Penyelesaian Papua harus Pakai Kaca Mata Orang Asli Papua?
The Jambi Times, PAPUA | Akar
masalah di Papua yang belum terselesaikan oleh pemerintah pusat butuh
solusi yang konkrit. Sebab akar permasalahan itu adalah diskriminasi dan
marjinalisasi, kegagalan pembangunan, pelanggaran HAM, serta sejarah
dan partai politik. Pemerintah Pusat justru dinilai gagal melakukan
pembangunan di Papua terkait hal tersebut.
Direktur
Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA) Samuel
F. Silaen kepada media mengatakan apa yang dilakukan pemerintah Pusat,
dengan cara pendekatan keamanan dan militer yang semakin merusak
kepercayaan orang Papua serta memunculkan kecurigaan, kesalahpahaman dan
ketakutan yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan kemanusiaan.
Ia
mengatakan, dari hasil dialog dengan pemangku kepentingan yang ada di
Papua, menemukan kondisi kemiskinan di Papua semakin tinggi terutama
diwilayah kabupaten dan kota.
Masalah Papua
yang sebenarnya bukanlah soal politik, sumber daya alam, atau
masalah-masalah lain. Masalah yang sebenarnya adalah memanusiakan
manusia Papua. Ini masalah yang sangat mendasar, bahkan masalah yang
sering diyakini melebihi dari soal hidup dan mati. Persoalan
diskriminatif dan rasisme salah satu permasalahan yang baru-baru ini dan
terbukti terjadi di Jawa Timur.
Berlarut-larutnya
persoalan Papua tidak bisa dipisahkan dari peran para aktor yang
bermain dibalik layar. Meski tidak kelihatan namun ‘setting’ perannya
itu yang tidak bisa dianggap remeh. Karena masalah di Papua bukanlah di
mereka, bukan di sana, tapi masalahnya ada di luar Papua, disini. Banyak
yang menyebut masalah sebenarnya ada di Jakarta. Masalah di Papua bukan
bersumber di Papua, tapi dikirim dari luar Papua. Papua menjadi sasaran
masalah, Papua bukan pembuat masalah.
Masalah
Papua harus diselesaikan dengan bijak agar pertumpahan darah yang
bergejolak disana tidak terus bertambah. Inilah tantangan sekaligus
harapan masyarakat asli Papua yang selalu merasa diperlakukan
diskiriminatif oleh kepentingan Jakarta.
Kepentingan
Jakarta inilah disinyalir jadi penyebab lambannya penuntasan
kasus-kasus yang ada didaerah Papua. Sehingga konflik-konflik horizontal
tidak terhindarkan selalu terjadi dan menelan korban jiwa di kedua
belah pihak sipil dan militer.
Kekerasan yang
terjadi di Papua harus dicarikan solusi permanen agar tidak
berulang-ulang terjadi seperti selama ini terus terjadi. Menyikapi
masalah-masalah di Papua, seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia lebih
ke soal merasakan dan melibatkan dalam penderitaan manusia Papua.
“Apa
yang menjadi akar permasalahannya itulah yang harus dikaji secara
mendalam dan konprehensif dalam kaca mata Papua. Karena penanganan Papua
selama ini selalu memakai kacamata Jakarta ternyata tidak dapat
menyelesaikan permasalahan Papua, “papar Silaen.
“Sudah
waktunya Papua dibangun dengan kacamata orang asli Papua. Otsus
(Otonomi Khusus) sudah berjalan hampir 30 tahun, tapi kok enggak ada
perubahan padahal Otsus itu untuk Orang Asli Papua (OAP). Hal yang
darurat yang harus dilakukan adalah menghentikan segala pendekatan
keamanan apalagi pengerahan aparat keamanan ke Papua. Manusia Papua
adalah manusia-manusia merdeka yang tidak bisa didekati dengan
pendekatan keamanan yang cenderung represif,” tambah Silaen.
Pemerintah
selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua
yang sebenarnya. Masyarakat Papua memiliki ikatan sosial yang kuat,
menghormati ajaran agama, dan patuh pada hukum adat. Pelibatan
tokoh-tokoh masyarakat sipil non politik, tokoh-tokoh dari lintas agama,
hingga para tokoh dan ketua adat serta lembaga adat.
Ia
pun mengatakan, permasalahan itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan
dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua untuk
meluruskan sejarah yang tidak pernah selesai. Setelah hinaan rasisme
yang berakibat kerusuhan di Papua, maka haruslah dilakukan
langkah-langkah untuk kembali membangun Papua. Tapi yang patut dicatat
pembangunan di ‘sini’ tidak hanya soal fisik atau infrastruktur saja.
Tapi lebih pada pembangunan penghormatan pada manusia Papua yang
pusatnya adalah ‘memanusiakan manusia’.
“UU
Otsus sudah ada dan yang akan berakhir pada tahun 2021 perlu
disempurnakan dalam kerangka mengatur itu dan ini. Dan sudah ada juga
contoh yang patut diadopsi yaitu UU otonomi khsusus Aceh, saya melihat
apa yang diperoleh Aceh dengan otonomi khususnya sangat cocok diterapkan
di Papua untuk penyelesaian masalah Papua dengan membuat KKR,
”tandasnya.(**)
