya, memang bisa ditafsirkan demikian. Tapi tidak boleh digeneralisasi. Harus dilakukan penelitian yang cermat dan penyimpulan yang proporsional. Tentu juga dengan memperhatikan setiap motivasi dari poligini itu sendiri.

Baik. Sekarang kembali ke masalah tujuan pernikahan.

Ya, memang harus kembali ke situ, supaya kita bisa melihat masalahnya secara jelas dan sesuai konteks, alias proporsional. …

Teruskan!

Tadi saya katakan, tak ada ayat yang menyebut tujuan pernikahan secara verbal dan gamblang. Hanya ada gambaran secara tersirat. Mudah-mudahan sih saya salah, karena saya belum sangat akrab dengan Al-Qurãn. Tapi, kita juga harus selalu ingat bahwa separuh dari ajaran Allah, ‘separuh’ dari Islam itu, sebenarnya ada pada diri Rasulullah.

Jelasnya?

Jelasnya, bila kita hanya mem-pelajari Al-Qurãn, tanpa mengaitkannya dengan sejarah dan kepribadian Rasulullah, maka kita hanya akan mengetahui ‘separuh’ dari ajaran Islam.

Termasuk tentang poligini juga?

Ya. Selama ini kan mereka yang berpoligini hanya menyebut bahwa Al-Qurãn membolehkan lelaki beristri sampai empat orang, tanpa tahu ayat apa, bunyinya bagaimana, konteksnya apa. Pokoknya cari dalih saja!

Masih belum jelas buat saya!

Islam itu sebuah dîn, sebuah sistem penataan hidup manusia.

Karena itu, kata sebagian orang, Islam itu tidak layak diartikan agama?

Mungkin yang dimaksud adalah agama dalam pengertian religi atau religion, yang konon hanya mencakup pengertian “pemujaan terhadap tuhan”. Bagi saya, agama itu bisa dianggap setara dengan dîn, karena … bukankah agama itu artinya “tidak kacau”? Kalau tidak kacau, berarti teratur kan? Nah, di situlah letak persamaan agama dengan dîn. Kalau anda memeriksa surat Ali ‘Imran ayat 83-85, di situ akan anda temukan bahwa dîn dalam arti umum adalah ‘hukum’ yang membuat alam semesta patuh terhadap Allah, baik suka rela maupun terpaksa. Kemudian, dalam konteks manusia sebagai makhluk budaya, barulah ‘hukum’ itu berarti ‘agama’. Namun dengan catatan bahwa hukum yang berlaku untuk alam semesta (= hukum alam) sifatnya dipaksakan, sementara hukum dalam konteks budaya manusia (= agama) sifatnya ‘hanya’ ditawarkan.

Kalau begitu, manusia boleh menolak doong?

Memang! Seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-kahfi ayat 29-31, bahwa kebenaran itu berasal dari Allah. Kepada manusia yang mau beriman, silakan beriman. Yang mau kafir, silakan kafir. Namun bagi yang beriman imbalannya sorga, dan bagi yang kafir ganjarannya neraka.

Huh, itu sih sama aja bo’ong!

Apa yang bohong?

Bahwa agama hanya ditawarkan, alias tidak ada paksaan dalam agama.

Tidak bohong. Tapi, harap dicatat bahwa kebenaran konsep budaya (agama) Allah itu sama ampuhnya dengan hukum alam (natural law), dan kenyataannya memang berjalan seiring dengan hukum alam itu sendiri.

O, ya?  Buktinya?

Setiap kali manusia mengingkari konsep budaya dari Allah, setiap kali manusia melanggar perintah dan laranganNya, maka pada saat itulah terjadi kekacauan dan bencana dalam hidup mereka.
Hm, ya, ya!  Sekarang kembali pada pernyataan anda tadi, yaitu bahwa separuh agama itu terdapat pada diri Rasulullah.

Pokok pangkal dari agama kita adalah Al-Qurãn. Al-Qurãn ini adalah konsep budaya dari Allah. Sebagai sebuah konsep, atau ide (idea) dalam istilah filsafatnya, ten-tu sifatnya masih ghaib alias abstrak.

Mengapa?

Yaa, karena masih berupa konsep, alias ide, alias teori. Dia baru menjadi syahadah alias konkret (nyata) setelah dijelmakan oleh Rasulullah menjadi akhlak be-liau, menjadi perilaku beliau.

Misalnya?

Kita ambil yang mudah saja. Dalam Al-Qurãn ada perintah shalat, tapi tidak dijelaskan cara-caranya. Rasulullah lalu menjelaskan dengan kata-kata dan perbuatan.

Ya, ya!  Saya mengerti. Terus, dalam soal pernikahan, apakah Rasulullah juga memberikan gambaran yang gamblang seperti kasus shalat itu?

Sangat gamblang! Beliau bahkan menjelaskan mulai dari filosofinya, malahan sampai ke masalah yang ditabukan sementara orang, seperti hubungan suami-istri di kamar.

Yang terakhir itu jangan diba-has dulu!  Filosofinya saja dulu, bagaimana?

Kompak dengan uraian surat Al-Baqarah ayat 221 tadi, Rasulullah mengajarkan agar kita memilih pasangan hidup berdasar agama, bukan karena alasan-alasan yang lain.

Alasan-alasan yang lain itu apa saja?

Kalau anda periksa surat Al-Ba-qarah ayat 221, kaum pria dilarang menikahi wanita musyrik, walau pun dia menakjubkan, kecuali bila dia mau beriman. Begitu juga kaum wanita, jangan mau dinikahi lelaki musyrik, walau menakjubkan, kecuali bila dia mau beriman. Begitu kerasnya larangan itu, sampai-sampai Allah menegaskan bahwa wanita dan pria berstatus budak tapi beriman lebih baik dari mereka yang musyrik. Mengapa? Karena mereka cenderung mengajak ke neraka, sedangkan Allah dengan ajaranNya mengajak kita ke sorga.

Lalu, apa penjelasan Rasulullah tentang hal itu?

Menurut sebuah Hadis, Rasu-lullah mengatakan, “Wanita dinikahi karena empat alasan: (1) karena hartanya, (2) karena kecantikannya, (3) karena keturunannya, dan (4) karena agamanya. …[4]

Dan keempat alasan itu boleh kita pilih kan?

Salah! Rasulullah memaparkan, mengklasifikasikan, alasan-alasan lelaki secara umum dalam memilih istri mereka. Selanjutnya, masih dalam Hadis tadi, Rasulullah menggaris-bawahi bahwa alasan yang benar adalah yang terakhir. Yaitu yang menikah demi kepentingan agama.

Demi kepentingan agama?

Ya. Pernikahan dalam Islam adalah salah satu pilar yang menunjang tegaknya agama.

Karena itu orang Islam tidak boleh tidak menikah?

Bukan, bukan itu maksudnya. Bila kita hanya bertemu orang-orang musyrik yang tak mau diajak beriman, misalnya, tidak menikah itu mungkin pilihan yang benar. Ayat dan Hadis tadi hanya menegaskan agar kita menikah berdasar agama, demi menegakkan agama.

Tegasnya, kita hanya boleh menikah dengan orang yang seagama, seiman, begitu?

Ya. 

Tapi, bukankah seorang mu’min dibolehkan menikah dengan wanita beda agama?

Hmh, ya, ya!  Memang ada keterangan tentang hal itu, misalnya dalam surat Al-Ma’idah ayat 5. 
Tapi, saya kira, konteksnya sama saja, yaitu dalam rangka menegakkan Islam juga.

Jelasnya bagaimana?

Silogisme pernikahan

Mari kita gunakan cara berpikir silogisme ya!

Silogisme?  Saya pernah belajar sedikit waktu kelas tiga SMA, tapi sekarang sudah lupa.
Seharusnya tidak dilupakan, karena ini sebenarnya tidak terpisahkan dari metode berpikir ilmiah, berpikir logis, alias berpikir dengan logika (jalan pikiran) tertentu. 

Bisa anda jelaskan secara singkat?

Silogisme itu adalah cara berpikir dengan menggunakan dua dalil dan satu kesimpulan. Dalil pertama disebut premis mayor, dalil kedua namanya premis minor. Lalu, yang terakhir adalah kesimpulan. Premis mayor mewakili sudut pandang deduktif (umum), premis minor mewakili sudut panang induktif (khusus). Kesimpulan ditarik dari hubungan logis kedua dalil itu. Contohnya, dalam konteks obrolan kita ini adalah begini:
  • Menikah adalah bagian dari upaya penegakan Islam. (Premis Mayor)
  • Pria mu’min menikah. (Premis Minor)
  • Dengan menikah, pria mu’min berusaha menegakkan Islam (walau menikah dengan wanita berbeda agama). (Kesimpulan)
Hm, begitu ya? Jadi, karena tujuan pernikahan orang Islam adalah untuk menegakkan Islam, dan tujuan itu harus dicapai oleh para mu’min, maka setiap mu’min otomatis menikah demi tercapainya tujuan itu?

Ya. Logikanya begitu.

Bagaimana bila ada mu’min yang menyimpang dari tujuan itu, misalnya dia menikah dengan wanita beda agama karena alasan cinta?

Bila diukur dengan silogisme di atas, logikanya, … ya tentu dia bukan mu’min.

Kalau bukan mu’min, berarti kafir doong?

Ya, logikanya begitu.

Wah, apa iya sampai sejauh itu?

Itu kan kesimpulan berdasar logika. Kesimpulan logis. Setiap orang yang berpikir logis, tentu harus memahami kesimpulan itu. Soal dia melaksanakan atau tidak, itu terserah dia.

Wah, berat juga jadi mu’min itu, kalau setiap tindakannya harus diukur secara logis begitu.

Ya, kalau mau jadi mu’min yang ilmiah, yaa harus begitu. Ka-lau cuma mau jadi mu’min yang berdasar perasaan, yaa tidak harus begitu.

Tapi, setahu saya, kebanyakan orang beragama itu justru tidak berpikir logis.

Memang. Kebanyakan orang, beragama dengan lebih menonjolkan perasaan.

Karena itu, orang yang cenderung berpikir logis malah jadi tidak beragama?

Tidak juga. Beragama atau tidak, kebanyakan manusia memang tidak berpikir logis. Karena manusia adalah makhluk perasaan. 

O, ya?  Jelasnya bagaimana?

Tadi kan saya katakan bahwa tugas setiap mu’min adalah menegakkan Islam. Ini harus menjadi kesadaran dia; sehingga ketika menikah pun dia melakukannya dalam rangka memenuhi tugas itu.
Termasuk ketika dia memutuskan menikah dengan wanita yang berbeda agama?

Ya.

Tapi, apakah hal itu, nikah beda agama, tidak boleh dilakukan wanita?

Tidak.

Mengapa?

Karena – de facto – dalam kehidupan berkeluarga, pria selalu cenderung dominan.

Itu kan zaman dulu, sebelum kita mengenal konsep kesetaraan gender!

Islam mengajarkan agar manusia bertakwa. Takwa adalah ukuran kemuliaan manusia dalam pandangan Allah. Tak peduli apa-kah ia berjenis kelamin pria atau wanita. Tapi, sebagai sebuah sistem, dalam Islam juga ada pembagian tugas, dan ada hierarki kepemimpinan. Kebetulan, dalam ajaran Islam, lelaki mendapat amanah untuk memimpin wanita, khususnya dalam rumahtangga. Ingat ya! Itu amanah bukan fasilitas, apalagi hak istimewa!

Jelasnya amanah dalam rangka penegakan Islam itu kan?

Ya. Khususnya penegakan Islam melalui lembaga pernikahan.

Kalau begitu, pembolehan pria mu’min menikah dengan wanita non-Islam itu … kok seperti engga nyambung dengan amanah itu?

Itu adalah kasus istimewa! Saya malah cenderung mengatakan itu adalah urusan politik tingkat tinggi.

O, ya? Maksud anda bagaimana? Pernikahan kok dihubung-hubungkan dengan politik segala?

Bukan dihubung-hubungkan, tapi memang ada hubungannya! Kalau tadi saya katakan bahwa pernikahan itu bagian dari penegakan agama, artinya dengan kata lain kan penegakan agama itu pada hakikatnya sebuah kegiatan politik. Hal ini jelas sekali kalau anda memperhatikan perjalanan da’wah Rasulullah, yang berujung pada tegaknya negara Madinah.

Apa hubungannya dengan soal pernikahan?

Sangat berhubungan! Khususnya dengan soal poligini.

O, ya? Bagaimana hubungannya?

Permasalahan masyarakat

Satu segi, pernikahan dilakukan dalam rangka penegakan Islam. Berikutnya, poligini adalah sebuah cara (teknik) untuk mengatasi suatu permasalahan masyarakat muslim. Saya ulangi, permasalahan masyarakat, bukan permasalah-an pribadi atau rumahtangga!

Apakah yang anda maksud sebagai masalah pribadi itu, misalnya, karena ada lelaki yang punya libido[5] sangat besar, sehingga istrinya tak sanggup melayani, lalu dia ‘terpaksa’ kawin lagi?

Ha ha! Terpaksa atau memaksa?

Yaa terpaksa memaksa istrinya supaya membolehkan dia kawin lagi. Ha ha!

Ya, ya! Libido besar, itu masalah ya? Tapi saya tidak melihat hal itu sebagai alasan yang benar untuk melakukan poligini.

Mengapa?

Karena dalam Islam ada ‘rumus’ untuk mengendalikan libido: puasa! Intinya, dorongan libido itu bukan alasan yang tepat untuk berpoligini.

Bagaimana bila ada lelaki yang berpoligini karena dia merasa punya banyak uang, dan ia ingin berbagi rejeki dengan wanita-wantia lain, selain istrinya yang pertama?

Seandainya ada lelaki seperti itu, itu juga bukan alasan yang benar.

Kemudian, apa yang anda maksud dengan masalah rumah-tangga?

Ada kalanya seorang lelaki berpoligini karena istrinya sakit atau mandul, misalnya.
Dan, menurut anda, itu juga bukan alasan yang benar?

Untuk yang pertama, istri sakit, sehingga tidak bisa melakukan hubungan seksual, mungkin bisa dibenarkan. Tapi, yang kedua, karena istri mandul, saya kira itu bukan alasan yang benar.

Mengapa? Bukankah orang berumah tangga itu salah satu tujuannya adalah mempunyai anak?

Punya anak bukan tujuan perkawinan. Itu hanya akibat. Memang ada Hadis yang menganjurkan agar kita mempunyai banyak anak, karena Rasulullah akan bangga menghadap Allah di hari kiamat dengan jumlah umat yang banyak. Tapi Islam juga mengajarkan agar dalam rumah tangga para mu’min ada anak-anak yatim yang diperlakukan seperti anak sendiri. Itu bagi mereka yang punya anak-anak kandung ya. Lebih-lebih lagi, tentunya, bagi mereka yang tidak punya anak karena istri atau suami mandul.

Wah! Kalau itu dilaksanakan, tidak akan ada anak-anak terlantar doong?

Juga tak perlu ada rumah yatim piatu!

Ya, ya!  Jadi, masalah itu bukan alasan ya?

Bukan!

Lantas apa doong alasan yang benar untuk berpoligini?

Tadi saya katakan bahwa poligini diajarkan sebagai sebuah cara (teknik) untuk mengatasi suatu permasalahan masyarakat, bukan masalah individu atau keluarga.

O, ya. Kalau begitu saya bisa menebak maksud anda. Di Indonesia, misalnya, sekarang kan perbandingan jumlah wanita dan prianya adalah 1: 5. Artinya, bila setiap pria Indonesia hanya punya satu istri, maka 4 wanita Indonesia tidak bisa mendapatkan suami…

Ha ha! Ya, ya, bisa saja hal itu jadi alasan, bila tujuan menikah hanyalah sekadar untuk mendapat suami bagi wanita, dan untuk men-dapat istri bagi lelaki. Tapi bagaimana bila hal itu dikaitkan dengan masalah ekonomi? Bisakah setiap pria Indonesia menanggung hidup 5 wanita?

Waah, anda kuno! Itu kan model perkawinan zaman dulu. Zaman sekarang kan bisa saja pihak wanita yang bekerja dan pria tinggal di rumah. Dengan begitu, semakin banyak jumlah istri jadi semakin baik kan?

Ha ha! Lucu juga. Tapi tidak sesuai kenyataan. Bagaimana pun, wanita Indonesia masih berpikir bahwa tugas suami adalah mencari uang. Selain itu, saya lihat mereka belum terdesak oleh kebutuhan yang membuat mereka berpikir “pokoknya dapat suami”, biar pun satu untuk berlima. Dengan kata lain, alasan yang anda ajukan itu adalah omong kosong.

Wah, habis bagaimana doong? Anda kok seperti tidak memberi peluang lelaki untuk berpoligini, seolah-olah anda bukan lelaki, atau tidak pernah berkhayal untuk beristri lebih dari satu.

Kita kan sedang ngobrol tentang konsep agama, bukan tentang konsep pribadi. Kalau bicara pribadi, sebagai lelaki, tentulah saya juga pernah punya khayalan begitu. Bicara agama itu kan bicara kehendak Tuhan, bukan kehendak kita.

Nah! Kenyataannya, agama kita membolehkan pria untuk berpoligini!

Ya. Saya tidak sedang berusaha menafikan hal itu. Saya hanya ingin menegaskan alasan-alasan yang benar untuk menerapkan pembolehan itu! Lagi pula, bagi saya itu bukan pembolehan, bukan fasilitas apalagi hak istimewa lelaki. Itu adalah amanah alias tanggung jawab lelaki dan wanita beriman…
Wah, itu lebih hebat lagi! Berarti poligini itu memang harus dilakukan toh? Bahkan harus dilakukan dengan dukungan perempuan!

Tungggu dulu, saya belum selesai ngomong! Tadi kan saya bilang bahwa poligini adalah sebuah cara untuk mengatasi permasalahan masyarakat.

Ya, tapi anda belum juga menjelaskan permasalahan masyarakat seperti apa!

Nasib anak yatim

Salah satunya adalah seperti yang disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 3. Tapi tentu saja ayat ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 1 dan 2.

Ayat pertama, isinya seperti sebuah pendahuluan yang bersifat umum, menyuruh manusia untuk bertakwa, yaitu memelihara diri dengan mengikuti bimbingan Tuhan, yang telah menciptakan manusia dari satu rumusan, yang selanjutnya melahirkan banyak pria dan wanita.

Anda katakan dari satu rumusan? Bukan dari satu diri (orang), yaitu Adam?

Saya mengambil pengertian yang saya sebutkan itu, sedikitnya dengan tiga alasan. Pertama, supaya tidak dituduh bias gender, karena terkesan bahwa pusat keturunan manusia adalah seorang lelaki

 Kedua, meski ada hadis yang mengatakan bahwa manusia berasal dari Adam, hadis itu juga mengatakan bahwa Adam berasal dari tanah. Ketiga, banyak ayat Al-Qurãn yang menyebutkan manusia dibuat dari ‘tanah’. 

Wah, jadi melebar nih!

Makanya jangan diteruskan ke sana! Kita fokus dulu ke masalah poligini yang disinggung dalam ayat-ayat ini.

Ya, lanjut!

Jadi, dalam ayat pertama Allah mengajak manusia bertakwa, dengan cara mengingatkan mereka kepada asal kejadian mereka. Yaitu bermula dari sebuah rumusan, yang selanjutnya melahirkan manusia berjenis kelamin pria dan wanita, dan lebih lanjut lagi mereka berkembang biak menjadi banyak melalui perkawinan kedua jenis itu. Kemudian, masih dalam ayat pertama, Allah mengingatkan bahwa Ia menciptakan manusia menjadi makhluk yang satu sama lain saling membutuhkan dan saling berkasih sayang, bila mereka mau menjadikan ajaran Allah sebagai pengikat.

Itu isi ayat pertama, yang tadi saya katakan sebagai pendahuluan yang bersifat umum. Setelah itu, melalui ayat kedua, kita diajak menukik langsung pada masalah anak yatim yang ‘kaya’, yang diri dan harta mereka dititipkan kepada para mu’min yang bertindak sebagai orangtua mereka. Di sini Allah mewanti-wanti agar harta anak yatim itu kelak diberikan secara utuh. Karena itu, jangan dicampur aduk dengan harta kita, sehingga menjadi tidak jelas lagi apakah yang kita makan itu harta kita atau harta anak yatim. Hal itu, kata Allah, adalah sebuah kesalahan besar.

Selanjutnya, ayat ketiga, masih bicara tentang anak yatim, tapi sudah dikaitkan dengan masalah pernikahan. Dari sinilah kontroversi tentang poligini itu dimulai! Anehnya, konroversinya kok lebih berat ke masalah poligini, dan terlepas dari masalah pemeliharaan anak yatim. …

Maksud anda?

Tadi saya sebutkan bahwa mulai dari ayat kedua, Allah mengajak kita menukik pada masalah anak yatim, yang berkaitan dengan penjagaan harta mereka, jangan sam-pai dimakan secara culas oleh pemeliharanya. Lalu pada ayat ketiga, masalah pemeliharaan anak yatim itu dikaitkan dengan pernikahan.

Ya, ya!  Kenapa begitu?  Apakah hal itu berkaitan dengan kewajiban orangtua, pemelihara anak yatim, untuk mengurus soal pernikahan anak yatim yang sudah dewasa?

Ayat ketiga itu dimulai dengan kata-kata wa in khiftum alla tuqsthû fil-yatãmã … Bila kalian takut atau khawatir tidak berbuat adil terhadap anak yatim, 

Jadi, konteksnya adalah pemeliharaan anak yatim?

Tampaknya sih iya!

Tunggu, tunggu!  Kalau konteksnya adalah pemeliharaan anak yatim apakah yang dinikahi itu ibu-ibu mereka?

Menurut beberapa hadis Bukhari dan Muslim, yang bersumber dari Aisyah, ada beberapa orang pemelihara anak yatim ingin menikahi anak yatim (wanita), setelah mereka dewasa, karena tertarik pada harta dan kecantikan mereka, dan mereka tidak mau membayar mahar (mas kawin) semestinya. Perilaku seperti itulah yang dilarang, karena – menurut saya – itu adalah sebuah keculasan.

Lalu mereka yang kata anda culas itu disuruh menikah dengan siapa?

Masih menurut Aisyah, mereka disuruh menikahi wanita-wanita selain anak-anak yatim yang mereka pelihara, supaya mereka membayar mahar secara wajar.

Jadi intinya cuma masalah mahar?

Sejauh pemahaman saya pada ayat-ayat ini, dikaitkan dengan keterangan Aisyah, yang menjadi inti persoalan di sini adalah nasib atau kedudukan anak yatim, yang ternyata,  … so very very weak to be abused! Begitu lemahnya mereka, terutama yang wanita, sehingga amat sangat rentan dijadikan mangsa para budak nafsu; baik yang bernafsu pada harta mereka maupun pada tubuh mereka.

Wah, anda membuat saya merinding nih.

Kenapa?

Karena, rupanya ada amanat besar dari Allah, tentang nasib anak-anak yatim, yang selama ini kita abaikan.

Benar. Padahal ada banyak hadis yang bicara tentang anak yatim, yang menempatkan mereka dalam posisi yang istimewa, khususnya sebagai ujian iman, karena mereka mungkin ada di rumah kita tapi kita perlakukan hanya sebagai setengah atau seperempat manusia. Belum lagi mereka yang berkeliaran sebagai pengemis, anak jalanan, bahkan pelacur …

Cukup, cukup. Kata-kata anda terasa seperti cambuk api bagi saya.

Mengapa? Itu kan bukan kesalahan anda. Itu adalah kesalahan kita semua, sebagai para muslim yang kurang mengenal ajaran agama sendiri.

Ya, ya. Sekarang kembali ke soal poligini.  Saya kok jadi ragu apakah ayat ini tepat dijadikan dalil untuk berpoligini. Jangan-jangan ayat ini adalah sindiran tajam bagi mereka yang mata keranjang. Yaitu agar mereka menjauhkan tangan mereka dari anak-anak (wanita) yatim yang seharusnya mereka lindungi, karena toh di luar masih banyak wanita yang bisa mereka jadikan alat pemuas nafsu. Bagaimana pendapat anda?

Mungkin anda benar. Dan kalau anda benar, sindiran itu juga ditujukan kepada mereka yang mata duitan, yang ingin menguasai harta anak yatim yang lemah. Tapi, seperti anda singgung tadi, memang ada juga yang berpendapat bahwa yang disuruh dinikahi itu adalah ibu-ibu para anak yatim itu, yaitu ketika anak-anak itu masih kecil. 

Supaya mereka punya ayah pengganti, yang memberi mereka makan dan perlindungan?

Bukan hanya itu. Apalagi, menurut Rasulullah, hakikat yatim itu bukanlah anak yang ditinggal mati bapaknya, tapi yang terisolasi dari (sumber) ilmu.

Jadi, anda hendak mengatakan bahwa alasan poligini dalam Islam itu adalah demi kepentingan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yatim itu?

Ya. Saya kira, itulah salah satu alasannya. Bila Rasulullah mengajarkan agar di rumah para mu’min ada anak-anak yatim yang diperlakaukan sama dengan anak-anak sendiri, maka cara yang paling mungkin untuk itu adalah dengan menikahi ibu-ibu mereka.

Walaupun ibu-ibu mereka itu sudah tua, atau secara fisik tidak menarik?

Ya. Karena ini perkawinan atas nama iman, bukan atas nama nafsu.

Hm, ya, ya!  Sekarang pikiran saya sudah agak terbuka. Tapi, kalau hanya ingin menolong anak-anak yatim, apakah memang harus menikahi ibu-ibu mereka?

Anda harus mengingat kembali silogisme pernikahan yang sudah kita bahas lebih dulu; dengan sedikit perubahan, sehingga menjadi seperti ini:
  • Menikah dilakukan demi penegakan Islam. (Premis Mayor).
  • Pria mu’min adalah penegak Islam. (Premis Minor).
  • Menikah dengan ibu anak-anak yatim adalah demi penegakan Islam. (Kesimpulan).
Ya, ya!  Saya bisa menerima silogisme itu. Tapi, apakah menikahi ibu anak-anak yatim itu adalah jalan satu-satunya untuk menolong anak-anak yatim?

Saya kan tidak mengatakan demikian. Tapi, bila itu yang harus dilakukan, maka yang mengaku mu’min tentu tidak bisa menghindar dari tuntutan logis (demi penegakan Islam) itu. Karena, bila dia menghindar dari tuntutan logis itu, tentu dia sudah tahu apa yang akan terjadi.

Hm, ya, apa yang akan terjadi?

Pertama, ada anak-anak yatim yang terlantar pemeliharaan dan pendidikannya. Kedua, bila ibu-ibu mereka muda dan cantik, ada kemungkinan mereka jatuh ke tangan orang kafir.

Oh, begitu ya?  Kalau memang begitu, rasanya  yaa logis juga sih!

Tadi kan kita menggunakan silogisme, yaa jadi logis doong!

Iya, iya. Sekarang saya bisa mengerti bahwa poligini bagi seorang mu’min adalah beban, bukan hak, apalagi hak istimewa.

Ya. Tepatnya adalah beban tanggung jawab sosial; untuk menjawab permasalahan komunitasnya, yaitu komunitas mu’min. Dan, dengan demikian, tanggung jawab itu juga harus ditanggung oleh si istri pertama, walau mungkin ia harus menderita banyak kehilangan seperti jumlah uang belanja, perhatian suami, dan lain-lain. Tapi, sebenarnya, di situ juga bisa terjadi suatu keajaiban. Yaitu keajaiban iman, yang bisa mengubah kehilangan menjadi suatu nilai tambah.

O, ya? Misalnya?

Kalau anda punya kecenderungan menolong orang, maka apa yang anda keluarkan untuk menolong itu akan berganti dengan perasaan lega dan bahagia, karena anda menyaksikan orang itu menjadi selamat atau terbebas dari masalahnya. Hal itu juga bisa terjadi pada istri pertama yang dimadu demi kepentingan agama.

Ya, kalau yang berkurang itu cuma uang belanja atau uang bedak, mungkin tidak terlalu masalah. Tapi kalau yang berkurang itu adalah perhatian suami …

Nah! Di situ juga bisa terjadi keajaiban. Keajaiban yang timbul karena kerelaan memberi.
Misalnya?

Anda kan menyebut soal perhatian. Ketika ada seorang lelaki berpoligini, anda membayangkan para istri saling bersaing dalam memperebutkan perhatian suami. Di situ pasti ada yang kalah dan menang. Biasanya, yang kalah itu istri pertama, karena dia sudah tua atau suami sudah mulai bosan.

Ya, biasanya begitu.

Tapi sebenarnya di tengah anak-anak juga sering terjadi perebutan perhatian orangtua, dan biasanya para orangtua bisa mengatasi masalah itu dengan cukup mudah. Misalnya, ketika si kakak cemburu terhadap adiknya, karena tampak seperti merebut perhatian orang-tuanya, maka orangtuanya akan mengajak si kakak untuk sama-sama menaruh perhatian pada si adik, sama-sama membelai dan menciumnya, dan sebagainya. Cara itu umumnya berhasil; dan dari situlah mulai tumbuh rasa kasih sayang antara kakak dan adik. …


Dan anda berpikir bahwa itu juga bisa terjadi di antara para istri yang dimadu?

Ya? Kenapa tidak? Bukankah orang-orang beriman itu bersaudara? Apalagi bila poligini dilakukan benar-benar karena alasan agama, bukan karena nafsu lelaki yang ingin punya banyak istri.
Ya. Saya mulai mengerti. Tapi, kalau ‘rumus’ poligini itu memang seperti yang anda kemukakan, berarti si lelaki tidak bebas memilih kan?

Bukan hanya tidak bebas memilih; bahkan sebaliknya, dialah yang harus rela bila dia terpilih, dan ternyata dia mendapatkan wanita yang tidak sesuai seleranya.

Lho, memangnya siapa yang memilih?

Ha ha! Inilah yang – barangkali – tidak terpikir oleh banyak orang. Tapi, anda kan tahu bahwa seorang mu’min itu seharusnya hidup dalam jama’ah. Kata Rasulullah, seorang mu’min yang jauh atau menjauhkan diri dari jama’ahnya, dia itu ibarat kambing yang setiap saat bisa diterkam serigala! Selain itu, tentu saja seorang mu’min yang jauh dari jama’ahnya tidak akan bisa berperan maksimal bagi jama’ahnya.

Terus, dalam konteks poligini?

Tadi kan saya sebutkan bahwa poligini itu dilakukan demi kepentingan agama, demi kepentingan komunitas. Dalam sebuah komunitas mu’min, tentu ada seorang atau beberapa orang pemimpin kan? Nah, ketika ada satu masalah, para pemimpin itu pasti bersidang kan? Dari sidang itu, tentu mereka akan menghasilkan sejumlah atau sebuah keputusan. Bila masalahnya, misalnya, ada sejumlah ibu anak-anak yatim yang butuh suami, maka sudah pasti mereka memilih sejumlah lelaki yang mampu menjadi suami mereka kan? Dan, setiap keputusan para pemimpin itu tentu tidak akan ditolak oleh mereka kan?

Oh!  Begitu ya? Tapi, ini  adalah pemikiran aneh yang baru saya dengar.

Tapi, saya kira, itulah yang sebenarnya diajarkan agama kita.

Ya, saya kira juga memang harus begitu; supaya poligini itu menjadi solusi, bukan malah jadi masalah.

Benar.

Tapi, masalahnya, umat Islam Sekarang kan tidak punya pemimpin …

 Siapa bilang? Umat Islam Indonesia, misalnya, bukankah punya Majlis Ulama?

Ya, memang ada Majlis Ulama. Tapi, kenyataannya yang sekarang turun tangan mengurusi masalah poligini adalah pemerintah. Orang-orang di MUI hanya sebatas memberi komentar.

Ha ha! Menurut anda itu pertanda apa? Silakan pikir sendiri.

Mungkin karena negara kita bukan negara Islam!

Apakah untuk menjalankan ajaran Islam harus menunggu negara ini diresmikan menjadi negara Islam? Apakah anda tidak tahu bahwa di negara-negara yang mengaku sebagai negara Islam itu juga ajaran Islam banyak yang tidak berlaku?

O, ya? Jadi, … itu pertanda apa?

Pertanda bahwa Islam belum menjadi akhlak masyarakat, bahwa penegakan ajaran Islam baru merupakan angan-angan segelintir orang.

Mengapa bisa terjadi begitu? Apa yang salah?

Kemungkinan besar kesalahan terletak pada cara berda’wah yang tidak mengikuti langkah-langkah (sunnah) rasul.

O, ya? Bisa anda jelaskan?

Nanti kita akan bahas masalah ini secara khusus.

Baiklah. Kembali ke masalah poligini. Saya ingin tahu apakah hal yang anda sebutkan tadi itu juga terjadi di masa Rasulullah?

Bukankah Lily Zakiyah Munir, dalam tulisannya di harian Kompas itu, menyebut bahwa ayat tentang poligini itu turun setelah Perang Uhud?

Ya. Tapi, apa yang terjadi dalam Perang Uhud?

Di situ kaum muslimin mengalami kekalahan. Banyak tentara yang gugur. Berarti banyak janda dan anak-anak yatim …

O, begitu ya? Lantas, Rasulullah sendiri bagaimana?  Apakah beliau juga menikahi istri-istrinya karena mereka semua adalah ibu-ibu anak yatim?

Pertanyaan bagus! Sangat bagus!

Kalau begitu, anda harus memberikan jawaban yang bagus juga!

Saya tidak yakin. Tapi, pernikahan-pernikahan Rasulullah, poligini Rasulullah, saya lihat lebih bernuansa politik.

Oo. Jadi, sekarang anda mau mengatakan bahwa poligini dalam Islam juga dilakukan demi kepentingan politik?

Ya. Tepatnya politik da’wah. Strategi dan taktik da’wah.

Jelaskan!

Kita lanjutkan nanti saja, ya?
Waaah! Jadi penasaran nih!

(A.H)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.