Ahli Pertambangan: Tidak Boleh Ada Istilah Merintangi, Ketika Ada Pihak Menyerobot IUP
The Jambi Times, JAKARTA | Sidang dugaan kriminalisasi terhadap dua karyawan PT. Wana Kencana Mineral (WKM), Awwab Hafidz (Kepala Teknik Tambang/KTT PT.
WKM) dan Marsel Bialembang (Mining Surveyor PT. WKM), kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Rabu (29/10/2025).
Dalam sidang kali ini, Majelis Hakim mendengarkan keterangan dari dua saksi, yakni, saksi ahli pertambangan, Prof. Dr. Abrar Saleng (Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin/Unhas) dan saksi fakta, Budi Pramono (Manajer Eksternal PT. WKM).
Menurut Koordinator Tim Kuasa Hukum Awwab dan Marsel, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., mengatakan, keterangan kedua saksi di persidangan, semakin menguatkan posisi hukum kedua kliennya, sebagai pihak yang tidak tepat dijadikan terdakwa.
Dalam sidang, Abrar dengan tegas mengatakan, dalam dunia pertambangan, seorang Kepala Teknik Tambang (KTT) bertanggung jawab dan berkewajiban penuh
untuk menjaga wilayah pertambangannya, sesuai Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaannya, dari segala bentuk penyerobotan dan illegal mining.
“KTT bertanggung jawab menjaga wilayahnya sesuai IUP. Tidak ada istilah KTT menghalangi atau merintangi pelaku penyerobotan tambang,” ujar Abrar.
Seperti diketahui, KTT PT. WKM, Awwab Hafidz, dijadikan tersangka berdasarkan laporan dari Hari Aryanto Dharma Putra, selaku Direktur PT. Position,
ke Bareskrim Polri. Awwab dan Marsel dijerat dengan Pasal 162 Jo Pasal 70, Jo Pasal 86F huruf b, Jo Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan/atau tindak pidana kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) Huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Dituduh telah memasang patok di area IUP milik PT. WKM sendiri, padahal pemasangan patok dilakukan, karena mereka hendak melakukan pengamanan di lokasi IUP PT. WKM sendiri. Tujuan pemasangan patok untuk mengamankan lokasinya, dari penyerobotan lahan oleh PT. Position, yang melakukan penambangan liar nikel. Jadi yang seharusnya dipidanakan dan dijadikan tersangka itu PT. Position karena melakukan penambangan liar nikel, dan bukan klien kami,” ujar Kaligis.
Dijelaskan Abrar, penerapan Pasal 162 Jo Pasal 70, Jo Pasal 86F huruf b, Jo Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terhadap kedua pekerja PT. WKM tersebut, sangat tidak tepat.
Ditambahkannya, pemasangan patok batas, oleh kedua terdakwa, justru merupakan tindakan sah untuk melindungi aset negara berupa nikel.
“Pemegang IUP yang sah berkewajiban untuk menjaga seluruh wilayah yang diberikan negara, termasuk menjaga mineral dan batubara yang ada dibawahnya, yang menjadi hak negara, yang menjadi kewenangan pemegang IUP. Dan yang kedua, tidak boleh pemegang IUP lain masuk ke dalam wilayah IUP orang lain, hanya berdasarkan kerjasama dengan pemegang izin kehutanan atau pemanfaatan hutan, karena izin pemanfaatan hutan itu, tidak diberikan kewenangan oleh negara untuk mensubtitusikan atau mengkerjasamakan dengan pihak manapun termasuk pemegang IUP yang lain,” tegas Abrar. Ditambahkannya, dalam satu wilayah IUP itu, hanya ada satu pemegang IUP, dan tidak boleh ada dua pemegang IUP di satu obyek, dan yang punya legal standing itu, adalah pemegang IUP yang sah.
Ditegaskannya, tidak ada sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pemegang IUP yang menjaga wilayahnya. “Tidak boleh ada istilah merintangi ketika ada pihak yang menyerobot wilayah IUPnya. Kalau pemegang izin yang sah, menjaga wilayahnya, lalu ada pemegang izin usaha lainnya, menyerobot, itu bukanmerintangi, malah diperintah oleh undang-undang, bahwa pemegan izin yang sah, untuk menghalau setiap upaya penyerobotan,” tukas Abrar.
Ditambahkannya, mengacu pada Pasal 15 Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, bahwa kegiatan pertambangan meliputi pembukaan lahan, penggalian bijih, dan pengangkutan. Dan dalam pengamatannya, kegiatan yang dipersoalkan dalam perkara ini lebih menyerupai penambangan ilegal ketimbang pembuatan jalan.
“Masuk saja tanpa izin ke konsesi yang sah sudah tidak dibenarkan, apalagi membuka akses dan melakukan penggalian,” tukasnya.
Usai persidangan, Kaligis menduga ada indikasi illegal mining yang disamarkan sebagai pembangunan akses jalan. “Di dunia tambang, ini biasa terjadi.
Dalihnya kerja sama bikin jalan, tapi faktanya pencurian nikel. Dari bukti-bukti persidangan, termasuk foto-foto yang kami tampilkan, jelas sekali ini bukan jalan, melainkan aktivitas tambang,” ujar Kaligis.
Adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang didalilkan pihak pelapor, diduga hanya dijadikan pintu masuk untuk melakukan penambangan ilegal di wilayah yang bukan konsesi mereka. “Kesimpulan dari saksi ahli jelas, ini bisa jadi modus ilegal mining. Jadi seolah-olah buka jalan, tapi kenyataannya itu sarana untuk mencuri nikel,” tegas Kaligis.
Pihaknya juga menyayangkan kenapa Dirut PT. WKS yang mengikat PKS dengan pihak pelapor, tidak pernah hadir di muka persidangan. “Ini sudah kelima kalinya tidak hadir. Surat keterangan sakit yang diajukan pun bukan dari dokter kejaksaan, melainkan dokter umum. Kami meminta majelis hakim mengambil langkah tegas dengan pemanggilan paksa sesuai Pasal 224 KUHP,” tegas Kaligis.
Adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang didalilkan pihak pelapor, diduga hanya dijadikan pintu masuk untuk melakukan penambangan ilegal di wilayah yang bukan konsesi mereka. “Kesimpulan dari saksi ahli jelas, ini bisa jadi modus ilegal mining. Jadi seolah-olah buka jalan, tapi kenyataannya itu sarana untuk mencuri nikel,” tegas Kaligis.
Pihaknya juga menyayangkan kenapa Dirut PT. WKS yang mengikat PKS dengan pihak pelapor, tidak pernah hadir di muka persidangan. “Ini sudah kelima kalinya tidak hadir. Surat keterangan sakit yang diajukan pun bukan dari dokter kejaksaan, melainkan dokter umum. Kami meminta majelis hakim mengambil langkah tegas dengan pemanggilan paksa sesuai Pasal 224 KUHP,” tegas Kaligis.
Ketidakhadiran Dirut PT WKS, menunjukkan adanya kejanggalan dalam kasus yang bermula dari PKS antara PT. WKS dan PT. Position untuk pertambangan di wilayah Halmahera Timur (Haltim) tersebut. “Perjanjian ini antara para pihak. Kalau PT. WKS tidak dihadirkan, bagaimana kita bisa mengetahui isi dan maksud kerja sama yang sebenarnya? Ini membuat proses hukum menjadi pincang,” tukas Kaligis menutup pembicaraan. (***)

