Ini Manuver Mu'awiyah bin Abu Sufyan
MU’AWIYAH BIN ABU SUFYAN
(Tokoh pembaharu yang mengeluarkan
Dinul Islam dari pandangan dan sikap hidup NUR mSR kearah Islamisme yang
berpandangan dan sikap hidup Dzulumat mSS, QS 2:257)
BAB I
PENDAHULUAN
Catatan emas
telah di torehkan umat Islam dalam membangun peradaban di muka bumi ini. Selama
hampir 9 abad peradaban Islam menguasai dunia. Bermula dari masa kepemimpinan
Rasulullah SAW, Khulafaur Ar-Rasyidin. Sabda Rasulullah bukanlah sekedar ucapan
yang berdasarkan nafsu, melainkan berdasakan wahyu kepadanya (al-Najm: 3-4),
dalam masalah Khilafah Rasulullah telah membatasinya dengan masa, tidak berlaku
untuk selamanya. Rasulullah Saw bersabda: “al-Khilafatu fi ummatii tsalaatsuna
sanatan, tsumma mulkun ba’da dzalika”. Artinya: “Usia khilafah dalam umatku adalah 30 tahun, kemudian
setelah itu adalah sistem kerajaan” (HR Ahmad No 21978 dan Turmudzi No 2226, ia
mengatakan: ‘Hadis ini hasan’)
Adalah Bani
Umayyah yang berkuasa selama 90 tahun. Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung
hingga pada tahun 132 H/ 750 M. sejarah telah membuktikan prestasi yang
ditorehkan oleh dinasti Mu’awiyah ini. Dalam waktu 90 tahun dinasti Mu’awiyah
mampu menguasai Spanyol sampai dengan India, sungguh prestasi yang nanti nya membuat dendam kesumat yang luar biasa
antara pertarungan Islam binaan Muawiyah dengan Eropa hingga sekarang.
Bahkan ketika Dinasti Mu’awiyah berada dibawah kekuasaan Al-Walid, seluruh
wilayah Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M pasukan Muslim
menyebrangi Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian menyebrangi Sungai
Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur, seorang wali Arab
menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam untuk pertama kalinya
di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993). Bagi beberapa kalangan luas wilayah
Islam pada masa ini adalah yang terluas dibanding dengan masa kekhalifahan
lainnya. Perluasan-perluasan berikutnya hanyalah berupa pengembangan dari luas
wilayah yang telah ada. Bahkan pada akhir masa Kekhalifahan Utsmani, wilayahnya
semakin menyempit akibat sparatisme dan berkembangnya nation state, sampai
akhirnya hilanglah wilayah Kekhalifahan Islam pada tahun 1924 (3 Maret), saat
diruntuhkannya Kekhalifahan Utsmaniyyah sehingga wilayah Islam terpecah menjadi
negeri-negeri Islam, sampai sekarang. Kejayaan Kerajaan Mu’awiyah hanya sampai
Raja Al-Walid. Karena raja-raja setelahnya telah terjagkit penyakit cinta dunia
yang menyebabkan keruntuhan dinasti Bani Umayyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul
dan Perkembangan Dinasti Umayyah
Namanya dikenal
sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam.
Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di
Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari Bani Umayyah dan Hindun
binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi
Muhammad. Ia baru masuk Islam
setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia
masuk Islam bersamaan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan. Pada masa khalifah
Usman bin Affan semua daerah Syam diserahkan pada Bani Muawiyah ia diberi
kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang membantunya. Dengan
demikian ia berhasil mejadi gubernur selama 20 tahun setelah itu berhasil pula
menjadi khalifah selama 20 tahun. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan Mu'awiyah bukan hanya bermula dari hasil diplomasi yang terjadi
pada Perang Shiffin serta terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib melainkan
semenjak ia menjadi gubernur yang memiliki kemampuan dalam mengatur
administrasi dalam pemerintahan yang memang terlihat semenjak masa Rasulullah.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyah dikabarkan pernah menjadi salah
seorang pencatat wahyu.[1] Beliau mulai memegang tempuk pemerintahan pada masa
Khalifah Umar bin Khattab dan menjabat sebagai Gubernur Yordania. Di saat yang
sama saudaranya, Yazid juga diangkat menjadi Gubernur Damaskus oleh Saidina
Umar. Akan tetapi, Yazid wafat karena panyakit pes yang berjangkit di kota
Amuas. Saat itulah Khalifah Umar menggabungkan wilayah Damsyik ke dalam wilayah
kekuasaan Mu’awiyah. Ketika menjadi seorang gubernur, Mu’awiyah merupakan sosok
pemimpin yang memiliki pribadi sangat kuat dan amat jujur, serta ahli dalam
lapangan politik.
Mu’awiyah
berhasil memegang kekuasan penuh setelah Hasan bin Ali menyerahkan jabatan itu
dengan beberapa syarat, antara lain:
1. Agar
Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Iraq.
2. Menjamin
keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3. Agar pajak
tanah Negeri Ahwaz diperuntukkan padanya dan diberikan setiap tahun.
4. Agar
Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husein bin Ali bin Abi Thalib
sebesar 2 juta dirham.
5. Pemberian
kepada Bani Hasyim haruslah lebih besar dari pada pemberian kepada Bani Abdi
Syam.
Di samping
berhasil mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik,
perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut. Naiknya
Mu’awiyah menjadi khalifah pada awalnya tidak melalui forum pembai’atan yang
bebas dari semua umat. Mu’awiyah dibai’at pertama kali oleh penduduk Syam
karena memang berada di bawah kekuasaannya, kemudian ia di bai’at oleh umat
secara keseluruhan setelah tahun persatuan atau ‘am jama’ah (661).[2]
Pemerintahan pada masa ini bersifat monarchiheridetis (kerajaan turun temurun).
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Ia bermaksud mengikuti sistem di Persia dan
Bizantium. Dia masih tetap menggunakan istilah khalifah tapi dengan
menambahkan "Khalifah Allah" dalam pengertian penguasa yang diangkat
oleh Allah.
B. Sistem Kepemimpinan dan Penegakan Dinasti
Mu'awiyah adalah penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem
kekhalifahan menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Mu'awiyah pernah menegaskan bahwa dirinya adalah seorang raja Islam yang
pertama. Ia membentuk sistem kekuasaan berdasarkan garis keturunan dengan
menunjuk anaknya, Yazid, sebagai putra mahkota. Sikapnya menunjuk putra mahkota
ini akhirnya menjadi model dan diikuti oleh seluruh penguasa Umayyah
sesudahnya. Karenanya Mu'awiyah dipandang sebagai pendiri sistem kerajaan yang
turun temurun dalam sejarah umat Islam. Tradisi demokrasi kesukuan nenek moyang
bangsa Arab seketika itu hilang untuk selama-lamanya dan digantikan dengan pola
kekuasaan individu dan otokrasi. Dalam
hal ini Mu'awiyah mengikuti tradisi kekuasaan absolutisme yang berkembang di
Persia dan Bizantium. Mu'awiyah setelah menjadi raja tampaknya masih
menjalankan kedudukan dan fungsi khalifah, seperti menyampaikan khutbah dan
menjadi imam shalat Jum'at, tetapi ia terlalu menjaga jarak dengan kehidupan
masyarakat. Mu'awiyah hidup dalam kemewahan istana yang selalu dijaga oleh
pengawal bersenjata. Baitul maal
dijadikan sebagai harta kekayaan pribadi dan memutuskan segala yang penting hanya menggunakan pertimbangannya
sendiri tanpa melalui musyawarah. Disinilah letak perbedaannya dengan
pemerintahan masa sebelumnya. Selama memerintah Mu’awiyah berhasil menegakkan
kerukunan antar bangsa Arab wilayah utara (Kaisaniyyah) dengan bangsa Arab
wilayah selatan (kalbiyah). Sekalipun nasab Mu'awiyah lebih dekat kepada
kelompok Kaisaniyyah, namun ia justru mengangkat putra mahkota dari istrinya
yang berketurunan Kalbiyah. Selama masa pemerintahannya, penguasa dan rakyat
hidup rukun. Ia juga bertindak cukup bijaksana terhadap penganut agama Kristen.
Hal ini
terbukti dengan diangkatnya beberapa orang nasrani sebagai pejabat negara,
salah satunya menjabat sebagai dewan penasihat.
C. Dinasti-Dinasti Mu’awiyah
1. Muawiyah ibn
Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn
Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah
pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus
dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali.
Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan
yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan
dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Muawiyah meninggal dunia dalam usia 80
tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn
Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada
tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan
dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia
kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk
memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang
terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan
dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali, yang sebenarnya juga sudah disusupi pemahaman
Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan
terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui
Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang
tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah
dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45). Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam
sepanjang sejarah Islam, yaitu :
1. Pembunuhan
Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
2. Pelaksanaan
Al Ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah.
3. Penggempuran
terhadap baiat Allah.
4. Pertama
kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan pelayan rumah
tangga khalifah di dalam istana.
Ia meninggal
pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga
tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn
Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn
Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia
seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan
ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang
Arab sendiri. Ia memerintah hanya dalam kurun waktu enam bulan.
4. Marwan ibn
Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum
menjabat sebagai penasihat Khalifah Utsman bin Affan, ia berhasil memperoleh
dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai
hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan khalifah yang
dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid.
Selama masa pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi
perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa
pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5. Abdul Malik
ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn
Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M.
Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan
kemulian. Ia terpandang sebagai khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap
dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia Islam dari para pemberontak,
sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin
Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia wafat
pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya-karya
terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21
tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan
Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn
Abdul Malik (705-715 M)
Masa
pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan
ketertiban Umat Islam. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu pestiwa besar,
yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat
daya,benua Eropa,yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga
sampai ke Andalusia(Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad.
Perjuangan panglima Thariq bin Ziyad mencapai kemenangan, sehingga dapat
menguasai kota Cordova,Granada dan Toledo. Selain melakukan perluasan wilayah
kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa
pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik
meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah daulah Bani Umayyah dan merupakan
puncak kebesaran daulah tersebut.
7. Sulaiman ibn
Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn
Abdul Malik menjadi khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat
hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitarnya. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil gubernur wilayah Hijaz, yaitu
Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan
memegang jabatan wazir besar. Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan
penaklukan Ibukota Constantinopel gagal. Satu-satunya jasa yang dapat
dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan
pembangunan Jam’iul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul
Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul
Aziz menjabat sebagai khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan
sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman
Khulafaur Rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan dunia yang
selalu ditunjukkan oleh Bani Umayyah. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia
menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah
Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti
bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa
pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubungan baik dengan
Syi’ah. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah
sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali
(orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.
Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat.
Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia
39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn
Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul
Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya
mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah
propaganda bagi keturunan Bani Abbas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat
pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun 1 bulan.
10. Hisyam ibn
Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn
Abdul Malik menjabat sebagai khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal
negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya
muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani
Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh
golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan
selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan
menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak
dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan
kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan
para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga khalifah tidak
mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam
kebudayaan dan kesastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua
tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55
tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal
Hisyam, khalifah-khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral
buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn
Yazid (743-744 M)
Daulah Umayyah
mengalami kemunduran di masa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk
dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia
mati terbunuh. Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan
oleh Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan
orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk
merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan
menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Ia sempat meloloskan diri dari
penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Ia wafat dalam usia 40
tahun.
12. Yazid ibn
Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan
Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang
suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan
kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Ia
wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn
Malik (744 M)
Diangkatnya
Ibrahim menjadi khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan
keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau
dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar
berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan sukarela
mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan
ibn Muhammad. Ia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14.Marwan ibn
Muhammad (745-750 M)
Ia adalah
seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak
dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah yang
telah kuat pendukungnya. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, lalu ke
Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas
as-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair,
daerah al Fayyun Mesir, ia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima
penyerahan tugas dari Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132
H5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai
tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.[3] Setelah keruntuhan Dinasti
Mu’awiyah maka negara Islam terpecah menjadi 30 negara yang terdiri dari
beberapa dinasti, yaitu:
a. Dinasti
Murabithun (1086-1143)
Dinasti ini
perpusat di kota Maraskey, Maroko. Pasukan dinasti murabithun datang dalam
rangka membantu umat Islam melawan kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk
menguasai Andalusia setalah melihat Umat Islam terpecah belah.
b. Dinasti
Muwahiddun (1146-1235)
Dinasti ini
datang menggantikan dinasti Murabithun di Afrika Utara Kemudian juga
melanjutkan kepemimpinan di Andalusia. Dimana pada masa ini hidup Ibnu Rusyd,
seorang pemikir besar pasa masa itu yang banyak menafsirkan pemikiran
Aristoteles.
c. Bani Ahmar
(1232-1292)
Pada 1238
Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh
Spanyol. Hanya Granada yang bertahan di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492).
Kepemimpinan Islam masih berlangsung sampai Abu Abdullah meminta bantuan Raja
Ferdinand dan Ratu Isabella untuk merebut kekuasaan dari ayahnya(Abu Abdullah
sempat naik tahta setelah ayahnya terbunuh). Namun Ferdinand dan Isabella
kemudian menikah dan menyatukan kedua kerajaan. Mereka kemudian menggempur
kekuatan Abu Abdullah untuk mengakhiri masa kepemimpinan Islam.[4] Sejak itu,
seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi),dikejar-kejar untuk dihabisi atau memilih
untuk berpindah agama. Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu
dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah hingga
Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumi hanguskan, seluruh kerabat
Sultan mereka bantai.
Memasuki Abad
16, Tanah Andalusia (yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam) kemudian bersih
dari keberadaan umat Muslim.
D. Karakteristik, Tradisi dan Peradaban Muslim Masa Mu’awiyah.
Sebagaimana
khalifah-khalifah sebelumnya, keempat belas Khalifah dari Keluarga Umayyah ini
telah menggoreskan sejarah dengan karakteristik tersendiri. Inilah yang
kemudian dinyatakan sebagai keberhasilan atau kelemahan dalam keberadaannya.
Sedikit tentang
sejarah yang ditorehkannya antara lain;
1. Mulai adanya
penyempitan calon-calon yang diajukan sebagai khalifah pengganti khalifah
sebelumnya. Yaitu calon-calon tersebut harus berasal dari keluarga Umayyah. Inilah yang dikatakan sebagai penyimpangan
dari ajaran Islam. Tetapi sejauhmana penyimpangan tersebut, secara lebih spesifik
bahasannya akan diurai di bagian akhir.
2. Perluasan
wilayah Islam dapat diperoleh dalam waktu yang cukup singkat. Dalam
pemerintahannya selama 90 tahun, wilayah Islam semakin luas. Mulai dari Spanyol
hingga India. Penaklukan militer ini berjalan cepat terutama pada pemerintahan
Khalifah al Walid. Segenap Afrika Utara diduduki dan pada tahun 91 H / 710 M.
Pasukan Muslim melewati Selat Gibraltar lalu masuk ke Spanyol, kemudian
menyeberangi Sungai Pyrenees dan menyerang Carolingian Prancis. Di Timur,
seorang wali Arab menyusup melalui Makran masuk ke Sind, menancapkan Islam
untuk pertama kalinya di India (Dinasti-Dinasti Islam, 1993).Bagi beberapa
kalangan,luas wilayah Islam pada masa ini adalah yang terluas dibanding dengan
masa kekhalifahan lainnya. Perluasan-perluasan berikutnya hanyalah berupa
pengembangan dari luas wilayah yang telah ada.Bahkan pada akhir masa
Kekhalifahan Utsmani,wilayahnya semakin menyempit akibat sparatisme dan
berkembangnya nation state, sampai akhirnya hilanglah wilayah Kekhalifahan
Islam pada tahun 1924 (3 Maret), saat diruntuhkannya Kekhalifahan Utsmaniyyah.
Sehingga wilayah Islam terpecah menjadi negeri-negeri Islam sampai sekarang.
3. Pembangunan
fisik semakin marak dilakukan. Apabila pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin,
pembangunan terlihat lebih fokus kepada pembangunan ruhul-Islam, dalam artian
penerapan hukum-hukum Islam di muka bumi, pada masa Umayyah pembangunan fisik
dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin berkembang. Hal-hal yang khusus
antara lain penghijauan daerah Makkah dan Madinah pada masa Khalifah Mu’awiyah,
pembuatan mata uang Islam pada masa
Khalifah Abdul Malik, penghimpunan
hadits-hadits Nabi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Kemudian Masjid Raya
Damaskus didirikan oleh Khalifah Al Walid I serta Madrasah al Nuriyah di
Damaskus pun dibangun untuk sarana pendidikan.[5]
E. Yurisprudensi dan Tata Hukum Ajaran Islam Masa Mu’awiyah Politik
pemerintahan di masa dinasti Umayyah,
Menurut Imam
Az-Zuhri, bahwa pada masa Rosulullah, dan para Khulafaur-Rasyidun yang empat
berlaku hukum, bahwa orang-orang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan
demikian pula seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir. Tapi pada masa
pemerintahannya, Muawiyah telah bertindak mewariskan seorang muslim dari
seorang kafir tapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang muslim.
Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang mengada-ada dalam agama ini telah
dibatalkan pada masa Umar bin Abdul Aziz dimasa pemerintahannya.Tapi Hisyam bin
Abdul Malik kembali mengubah ketentuan seperti semula, yakni ketentuan di masa
Mu’awiyah. Ibnu Katsir berpendapat bahwa
Mu’awiyah juga telah mengganti sunnah Rasulullah Saw dan para Khulafaur
Rasyidun dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat (denda) pembunuhan terhadap
seorang non-muslim yang telah mengikat perjanjian dengan negara Islam,
jumlahnya sama dengan diyat seorang muslim. Tapi Mu’awiyah mengurangi sampai
setengahnya dan dia mengambil setengah yang lain bagi dirinya sendiri. Begitu
bayak prestasi yang ditorehkan oleh Muawiyah, termasuk didalamnya pembagian
departemen-departemen dari setiap lembaga yang ada. Termasuk didalamnya adalah
pembentukan Al-Nizham al qadha’I, yaitu lembaga bagian penegak hukum. Al-Nizham
al qadha’I ini terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat,
danal-mazholim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas
membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al-Qur’an,
As-Sunnah, atau Ijma’ atau berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh
penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat,dan pegawai
negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al muhtasib,
tugasnya menangani kriminal yang perlu penyelesaian segera. Pejabat badan
al-mazholim disebut qodhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan
ini lebih tinggi daripada al-qadha atau al-hisbat. Karena badan ini bertugas
meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang
dibuat oleh qadhi dan muhtasib,bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya
dianggap perlu ditinjau kembali.Baik perkara seorang rakyat, atau pejabat yang
menyalahgunakan jabatannya.Badan ini enyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang
mengambil tempat dimasjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu
para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para khatib dan para saksi
yang dipimpin oleh al-qadhi al-muzhalim.Artinya,dalam pemerintahan dinasti
Umayyah sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap
ditegakkan[6].
F. Faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran Dinasti Mu’awiyah
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan lemahnya sampai kehancuran dinasti Umayyah, antara lain
:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan
adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab, yang lebih menekankan pada aspek
senioritas. Pengaturan ini dianggap tidak jelas. Ketidakjelasan sistem
pegantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di
kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani
Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi dimasa
Ali. Sisa-sisa Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka, seperti di masa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasan bani Umayyah. Penumpasan terhadap
gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa
kekuasan Bani Umayyah, pertentangan etnis anggota suku Arabia Utara (bani Qays)
dan Arabia Selatan (bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin
meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah
mendapatkan kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Di samping itu,
sebagian besar golongan Mawali (non arab), terutama di Irak dan wilayah bagian
timur lainnya, merasa tidak puas dengan status mawali itu. Hal tersebut
menggambarkan status inferioritas
ditambahkan dengan keangkuhan bangsa Arab yang di perlihatkan pada masa
Umayyah.
4. Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasan. Disamping itu, golongan agama
banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
5. Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru
yang dipelopori oeh keturunan Abbas ibnu Abdul Al- Muthalib. Gerakan ini
mendapatkan dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi’ah dan kaum mawali
yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah.
G. Peninggalan Bersejarah Bani Ummayah
Pada masa Bani
Umayyah pembangunan fisik juga mendapatkan perhatian yang besar. Dengan
berpindahnya pusat kekuasaan keluar dari Jazirah Arab, pembangunan fisik juga
tidak terpusat di Jazirah Arab saja. Usaha yang dilakukan oleh Bani Umayyah
dalam kaitannya dengan keberadaan bangunan bersejarah adalah :
1. Mengubah
Katedral St. John di Damaskus menjadi masjid
2. Menggunakan
Katedral Hims sebagai gereja sekaligus masjid
3. Merenovasi
Masjid Nabawi
4. Membangun
Istana Qusayr Amrah dan Istana al-Musatta yang digunakan sebagai tempat
peristirahatan di padang pasir. Bukti-bukti peninggalan tersebut menunjukkan
bahwa pada masa Bani Umayyah umat Islam sudah mencapai tingkat peradaban yang
tinggi. Hal itu menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan yang ada pada
saat ini.
BAB III
PENUTUP
Dinasti Umayyah
menguasai dunia selama kurang lebih 90 tahun, dalam kurun waktu 90 tahun itulah
berbagai macam perubahan (Sifatnya Fisik-material) telah dilakukan oleh
Mu’awiyah dan juga penerus dinasti Umayyah. Perubahan Prinsipil yang seharusnya tidak ia lakukan, yaitu tentang sistem pemerintahan yang
ternyata sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam di seluruh belahan dunia
hingga saat ini. Seperti yang kita ketahui bahwa keberhasilan umat Islam
dalam membangun peradaban terletak pada masa kekhalifahan yang dimulai oleh
Rasulullah Saw dan kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Perubahan Prinsipil yang dilakukan
Mu’awiyah telah menggerogoti sendi2 dasar & Pedoman Allah/Quran &
keTinggian Islam, karena dengan berubahnya sistem pemerintahan dari
khalifah menjadi kerajaan turun-temurun atau sistem demokrasi (musyawarah)
menjadi sistem monarki (turun temurun) menjadikan umat Islam yang begitu kuat
dengan Persaudaraannya menjadi mudah dihasut. Sehingga menimbulkan
pemberontakan yang mengatas namakan kebenaran. Dan terbukti,salah satu faktor
runtuhnya Dinasti Umayyah adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara
anak-anak dan cucu-cucu dari Mu’awiyah. Saat ini banyak diantara umat Islam
yang ingin membangun kembali Khilafah yang telah runtuh dan mengikrarkan
peradaban Islam didunia, tapi tidak memiliki kemampuan yang cukup dan tidak
memiliki pondasi yang kuat. Mu’awiyah
telah melanggar Prinsip Quran & menerapkan sistem pemerintahan kerajaan ini
dengan mampu menaklukan seluruh Negara Afrika bagian Utara, dikuasainya Spanyol
dan masih banyak lagi yang telah ditaklukan. Hanya saja kini semua telah
kembali ke masa awal sampai tidak ada sedikitpun bukti keberadaan Islam di
Spanyol. Inilah hal yang sangat disayangkan.
====================================================
Bani Umayah
adalah salah satu kabilah suku Quraisy. Kabilah ini sangat besar dan memegang
peranan penting dalam kekuasaan politik dan ekonomi bangsa Arab. Sebenarnya
Bani Umayah masih ada hubungan darah dengan Bani Hasyim, dimana Nabi Muhammad
saw berada di dalamnya. Meraka sama-sama keturunan Abdi Manaf. Tetapi kedua
kabilah ini selalu bersaing untuk berebut pengaruh dan kehormatan dari
masyarakat kota Makkah. Di dalam peersaingannya Umayah selalu pada pihak yang
unggul, karena didukung oleh kemampuan memimpin dan kekayaan yang cukup, dan
juga keturunan yang banyak. Sehingga mereka selalu berpotensi menjadi pemimpin
masyarakat Makkah. Pada masa puncak kepemimpinannya, kabilah ini selalu
berhadapan dengan dakwah Nabi Muhammad saw. Mereka yang paling gigih menolak dan menghalangi da’wah Nabi Muhammad
saw, yang saat itu dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.
Abu Sufyan ini baru memeluk Islam dan tunduk kepada Nabi Muhammad saat
Fathu Makkah. Meskipun begitu Nabi Muhammad saw tetap memerankan
Abu Sufyan sebagai pemimpin Makkah. Pada saat itu ketika seluruh penduduk
Makkah merasa ketakutan, Nabi Muhammad berkata, bahwa barang siapa yang
memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia akan selamat. Artinya bahwa keberadaan Abu
sufyan adalah tetap pemimpin Makkah, meskipun ia tunduk kepada kepemimpinan
Nabi Muhammad saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin,
Bani Umayah tidak lagi sebagai pempimpin bangsa Arab. Pada saat itu kepemimpinan Islam dan bangsa Arab, tidak memperhatikan
asal-usul kabilah dan kesukuan. Proses rekrutmen pempimpin didasarkan pada
kemampuan dan kecakapan.
Meskipun Utsman
bin Affan adalah dari keluarga Bani Umayah, tetapi ia tidak pernah
mengatasnamakan diri sebagai Bani Umayah.
Begitu juga
Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai gubenur Siriya
adalah kerena kecakapannya. Ambisi Bani
Umayah untuk memimpin kembali muncul ketika mereka sudah mempunyai kekuatan
besar. Dengan berbagai upaya, mereka menyusun kekuatan dan merebut
kekhalifahan umat Islam. Usaha ini
akhirnya berhasil setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang
dikenal dengan istilah Amul Jamaah.
Daulah Bani
Umayah berdiri pada tahun 41H / 661 M. didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ia adalah gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin
Affan. Selama ia menjabat gebernur, ia telah membentuk kekuatan militer yang
dapat memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Ia tidak segan-segan menghamburkan
harta kekayaan untuk merekrut tentara bayaran yang mayoritas adalah kelurganya
sendiri. Bahkan pada masa Umar bin
Khattab, ia mengusulkan untuk mendirikan angkatan laut, tetapi Umar menolaknya.
Dan angkatan lautnya berhasil didirikan ketika masa pemerintahan Utsman bin
Affan.
Proses Berdirinya Daulah Bani Umayah Bagian 2
Ketika masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah diberhentikan, dan digantikan oleh
Sahal bin Hunaif. Pemecatan Ali atas
Mu’awiyah ini didasarkan pada pengamatan beliau, bahwa pada hakikatnya penyebab
kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para gubenur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan
peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan adalah akibat kelalaian mereka. Mereka
tidak berbuat banyak, ketika keadaan Madinah sangat genting, padahal mereka
mempunyai pasukan yang kuat.
Mu’awiyah dan
penduduk syam tidak puas dengan pemecatan ini, dan menolaknya. Ia mengembalikan
utusan khalifah dengan mengirimkan surat penolakan melalui kurir yang sekaligus
kurir tersebut mempropagandakan pembangkangan terhadap Khalifah Ali.
Mereka menuntut
Ali bin Abi Thalib untuk mengungkap dan menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman
bin Affan. Apabila Ali tidak bisa mengungkapnya, maka Ali dianggap bersekongkol
dengan pemberontak dan melindungi pembunuh Utsman. Propaganda mereka diperkuat
dengan membawa jubah Utsman yang berlumuran darah dan potongan jari istri
Utsman yang putus akibat melindungi suaminya dari usaha pembunuhan.
Mu’awiyah berhasil
mempengaruhi massa yang kemudian mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu
menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka menganggap bahwa Ali
ikut terlibat dalam pemberontakan untuk mengguligkan Khalifah Utsman bin Affan.
Mu’awiyah
kemudian mengumpulkan pendukungnya dan mempersiapkan diri untuk memerangi Ali
bin Abi Thalib. Ia berhasil menarik simpati penduduk Syria, dan merekrut
tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash dengan tawaran jabatan yang strategis.
Melihat kondisi
ini Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim utusan Jarir bin Abdullah ke Damaskus
untuk memperingatkan Mu’awiyah, dan ancaman Khalifah akan mengirim pasukan
untuk menggempur Mu’awiyah bila tetap membangkang. Akan tetapi Mu’awiyah malah
mengkonsolidasikan pasukannya dan berniat memerangi Ali bin Abi Thalib. Mereka
berpendapat tidak akan melakukan baiat sebelum Ali berhasil menuntaskan kasus
pembunuhan terhadap Utsman. Bila tidak, maka bukan baiat yang terjadi melainkan
perang.
Setelah
Khalifah Ali mendengarkan informasi yang dibawa oleh Jarir sekembalinya
menghadap Khalifah, maka menurut Ali tidak ada pilihan lain kecuali
memberangkatkan pasukan untuk memerangi Mu’awiyah gubernur Syam yang
membangkang. Kedua pasukan ini bertemu di lembah sungai Eufrat yang bernama
Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berperang dan saling berusaha
mengalahkan lawan masing-masing. Dan karena nama tempat inilah, sehingga perang
antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dikenal
dengan nama perang Shiffin.
Pertempuran
sesama pemimpin Islam ini berlangsung sangat sengit. Kedua pasukan mempunyai
kekuatan yang berimbang, tetapi pada hari-hari berikutnya pasukan Mu’awiyah
mulai terdesak. Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah
mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang
menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah
ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan.
Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu
muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.
Ali bin Abi
Thalib meyerukan untuk terus melanjutkan peperangan sampai dapat mengalahkan
Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian pasukan Ali mulai menghentikan peperangan,
mereka ingin perselisihan ini diselesaikan lewat perdamaian dengan Al Qur’an
sebagai tahkimnya. Dan sebagian yang lain tetap ingin melanjutkan peperangan,
sebab kemenangan sudah ada dipihaknya dan mereka menganggap upaya Amru bin Ash
itu hanya tipu muslihat. Melihat perpecahan pasukannya ini dan desakan untuk
menyelenggarakan tahkim, akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan dan
mengadakan tahkim.
Pertemuan untuk
menyelesaikan krisis antara Ali dan Mu’awiyah dilaksanakan di suatu tempat di
selatan Syria yang disebut dengan Daumatul Jandal. Pihak Ali diwakili oleh Abu
Musa Al Asy’ari seorang sahabat besar yang alim dan taqwa, tetapi ia bukan
politisi,dan tidak memiliki kekuatan dlm beragumentasi dan berdiplomasi.
Sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin Ash seorang politisi yang
licin, ahli strategi, dan mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat kuat.
Kemudian masing-masing pihak mengirimkan utusan sebagai saksi 400 orang.
Proses Berdirinya Daulah Bani Umayah Bagian 3 – End
Di dalam
perundingan kedua utusan sepakat, bahwa pangkal persoalan yang tengah melanda
umat Islam adalah soal pemimpin, oleh sebab itu cara yang terbaik adalah
menurunkan kedua pemimpin itu dan membentuk lembaga Syuro untuk menentukan
siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Kesepakatan ini kemudian dinyatakan
bersama-sama di muka umum. Untuk yang pertama Abu Musa Al Asy’ari menyampaikan,
bahwa untuk mengembalikan suasana kedamaian, maka Ali bin Abi Thalib diminta
turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada lembaga syura
yang akan memilih khalifah. Begitu juga Mu’awiyah diminta untuk meletakkan
jabatannya agar suasana menjadi aman dan damai. Tetapi ketika giliran Amru Bin
Ash menyampaikan, ia meminta agar Ali bin Abi Thalib mengundurkan diri dari
khalifah, sementara Mu’awiyah tidak perlu mengundurkan diri, karena ia hanya
sebagai gubernur bukan khalifah.
Pernyataan ini
ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, karena dianggap tidak adil dan merugikan
pihaknya. Para pengikut Ali menyadari bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya
amr bi Ash saja. Mereka banyak yang kecewa dari pelaksanaan tahkim itu. Mereka
menuntut keadilan, dan meminta pertanggung-jawaban orang-orang yang terlibat
dalam tahkim. Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai
oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka
disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib. Dengan demikian pasukan Khalifah menjadi terpecah dan lemah, sehingga
tidak mampu lagi mengalahkan pasukan Mu’awiyah.
Orang-orang yang
kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan
Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij,
artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
---
Setelah
peristiwa tahkim, kelompok Khawarij yang merasa tidak puas atas hasil
perundingan tersebut ingin menyelesaikan masalah konflik umat Islam ini dengan
caranya sendiri. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang terlibat dalam tahkim
telah keluar dari agama Islam, karena tidak bertahkim tidak menggunakan
AlQur’an. Mereka menyusun kekuatan dan merencanakan untuk membunuh Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash. Ketiga orang ini yang paling
bertanggung jawab atas adanya tahkim, mereka dianggap telah kafir dan berhak untuk
dibunuh.
Untuk membunuh
tiga orang itu, Abdurrahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Abi
Thalib, di Kufah. Al Hajjah bin Abdillah At Tamimi ditugasi membunuh Mu’awiyah
bin Abi Sufyan di Syiriya. Dan Amir bin Abu Bakr ditugasi ke Mesir untuk membunuh
Amr bin Ash. Akan tetapi hanya Abdurrahman bin Muljam yang berhasil
menyelesaikan tugasnya. Ia berhasil membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika
beliau sedang Shalat Shubuh 15 Ramadlan 40 H. Sementara dua utusan yang lain
gagal untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena ia sedang tidak keluar
shalat shubuh, dan satunya terbunuh lebih dahulu sebelum berhasil membunuh Amr
bin Ash.
Dengan
terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas pengikutnya sendiri ini,
maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak menentu, dan kekacauan semakin
meluas. Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi Thalib dan umat Islam di
Kufah, Bashrah dan Madinah melakukan baiat kepada Hasan bin Ali sebagai
khalifah menggantikan ayahnya. Baiat yang di pimpin oleh Qais bin Saad ini
bukan merupakan rekayasa, tetapi karena tidak ada pilihan lain saat itu. Umat
Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan tegar seperti ayahnya,
tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik dan shalih.
Pengangkatan
atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat persetujuan dari
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap sebagai
pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha merebut
kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa pendukung Hasan,
khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan yang besar,
sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat ayahnya. Kondisi
yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera menyusun pasukan
untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi
demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas mengusulkan kepada Hasan agar
melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang Mu’awiyah. Usul kedua tokoh
ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia memberangkatkan pasukan dengan
kekuatan 12000 tentara di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut. Pasukan Hasan
ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan terjadilah pertempuran di
Madain.
Mu’awiyah tidak hanya melakukan peperangan fisik, tetapi mereka menggunakan
perang urat syaraf (psy war) dengan
menyebarkan berbagai macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan.
Akibatnya pasukan Hasan terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka
ingin mengakhiri peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak
menyukai Hasan. Sehingga Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi
dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan di antara mereka.
Hasan bin Ali
mengirim utusan Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian. Hasan bersedia
menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan, antara lain
menyerahkan harta baitul Maal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan
yang dilakukannya. Dan pihak Mu’awiyah tidak mencaci maki bapaknya dan
keluarganya lagi. Muawiyah juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap
para ahli Madinah, Kufah dan Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka.
Dan yang paling penting permintaan Hasan adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi
Khalifah, kekhalifahan harus diserahkan kepada Umat Islam melalui pemilihan
umum.
Semua
permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian keduanya bertemu di
salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk mengadakan serah terima
kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah.
Hasan kemudian meminta para pendukungnya untuk melakukan baiat kepada Mu’awiyah
sebagai Khalifah umat Islam. Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak
semua pendukung Hasan bersedia melakukan bai’at, khususnya ahli Bashrah.
Mu’awiyah terus mempropagandakan dirinya untuk mendapatkan pengakuan sebagai
khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan sudah menyerahkan kekhalifahan
kepadanya.
Peristiwa yang
terjadi pada tahun 41 H/661 M. ini dikenal dengan nama Amul Jamaah, artinya,
tahun di mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpinan. Jabatan
tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah bin
Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan
cara paksa atau tidak, dan terlepas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan
akan dipenuhi oleh Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang
oleh Mu’awiyah, dan sudah tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan
menentangnya.
Umat Islam
mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri (41 – 132 H/661 – 750
M.) Tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin
berubah dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang dilakukan oleh
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para khalifah penggantinya. Daulah Bani Umayah berkuasa
selama 90 tahun dengan empat belas khalifah, yaitu :
* Mu’awiyah bin
Abi Sufyan (41 – 60 H / 661 – 680 M)
* Yazid bin
Mu’awiyah (60 – 64 H / 680 – 683 M)
* Mu’awiyah bin
Yazid (64 H / 683 M)
* Marwan bin
Hakam (64 – 65 H / 683 – 685 M)
* Abdul Malik
bin Marwan (65 – 86 H. / 685 – 705 M)
* Walid bin
Abdul Malik ( 86 -96 H / 705 – 715 M )
* Sulaiman bin
Abdul Malik ( 96 – 99 H / 715 – 717 M )
* Umar bin
Abdul Aziz ( 99 – 101 H / 717 – 720 M )
* Yazid bin
Abdul Malik (101 – 105 H / 720 – 724 M )
* Hisyam bin
Abdul Malik (105 – 125 H / 724 – 743 M )
* Walid bin
Yazid ( 125 – 126 H / 743 – 744 M )
* Yazid bin
Walid ( 126 – 127 H / 744 M )
* Ibrahim bin
Walid ( 127 H / 744 – 745 M )
* Marwan bin
Muhammad (127 -132 H / 745 – 750 M )