News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Asal Usul Raja Arab Saudi

Asal Usul Raja Arab Saudi

Salman bin Abdulaziz al-Saud

KERAJAAN Arab Saudi didirikan pada tahun 1932, ada dua tokoh besar yang sangat berperan penting dalam mendirikan Kerajaan Arab Saudi. 

Dua tokoh ini lahir dari latar belakang yang berbeda namun satu Provinsi di Riyab di Negara Arab Saudi. Negara Arab Saudi ini sendiri terdiri dari 13 Provinsi:

Bahah,.Hududusy syamaliyah, Jauf, Madinah, Qasim, Syarqiyah, ’Asir, Riyadh, Hail, Jizan, .Makkah, Najran, Tabuk

Dua tokoh besar yang berperan mendirikan Kerajaan Arab Saudi ini berasal dari satu kabupaten di Provinsi Riyadh.

Tokoh tersebut adalah  Muhammad bin Sa’ud, tokoh ini berasal dari kota Dir'iyah Provinsi Riyadh, dan dikenal sebagai Pangeran di Dir’iyah. 

Muhammad bin Sa’ud


Muhammad bin Sa’ud ini meninggal pada tahun 1765. Penulis belum menemukan riwayat perjalanan Pangeran Dir’iyah berdiri tahun berapa dan mengalami keruntuhan tahun berapa.Sepertinya ini dari kerjaan kecil di kabupaten tersebut.

Pada dasarnya jika kita lihat dari biografinya yang singkat ini, Muhammad bin Sa’ud pernah mendirikan aliansi pada tahun 1744 dengan berdasarkan syariat islam untuk memurnikan ajaran islam dari bidah.

Terbentuknya aliansi ini tidak terlepas dar ide cerdas seorang tokoh dan cendikiawan muslim dan ulama besar yaitu Muhammad bin Abdul Wahab

Muhammad bin Abdul Wahab.

Muhammad bin Sa’ud ini adalah salah satu tokoh dari kalangan ningrat sebagai pelopor mendirikan Negara Saudi Pertama.

Muhmmad bin Sa’ud ini juga mendirikan wangsa Saud atau Dynasty Saud untuk memberikan kekuatan keturunanya di daerah tersebut.Wangsa Saud atau Bani Saud ini di dirikan oleh Muhammad bin Saud pada tahun 1744.

Jika kita telusuri bahwa  wangsa dan Bani itu sepertinya ingin membuat kekuatan kerajaan secara besar di sepananjung jazirah Arab sehingga minta perlindungan dengan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Wangsa memiliki arti dinasti sedangkan Bani adalah memiliki arti jika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBS) maknanya  adalah: anak cucu atau keturunan. Dan jelas Bani Saud itu adalah sekumpulan keturunan dari keluarga besar Saud.

Wangsa Saud atau Bani Saud memiliki nenek moyang dari Mani’bin Rabiah Al’ Muraidi yang juga menetap di Kota Dir’iyah pada tahun 1446-1447.

Mani’ bin Rabiah Al’ Muraidi adalah tokoh leluhur tertua yang diperkirakan berasal dari beberapa keturunan seperti Kabilah Bani Bakr bin Wail dan Rabiah dari Adnan

Sedangkan Bani Hanifiah ini salah satu suku Arab lama yang terkenal dengan memiliki mata pencarianyan sebagai petani dan perkebunan. Bani Hanifiah juga salah satu suku yang berpengaruh di sepenanjung jazirah Arab pada masa sebelum tersebarnya agama islam.

Kota utama mereka (Bani Hanifiah) adalah Al Hajr, Al Hajr atau  juga disebut Hegra atau kota Mad’in Salih terletak di Provinsi Madinah, 

Saat itu sebagai pusat perdagangan dengan penduduk yang besar dan perekonomian yang besar pula. Mad’in Salih meruapak kota Nabatea wilayah situs yang terkenal pada peninggalan kerajaan Nabatea dari Abad ke 1 Masehi. Kerajaan Nabatea itu sebuah negara Bangsa Arab Nabatea pada Zaman kuno.

Nabatea berdiri sebagai sebuah kerajaan merdeka sejak Abad ke-4 Masehi sampai dianeksasi oleh Kekaisaran Romawi pada 106 SM. Bangsa Romawi mengganti nama Nabatea menjadi Arabia Petrea.

Soal keberadaan Kabilah Bani Bakr bin Wail, penulis belum menemukan asal usulnya, sedangkan Rabi’ah juga belum ditemukan asal usulnya namun jika Bani Rabi’ah itu dari keturunan Adnan maka bisa di telusuri bahwa Adnan itu juga nenek moyang bangsa Arab yang disebut Bani Adnan.

Secara silsilah, Adnan merupakan keturunan Nabi Ismail dari kakek moyang keduapuluh dari Nabi Muhmmad.Tapi sayangnya Rabi’ah dari Adnan ini belum juga ditemukan keturunan dari mana sebenarnyanya dan dari suku apa?

Yang jelas Mani' bin Rabi'ah Al-Muraidi ini mereka adalah golongan bangsa Arab Utara dengan tempat tinggal asalnya adalah di Desa Ad-Duru', sebuah desa dekat Kota Al-Qatif di pesisir pantai Arabia Timur

Qatif atau Al-Qatif adalah sebuah kegubernuran di Arab Saudi yang berlokasi di Provinsi Asy-Syarqiyah, Arab Saudi.

Tokoh satunya lagi yang mendirikan negara Saudi Pertama adalah Muhammad bin Abdul Wahhab.Tokoh ini adalah seorang ahli teologi (ilmu agama) dan pemimpin gerakan keagamaan dan pernah mejabat sebagai Mufti Daulah Su’udiyyah kalau di Indonesia sekelas MUI yang pekerjaanya membuat Fatwa. Daulah Su’udiyyah ini yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. 

Dengan gelar Syeikh, Muhammad bin ʿAbd Al-Wahhāb dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang. 

Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya, jika tidak salah pekerjaan ayahnya adalah seorang hakim di Kabupaten Huraimila Provinsi Riyadh.

Syeikh Muhammad bin ʿAbd Al-Wahhāb lahir di Najd pada tahun 1703 dan meninggal pada 22 Juni 1792, di usia sekitar 88 atau 89 tahun dan di makamkan  di Kabupaten Dari’iyah Provinsi Riyadh.

Tanah kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah di Najd, Najd itu ada Kesultanan yang bernama  Kesultanan Najd dibawah kekuasan Dinasty Saud. 

Dan Muhammad bin Abdul Wahhad ini dari aliran islam Sunni. Namun dirinya menjadi kontroversi karena dihubung - hubungkan  dengan aliran Wahabi.

Atas dasar Ideologi Muhammad Abdul Wahhab inilah berdirinya Negara Saudi Pertama pada tahun 1744-1818 dengan nama Negara Saudi Pertama Ad-Daulah As-Su'udiyah Al-Ula saat itu ibu kotanya di Kabupaten  Diri’iyah dengan bentuk pemerintahannya adalah Monarki.

Tapi sepertinya Pemerintah Negara Saudi Pertama dipimpin dari keturunan Muhammad bin Saud sejak 1744-1765 hingga di pimpin dari keturunan Muhammad bin Saud yaitu Abdullah bin Sau’d  pada tahun 1814-1818.

Negara Saudi Kedua bernama  Al-Dawla Al-Su'odiyah Al-Thaniyah 1818-1891 beribukota di Riyadh persisnya diawal abad 19 ketika itu masih dibawah kekuasaan Bani Saud  yang sedang mengalami restorasi di Arab Tengah dan Timur setelah sebelumnya dijatuhkan oleh Invasi Utsmaniyah-Mesir Tahun 1818.

Pada tahun 1818 hingga 1891 mengalami pertempuran untuk menaklukan Riyadh, pertempuran itu antara Mulayda melawan Al Rashid, Namun penulis belum mendapatkan informasi jelas soal sejarah Mulayda dan Al Rashid yang ingin menguasi Riyadh itu. 

Dari suku mana Mulayda dan Al Rashid ini sehingga ingin mencoba menguasai Riyadh saat itu.

Selama 73 tahun berdirinya Negara Saudi Kedua ini juga tidak ditemukan siapa yang memimpin pemerintah. 

Berdasarkan data dan fakta sejarah singkat Negara Saudi Kedua masih di kuasai dari Bani Sau’d.

Muhammad bin Sa’ud dan Syeikh Muhammad bin Abd Al-Wahhāb, sosok dua tokoh inilah yang mendirikan Kerajaan Arab Saudi. 

Mereka berdua ini tinggal di satu kabupaten yang sama dan provinsi yang sama pula yaitu dari Provinsi Riyadh.

Pada tahun 1902 ada gerakan kampaye militer dan politik dimana berbagai suku, semua pimpinan besar melakukan unifikasi Arab Saudi atau penyatuan Arab Saudi disemenanjung  Arab.

Dari tahun 1902 hingga 1925 Dinasti Saud mengambil alih bagian tengah dan utara Semenanjung Arab. 

Pada tahun itu juga ada peristiwa besar yaitu berakhirnya Negara Rasyidi dan Kerajaan Hijaz dan berakhirnya kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah di Semenanjung Arab.

Pada tahun 1932 barulah Kerajaan Arab Saudi di proklamasikan dan berdirilah Kerajaan Arab SaudI dengan nama Al-Mamlakah al-'Arabiyah as-Sa;udiyah. 

Langkah penyatuan ini berada di bawah kepemimpinan Sultan Nejd saat itu, Abdul Aziz As-Saud atau Ibnu Saud sebagai Raja Pertama.

Kesultanan Nejd adalah sebuah negara yang merupakan hasil transformasi dari Keamiran Riyadh setelah Amir Abdul Aziz bin Saud menyatakan dirinya sebagai Sultan Nejd pada tahun 1921. 

Pada tahun 1926, Kesultanan Nejd memperluas wilayahnya dan menaklukan Kerajaan Hijaz, sehingga Kerajaan Nejd dan Hijaz didirikan, dan Abdul Aziz bin Saud menjadi rajanya.

Kerajaan Hijaz adalah negara yang terletak di wilayah Hijaz dan dikuasai oleh Wangsa Hashim

Bani Hasyim (bahasa Arab: بنو هاشم, Banu Hasyim) adalah salah satu klan dalam suku Quraisy yang merujuk kepada Hasyim bin Abdul Manaf. Hasyim adalah ayah dari kakek Nabi Muhammad.

Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulṭān) adalah gelar dalam dunia Muslim yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam sepanjang sejarah penggunaannya. 

Namun seringnya, sultan digunakan untuk mengacu pada kepala monarki Muslim yang berkuasa atas sebuah negara Islam.

Bani Hasyim (bahasa Arab: بنو هاشم, Banu Hasyim) adalah salah satu klan dalam suku Quraisy yang merujuk kepada Hasyim bin Abdul Manaf. Hasyim adalah ayah dari kakek Nabi Muhammad

Raja Saudi sejak berdirinya pada tahun 1932 hingga sekarang yang dikuasi dari keturunan Muhammad bin Sau’d dan sudah tujuh orang raja dari keturunan Muhammad bin Sau’ud yang menjadi Raja Arab Saudi.

Sang ahli teolog, Muhammad bin Abdul Wahhab pelaku utama perintis Kerajaan Arab Saudi sepertinya tidak ada riwayat keturunanya yang memiliki jabatan tertinggi di Kerajaan Arab Saudi hingga sekarang.

Ada apa sebenarnya niat Muhammad bin Sau'd mengandeng  Muhammad bin Abdul Wahhab untuk mendirikan Kerajaan Arab?

Apakah Muhammad bin Abdul Wahhab ini seorang yang cerdas dan pintar sehingga Pangeran Diri’iyah  Muhammad bin Sa'ud merangkul untuk membentuk KERAJAAN.

Atau karena dari kalangan orang biasa  keturunan Muhammad bin Abdul Wahhad tidak dapat kesempatan menjadi Raja Arab Saudi sedangkan Muhammad bin Sau’d adalah seorang pangeran Diri’iyah dari kabupaten Diri’iyah Provinsi Riyadh. 

Kabupaten yang memiliki luas 2020 km2 dengan jumlah penduduk 45104 pada saat ini.

Saat ditelusuri sejarshnya sepertinya keturunan Kerajaan Arab Saudi ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan suku Quraisy. 

Suku Quraisy itu adalah suku bangsa Arab yang di sebut-sebut keturunan Nabi Ibrahim yang menetap dikota Mekah.

QS. Al Ahzab ayat 40: 

 kāna muḥammadun aba aḥadim mir rijālikum wa lākir rasụlallāhi wa khātaman-nabiyyīn, wa kānallāhu bikulli syai`in 'alīmā

Referensi: https://tafsirweb.com/7652-quran-surat-al-ahzab-ayat-40.htm

QS. Al Ahzab ayat 40: 
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".


Maksudnya bahwa jangan ada yang mengaku-ngaku keturunan Rasulullah dan inilah maksud ayat tersebut diatas!

"Islam awalnya datang dalam keadaan asing / aneh ( tak kenal ), dan ia kelak akan kembali terulang datang dalam keadaan asing/ aneh ( tak dikenal ) , maka beruntunglah orang-orang yang hidup dengan Islam yg aneh /asing itu." (HR.Muslim , 208).

Maksud Hadist diatas ini adalah: 


"Ada komunitas kecil, apakah itu di Indonesia atau di negara lain yang memiliki nilai gaya hidupnya  yang asing dan selalu disudutkan karena bertentangan dan aneh cara berpikirnya namun tidak memiliki organisasi, mereka ini yakini dengan organisasi tunggal yang diciptakan Allah yaitu "din'  yaitu "agama Islam " yang lain tidak ada. Faham dengan Al Qur'an dan Sunnah dan mendukung  Pemerintah dalam menjalankan tugas negara  ", ini menurut analisis penulis.


Asal-Usul Bangsa Arab

Para ulama Ahli Tarich telah sepakat bahwa Bangsa Arab itu terdiri atas tiga bagian yakni : 

1. Bangsa Arab Al-‘Arabah 
2. Bangsa Arab Al-‘Aribah dan yang ke 
3 Bangsa Arab Al-Musta’rabah.
P
Uraian singkat adalah sebagai berikut :

1. Bangsa Arab Al-‘Arabah disebut juga Arab Al-Baa’idah. Mereka itu Bangsa Arab yang pertama sekali atau yang asli. 

Mereka adalah keturunan dari Iram bin Sam bin Nuh. Mereka terdiri dari 9 bangsa yaitu 1. “Aad 2 Tsamud, 3 Amim 4 Amiel 5 Thasam 6 Jadies 7 Imlieq 8 Jurhum ulaa 9 Wabaar.
 
Bangsa Arab Al-Baidah ini adalah bangsa Arab yang tertua, yaitu sisa dari Bangsa Ad dan Tsamud yang tinggal di Babylon, oleh karena kufur mereka telah dihancurkan negerinya oleh Allah. 

Kemudian mereka pindah ke Jazirah Arab setelah terdesak dari keturunan Haam.....

2. Bangsa Arab Al-Aribah disebut pula Bangsa Arab Al-Muta’arribah. Mereka itu adalah bangsa Arab yang kedua dari keturunan Jurhum bin Qathan putra Aibir atau Aibar. 

Tempat tinggal mereka adalah Yaman sehingga mereka disebut juga dengan Arab Al-Yamaniyah. Menurut seorang ahli tarich, Aibar atau Aibir itu nama dari Nabi Hud. Mereka berdiam ditanah Hijaz.
 
Pada masa itu semua qabilah di tanah Yaman seluruhnya ada dibawah perintah kerajaan Thababi’ah. Sedangkan Thababi’ah itu adalah anak laki-laki dari Saba juga. 

Mereka bangsa Arab Al-Aaribah ini sangat kuat sehingga menaklukkan semua qabilah-qabilah lain termasuk bangsa Arab Al-Ba’idah yang telah tinggal di daerah hijaz. 

Pada tahun 120 sebelum Masehi kerajaan Yaman dilanda banjir besar sehingga kerajaan Yaman pecah menjadi tiga kerajaan

3. Bangsa Arab Al-Musta’rabah ialah bangsa Arab yang diwarganegarakan menjadi bangsa Arab dari kedatangan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ke kota Mekah bersama dengan pasukannya. 

Mereka inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan Bangsa Arab Ismailiyyah, yang menurunkan Adnan dan dari suku Adnaniyyun ini kemudian menurunkan Nabi Muhammad SAW.

Adapun asal mula mereka itu ialah dari keturunan Nabi Ismail putra Nabi Ibrahim, dan sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ahli sejarah bahwa Nabi Ibrahim itu bukan orang Arab tapi dari negeri Kan’an pindah ke negeri Mekah pusat tanah Hijaz.

Semua bangsa Arab baik yang keturunan dari Arab Al-Ba’idah atau Arab asli, maupun keturunan Arab Al-Muta’arribah serta bangsa Arab Ismailiyyah semuanya berbahasa Arab setelah terjadi asimilasi antara bahasa Arabiyyan yang dibawah oleh Nabi Ismail dengan bahasa Arab yang masih dipakai oleh orang-orang Arab Yamaniyyah.

Dengan bahasa Arab seperti itulah mereka berkomunikasi satu terhadap lainnya sampai pada suatu saat, Allah membangkitkan Nabi Muahmmad SAW dengan membawa Al-Qur’an


Quraisy itu adalah arab asli bukan musta'rabah. Muhammad bukan arab asli. sehingga bukan quraisy penentu sejarah Alquran yg dipentaskan rasul dalam peradaban. justru muhammad sebagai rasul yang menentukan Quraisy yang pecah belah itu..

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Makkah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. 

Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah lapuk.

Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian.Tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. 

Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, khawatir akan mendapat bencana. Kemudian Walid bin Mughirah tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah berdoa kepada dewa-dewanya, ia mulai merombak bagian sudut selatan.

Orang-orang kemudian menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap Al-Walid. 

Namun ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka pun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya.

Abu Umayyah bin Mughirah dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan demikian, ia berkata, "

Serahkanlah putusan ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru, 

"Ini Al-Amin, kami dapat menerima keputusannya."

Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Muhammad mendengarkan dan melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan. Ia berpikir sebentar, lalu berkata, 

"Kemarikan sehelai kain!"

Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian berkata, 

"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan.

 Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan
Rasulullah SAW adalah keturunan Nabi Ibrahim as, dari perkawinannya yang kedua Siti Hajar. Perkawinan ini mendapatkan putra, Nabi Ismail as.

Asal Usul Quraisy

Suku Quraisy adalah keturunan Fihr, yang dinamakan juga Quraisy, yang berarti saudagar. 

Ia hidup di abad 3 Masehi. Fihr adalah keturunan Ma’ad. Ma’ad adalah anak Adnan yang merupakan keturunan langsung dari Nabi Ismail as.

Qushay, salah seorang keturunan Fihr yang hidup di abad 5 Masehi, berhasil mempersatukan semua suku Quraisy, dan menguasai seluruh Hijaz, yaitu daerah selatan Jazirah Arab, yang di dalamnya terdapat kota Makkah, Madinah, Ta’if, dan Jeddah. 

Ia memperbaiki Ka’bah, mendirikan istana, menarik pajak, dan menyediakan makan serta air bagi peziarah Ka’bah yang datang setahun sekali. 

Tradisi ziarah ini sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji.. Qushai meninggal tahun 480 M. Posisinya digantikan putranya, Abdud Dar.

Muhammad datang bukan untuk  menegakkan kesukuan justru untuk mempersatukan suku-suku dan bangsa-suku yang pecah belah, kesukuan itulah primordialisme akar perpecahan..fihr adalah penegak suku, tapi Muhammad adalah pendamai suku-suku dan bangsa-bangsa.


 Muhammad Pernah Menjadi Sekjen (?)


Para ahli sejarah tidak pernah mengungkapkan alasan ilmiah mengapa Muhammad mendapat julukan “Al-Amin” dari masyarakat Arab di kota Makkah.


Mereka cuma mengatakan bahwa julukan itu diberi kan sebagai kehormatan karena ia merupakan pemuda “yang dapat di percaya”, karena ia sangat jujur.


Tapi sejujur apa pun, bila ia bukan orang penting dalam masyarakat, kejujurannya tentu tidak akan menjadi demikian populer.


Di Indonesia, misalnya, tentu cukup banyak orang yang “bersih”, tapi yang (pernah) mendapat julukan Mr. Clean ternyata cuma Mar’ie Muhammad. Mengapa?


Tentu karena ia waktu itu seorang pejabat salah satu menteri keuangan pada masaSuharto, yang kebetulan memiliki kelebihan sebagai “orang bersih” (jujur) dibandingkan dengan para pejabat lain yang, setidaknya, patut di curigai terlibat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).


Bila Mar’ie Muhammad hanya orang biasa, apalagi cuma tinggal di kampung, julukan sebagai Mr. Clean pasti tidak akan pernah terdengar. Jadi, ada kemungkinan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul adalah orang yang memegang suatu jabatan penting dalam sistem pemerintahan yang berlaku di Makkah pada waktu itu.Tapi apakah di Makkah pada masa itu sudah ada sistem pemerintahan seperti sekarang.


H. Rosihan Anwar menulis dalam buku Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk Anda:


… “Kalau keadaan Mekah hendak dibicarakan, maka biarlah saya mmengutip keterangan Prof. Gibb yang melukiskan Mekah bukan sebagai dusun yang terpencil dan mengantuk, melainkan sebagai kota dagang yang ramai dan makmur, yang hampir memonopoli pusatperda gangan antara Lautan India dan Lautan Tengah. Mekah di zaman Nabi merupakan satu “kota-negara” atau city state seperti yang terdapat di zaman Yunani purbakala, kota-negara Athena misalnya.


Ada pula yang mengatakan, Mekah di waktu itu suatu “commercial republic” atau “republik yang hidup dari perniagaan”. Di sam ping itu Mekah juga merupakan pusat keagamaan yang dibangunkan se kitar Ka’ba. Ia menarik banyak jemaah, yang berdatangan memuja ber hala-berhala yang terdapat dalam Ka’ba di masa itu.”



… Mekah di masa itu tidak terkebelakang adanya. Pemimpinya dan penguasanya orang-orang yang pandai memerintah, berpe-ngalaman dalam kontak dengan lain-lain bangsa seperti dengan Rumawi, Persia, dan lain-lain.”


Para ahli sejarah umumnya mengakui bahwa di Makkah pada waktu itu (sudah) ada semacam lembaga permusyawarahan yang disebut Darun-Nadwah. Di situ dirundingkan segala urusan yang menyangkut kepentingan umum. Mungkin dari lembaga inilah lahir sepuluh orang yang disebut syarïf, yang masing-masing memegang jabatan penting dalam negara-kota tersebut. Dalam buku Api Islam karangan Syed Ameer Ali jabatan yang mereka pegang itu disebutkan secara rinci:

1. Hijabah, penjaga kunci-kunci Ka’bah, suatu jabatan keagamaan yang penting. Pertama dipegang oleh keluarga Abdud-Dar. Ketika warga Makah masuk Islam jabatan ini di-pegang oleh Usman, putra Talhah.
2. Sikayah, pengawas mata air Zamzam. Semula dipegang keluarga Hasyim, dan pada waktu Mekah ditaklukkan dipegang Abbas, paman Rasulullah.
3. Diyat, hakim sipil dan kriminal, yang lama dipegang oleh keluarga Taim bin Murrah, dan pada waktu Mekah ditaklukkan dipegang oleh Abdullah bin Kuhafah alias Abu Bakar.
4. Sifarah, duta, yaitu jabatan yang dipegang oleh kuasa usaha negara, yang berkuasa membicarakan dan menyelesaikan perselisi han antar kabilah maupun sesama suku Quraisy, juga perselisihan dengan orang asing. Jabatan ini pernah dipegang Umar.
5. Liwa, pemegang panji (bendera) kebangsaan, alias kepala seluruh angkatan bersenjata. Pemegangnya waktu itu keluarga Umayyah, yaitu Abu Sufyan bin Harb.
6. Rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin, musafir, penziarah, dsb. Pernah dipegang Abdul-Muthalib, kemudian Abu Thalib, dan setelah dia jatuh ke tangan keluarga Naufal, putra Abdul-Manaf, dan di masa Rasulullah dipegang Harits, putra Amar.
7. Nadwah, ketua dewan nasional, yaitu penasihat pertama Negara, yang menginstruksikan semua pekerjaan umum. Pada masa Rasulul lah jabatan ini dipegang Aswad, dari keluarga Abdul-Uzza, putra Kussai.
8. Khaimmah, pengurus balai musyawarah, yang berhak memanggil para pejabat untuk bermusyawarah, memerintahkan tentara untuk siaga perang. Jabatan ini pernah dipegang Khalid bin Walid dari keluarga Yakhzum putra Marra.
9. Khazina, administratur keuangan negara. Dipegang oleh keluarga Hasan bin Kaab yaitu Harits bin Qais.
10. Azlam, (jamak dari zalam), penjaga panah peramal (undian) untuk mengetahui pendapat para dewa/dewi. Pejabatnya adalah Safwan, saudara Abu Sufyan.
 




Selain dari yang tersebut itu, anggota yang tertua mempunyai pengaruh terbesar, dan gelarnya adalah Ra’is atau Sayyid. Abbas paman Rasulullah pernah mendapatkan kedudukan ini.


Muhammad bin Abdullah memang tidak tercatat sebagai salah seorang dari kesepuluh Syarif itu, mungkin karena waktu itu usia nya masih sangat muda. Tapi bila mengingat nama baiknya, kemung kinan itu niscaya sangat terbuka baginya. Bukankah ketika para pembesar Quraisy mulai dipusingkan oleh kegiatan da’wahMuhammad mereka juga menawarkan jabatan raja kepadanya?


Tawaran dari para elit Quraisy itu diusulkan dan kemudian diajukan sendiri oleh ‘Utbah bin Rabi’ah:


“Kalau kau mau uang, kami akan kumpulkan kekayaan supaya kau menjadi yang palingkaya di antara kami. Kalau menghendaki kekuasaan, kami akan angkat kau sebagai ketua suku, sehingga tak akan ada yang diputuskan tanpa ikut sertanya kau. Kalau mau kekuasaan, kami akan angkat kau men jadi raja. …”


Namun bila peristiwa ini dicatat dengan penuh gairah oleh para ahli sejarah, ada peristiwa lain yang tak kalah penting yang justru mereka abaikan. Misalnya keterlibatan Muhammad dalam organisasi yang bernama Hilful-fudhul. Ini dikatakan Fuad Hashem sebagai koalisi, dan Barakat Muhammad menyebutnyaconfederation.


 Menurut Fuah Hashem hilful-fudhul lahir karena ulah ‘Ash bin Wail (ayah panglima perang dan politisi ‘Amr bin ‘Ash) yang tidak mau membayar utang seorang Yaman. Tapi Haekal mengungkapkan bahwa pe nyebabnya adalah Perang Fijar.


Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan ‘Abdu’l-Muttalib wafat, dan masing -masing pihak berkeras mau jadi yang berkuasa.


Kalau tadinya orang -orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin ‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan,dihadiri oleh keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan ber janji atas nama Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai orang itu tertolong.


Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut Hilf’l-Fudzul. …

Kata Haekal pula, sejarah tidak tidak memberikan kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat tahun (tapi dalam setahun cuma bebe rapa hari). Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.


Tapi yang perlu diperhatikan disini adalah kehadiran Mu­hammad dalam pertemuan di rumah Abdullah bin Jud’an itu. Mengapa dia bisa ada di situ, dalam usia semuda itu, ditengah pertemuan para tokoh itu?


Bila mengingat uraian Haekal yang menyebutkan betapa pentingnya peran Abdul Muthalib dalam mempersatukan bangsa Arab, bisa jadi Muhammad dihadirkan dalam pertemuan itu karena ia cucu Abdul Muthalib. Tapi alasan ini kurang bisa diterima; karena pertemuan itu diadakan sehubungan dengan persoalan besar yang mereka hadapi. Alasan yang paling logis untuk mengundang seseorang dalam pertemuan tersebut adalah pertimbangan bahwa orang itu akan dapat memberikan sumbangan positif, baik karena pengaruhnya dalam ma syarakat maupun karena hal-hal lain, misalnya kecerdasannya.


Para ahli sejarah sepakat menyebut Muhammad sebagai orang yangcerdas, jujur, dan bijaksana. Bila statusnya sebagai cucu Abdul Muthalib dan keponakan Abu Thalib yang juga berpengaruh, dipadukan dengan ketiga hal tersebut, maka jelas kehadirannya da lam per-temuan itu bukan semata-mata karena alasan berbau nepotis me, tapi karena kebutuhan yang nyata. Pendek kata, Muhammad hadir dalam pertemuan itu karena mereka menganggap ia bisa berperan banyak dalam Hilful-Fudhul ter-sebut. Bisa jadi nama Muhammad menja di ter-kenal karena perannya dalam organisasi ini.


Bukan mustahil pula bila dalam organisasi ini Muhammad dipercaya memegang kedu dukan sebagai sekretaris. Sekretaris dalam bahasa Arab adalah al -amïn!


Selain itu, benarkah Muhammad tidak pernah mempunyai salah satu jabatan dalam sistem pemerintahan di Makkah? Bila Abu Bakar sendiri pernah memegang jabatan hakim sipil dan kriminal (diyat), apakah Muhammad tak pernah menduduki salah satu jabatan (yang mungkin tidak termasuk “sepuluh besar” tersebut)?


Haekal menyebut bahwa Abu Bakar bin Abi Quhafah dari kabilah Taim adalah teman akrab Muhammad. Ia senang sekali kepadanya, karena sudah diketahuinya benar ia sebagai orang bersih, jujur dan dapat dipercaya.


Dari mana, atau dengan cara apa, Abu Bakar mengetahui sifat-sifat Muhammad itu? Bila dikatakan sahabat akrab, apakah mereka itu teman bermain, berdagang, atau justru ‘teman sekantor’?


Ini (bahwa Muhammad seorang sekretaris) memang baru asumsi; yang tentu sangat mengecewakan mere ka yang kadung menobatkan Muhammad sebagai orang buta huruf.


Tapi bila asumsi ini benar, maka penobatan Muhammad sebagai orang buta huruf itu adalah sebuah lelucon, atau malahpenghinaan. Atau mungkin hanya sekadar penilaian yang tidak semestinya (underesti mate).


 Bukankah orang-orang Quraisy itu para sastrawan hebat, yangpunya tradisi menggantung syair-syair mereka pada dinding Ka’bah?


BukankahMuhammad itu cucu Abdul Muthalib yang sangat terhormat?


Konon ketika Abdul Muthalib melakukan undian untuk memastikan siapa di antara anak-anaknya yangharus dikorbankan untuk dewanya, ia menyuruh kesepuluh anaknya untuk menulis nama masing-masing.

 Bila anak-anaknya tidak buta huruf, apakah ia akan mebiarkan cucu kesayangannya buta huruf?


Dalam masalah ini kebanyakan ahli sejarah memang bersikap kurang logis, atau malah sengaja menggunakan logika lain, sehingga penggambaran yang mereka lakukan sering saling bertentangan (kontra-diktif), terutama karena mereka cenderung ingin menonjolkan hal-hal yang berbau mu’jizat dan mistik.


 Atau mereka justru cuma menjadi kor-ban propaganda Yahudi, yang memang mengaku berjasa dalam membudayaan bangsa Arab.


Jadi, masalah besar yang dihadapi bangsa Arab dan khususnya Muhammad secara pribadi adalah masalah ‘kesatuan’ (integri tas) mereka sebagai bangsa, yang ternyata tidak bersatu.


Atau kalau menggunakan istilah Al-Quran, ditengah mereka tidak ada rasa persaudaraan (ukhuwwah).


Tentu karena tidak adanya faktor dominan (pengaruh kuat) yang mengarahkan mereka ke sana. Lahirnya Hilful- Fudhul hanyalah sebuah isyarat bahwa keinginan untuk bersatu itu sebenarnya memang ada; karena mereka sadar bahwa memelihara per musuhan hanyalah menimbulkan bencana. Namun agaknya ‘organisasi’ ini tidak dapat memenuhi harapan mereka. Mengapa?


Barakat Ahmad, dengan merujuk tulisan W. Robertson Smith dan Encycloaedia of Islam, memberikan gambaran:


… Hilf is a compact between quite separate tribes, general in scope, made for the object of establishing a permanent state of peace between the tribes.

It did not diminish their autonomy, but united them for purposes of com-mon defence, for mutual payment of settlements to third parties, for venge-ance, and for the common use of pasturage.



....Hilf adalah suatu perpaduan antara suku-suku yang sangat terpisah, yang secara umum memiliki ruang lingkup, yang dibuat untuk tujuan membangun keadaan perdamaian permanen antara suku-suku. 

Itu tidak mengurangi otonomi mereka, tetapi mempersatukan mereka untuk tujuan pertahanan bersama, untuk pembayaran bersama atas penyelesaian kepada pihak ketiga, untuk pembalasan dendam, dan untuk penggunaan umum padang rumput.







Hilf adalah sebuah kesepakatan yang secara umum mencakup suku-suku yang sangat berpencaran, yang dibuat demi menegakkan situasi damai di antara para suku itu.


Kesepakatan tersebut tidak menghilangkan kemandi-rian (otonomi) mereka, tapi menyatukan mereka dalam kepen tingan pertahanan keamanan bersama, pembayaran denda (utang) bersa ma kepada pihak-pihak ketiga, pembalasan bersama (bila mereka dise rang pihak-pihak yang tidak ikut dalam kesepakatan), dan kesepaka tan untuk memanfaatkan padang rumput demi kepentingan bersama.


Kutipan di atas menggambarkan bahwa Hilful-Fudhul dibentuk semata-mata karena pertimbangan yang sangat pragmatis, yang tetap mengekalkan benih-benih perpecahan di dalam. Mereka mungkin kompak menghadapi musuh bersama dari luar yang biasanya jarang muncul  tapi di dalam ‘rumahtangga’ mereka sendiri sikap saling sikut dan saling jegal tetap dipertahankan. 

Dengan kata lain, mereka hanya damai di permukaan. Itulah agaknya hasil maksimal dari Hilful-Fudhul.


Lalu apa yang terjadi dengan Muhammad bin Abdullah? Ahmad Syafii Maarif mengatakan bahwa sebelum diangkat menjadi rasul. Muhammad bertahun-tahun lebih dulu terlibat dalam pemikiran dan kontemplasi yang mendalam dan kadang-kadang sangat menegang-kan dalam membaca masyarakat komersial kota Makkah yang zhalim itu. 

Menurutnya, ada tiga fenomena sosiologis-religius yangdisimpul kan Muhammad dari data sosial yang dibacanya selama bertahun -tahun itu. Pertama, politeisme yang merajalela di mana-mana. Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak punya. Ketiga, tidak adanya rasa tanggung-jawab terhadap nasib manusia secara keseluruhan.


Penyebutan Muhammad sebagai orang yang berkontemplasi (mela kukan perenungan mendalam) selama bertahun-tahun, sebelum menjadi rasul, adalah gambaran sebagian dari kenyataan sikap Muhammad pada waktu itu.

Setelah melihat keterlibatannya dalam Perang Fijar (meski bukan sebagai tentara), dan kemudian ‘kehadirannya’ dalam Hilful-Fudhul, gambaran yang diberikan Ahmad Syafii Maarif itu terasa menjadi pincang.


Soalnya, Muhammad bukan hanya seorang perenung (man of thinking/feeling), tapi seorang pemikir, perasa, dan tak mau tinggal diam.


Dengan kata lain, ia tidak hanya priha tin atas keadaan bangsanya, tapi juga giat mengerahkan segala daya yang dimilikinya untuk ikut memecahkan masalah yang dihadapi bangsanya (man of thinking and action). 

Inilah, agaknya, alasan yang sangat logis yang memastikan kehadirannya dalampertemuan para tokoh Quraisy di rumah Abdulah bin Jud’an tersebut.


Bukan mustahil bila Hilful-Fudhul adalah ‘kendaraan’ Muhammad untuk menapaki jenjang popularitas ditengah masyarakat Arab di kota Makkah, meski menjadi populer bukanlah tujuannya. Organisasi inilah yang membuatnya terkenal sebagai “Al-Amin”.


Karena itu tidak mengherankan bila ia mempunyai kemampuan untuk menghimpun massa di satu tempat, seperti digambarkan para ahli sejarah ketika ia pertama kali mengabarkan bahwa ia baru menerima wahyu. 

Jelasnya, seorang “bocah ingusan” yang lugu dan tak punya peran apa pun dalam masyarakat, tidak mungkin dapat berbuat demikian!


Selanjutnya, Muhammad sang pemikir yang tak betah diam melihat kezhaliman itu, agaknya merasa bahwa Hilful-Fudhul hanyalah kendaraan butut, yang tak mampu membawa bangsanya sampai pada tujuan yang mereka idamkan. Yaitu persatuan dan perdamaian.


Kegagalan Hilful-Fudhul menyatukan dan mendamaikan bangsa Arab (setelah Muhammad sendiri berkiprah di dalamnya selama sekitar 20 tahun!) adalah penentuan (turning-point) yang mendorong Muhammad berubah sikap, dari “manusia yang giat dalam urusan kemasyarakatan” menjadi “manusia yang kontemplatif” (suka merenung, mengucilkan diri), karena ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan bangsanya. 

Inilah yang mendorongnya untuk sering ‘bert apa’ di Goa Hira. Kasarnya, ia pergi ke Goa Hira karena sudah ke habisan ide dan frustrasi!


Inilah gambaran psikologis Muhammad. Manusia idealis yang terbelit masalah pelik dan rindu penyelesaian.


Allah menolongnya dengan menurunkan Al-Quran, yang harus dikajinya secara tartil. (Periksa tulisan tentang surat Al-Muzzammil).





Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk Anda, hal.163-164, cet. Kedua, Pustaka Jaya, Jakarta 1979.

[2] Sirah Muhammad Rasulullah/Suatu Penafsiran Baru, H. Fuad Hashem, hal. 152, cet. pertama, Mizan, 1989.

[3] Muhammad and The Jews, hal. 23, New Delhi, 1979.

[4] Sejarah Hidup Muhammad, hal.67, cet. ketiga, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta,

1979.

[5] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 66.

[6] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 100.

[7] Masalah ini telah diungkap agak panjang -lebar dalam kajian tentang surat Al-’Alaq, yang tentu juga erat kaitannya dengan surat Al-Muzzammil.

[8] God, Jews And History, hal. 188, Max I. Dimont, New York, 1962.

[9] Muhammad and The Jews, hal. 32.

[10] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.