Sejak Usaha Madu Warga Desa Makin Anti Dengan Karhutla
The Jambi Times, MUAROJAMBI | Kadir (43) Warga Desa Danau Lamo Kecamatan Marosebo Kabupaten Muaro Jambi tampak Sumringah sesaat kembali dari lokasi ternak lebahnya.
Dia mengungkap sejak menjalani usaha madu warga disini semakin anti dengan Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan makin peduli dengan kelestarian alam serta ada alternatif ekonomi yang mencerahkan untuk situasi saat ini.
“Apolagi sejak corona ini permintaan madu makin bagus berapo ado dibeli samo penampung dan hargo disini 60 ribu sekilonyo” Kadir menjelaskan saat ditemui di rumahnya yang berada dipinggir jalan Jambi - Sabak, Sabtu (18/4/2020).
Menurut pengurus kelompok tani pantang mundur ini selama enam bulan terakhir perkembangan usaha madu di desanya sangat pesat.
Sebab dari yang awalnya 30 kotak sekarang nyaris tiga ribu kotak.
Pelibatan terhadap masyarakat juga terus meningkat yang mana jika dipersentasekan mencapai 30-40 persen.
Hal ini menurutnya tidak lepas dari hasil yang diperoleh dari usaha ini karena satu kotaknya bisa menghasilkan 1-2 kg madu dalam wakti 10-13 hari sehingga dalam sebulan bisa panen 2-3 kali.
Dia sendiri baru terlibat usaha ini satu bulan terakhir karena untuk memulai usaha ini perlu melihat-lihat perkembangan dulu.
Kemudian yang tidak kalah penting yaitu kesiapan modal dan lokasi yang memadai.
“Hargo modalnyo memang mahal. Satu kotak yang sudah ado isi lebah 2 - 2.5 juta rupiah. Macam sayo yang idak punyo modal tepakso gadai kebun baru biso punyo 20 kotak dan dari situlah beguyur untuk bayar bank,” Kadir memaparkan.
Ia menjelaskan lebah madu di desa ini adalah lebah jenis Milipera.
Sebelumnya warga di desa ini ada juga mencari madu hingga ke lahan akasia PT WKS tapi jenis lebah itu menurutnya jenis lebah Cerana.
Lebah Cerana pernah juga diusahakan untuk ternak tapi gagal karena kabur dari kotak sehingga sulit untuk dikembangkan.
Sebaliknya rombongan lebah Milipera yang biasa disebut kroni ini bisa bertahan dan berkembang pesat.
Untuk pakannya mereka mencari makan sendiri pada bunga alam dan memakan sari yang ada di ketiak daun akasia.
“Di bungo-bungo sawit itu banyak jugo dio cari makan tapi kayaknyo lebih suko makan ketiak daun akasia. Jadi jenis milipera ini kotaknyo memang harus dekat dengan akasia dekat sawit tapi kalu biso diantaro itu.”ujarnya.
Dirinya tidak menampik wilayah desanya kerap terdampak kabut asap saat musim kemarau karena merupakan hamparan gambut dan sejak 2004 sebagian besar sudah digarap PT WKS untuk budidaya Hutan Tanaman Industri (HTI).
Sejak 2004 itu pula menurutnya konflik lahan warga di desanya dengan PT WKS seluas 3800 hektar masih berlangsung.
Ismail, Kepala desa Danau Lamo saat ditemui membenarkan konflik lahan dan dampak kabut asap di desa mereka hingga meliburkan anak-anak sekolah.
Menurut kades sekaligus pelopor usaha madu di desa ini, Saat karhutla mereka kerap melihat banyak sekali aparat dan orang-orang perusahaan yang melintas di desa mereka.
'Kalu yang terbakar di desa kami itu dikit dan itupun dipinggir jalan mungkin kerno orang pas lewat buang rokok basing bae," Kata Ismail.
Masyarakat disini menurutnya sewaktu terjadi karhutla biasa-biasa saja namun ketika ada lahan di desanya tebakar siapa yang punya lahan itu wajib memadaminya.
Saat disinggung apakah di desa mereka ada sumur bor hingga embung dirinya menjawab tidak.
Jawaban yang sama juga diutarakan saat dirinya ditanya apakah mengenal dan mengetahui badan restorasi gambut (BRG).
"Dak tau. Dulu, ceritonyo ado nak buat keramba ikan tapi dak jadi dan sejak itu pulak dakdo muncul lagi" ujar Ismail.
Kembali kepada Kadir. Menurutnya yang namanya lebah memang sangat takut dengan asap apalagi kebakaran hutan dan lahan sehingga asap dan karhutla menjadi musuh bersama.
"Sejak masyarakat disini punyo usaha madu otomatis kami jugo menjago kelestarian alam dan anti dengan karhutla. Jangankan musim kemarau pas ujan mendung nian kito dak basing lagi buat api dan buang puntung rokok,' Tegas Pengurus Kelompok Tani Pantang Mundur itu.(w)