TVRI Bukan Lembaga "Aturan"
Emrus Sihombing Direektur Eksekutif Lembaga EmrusCorner
“Ciptakan
dong ‘damai’ di ‘perahu’ TVRI kita. Jangan ego sektoral”. Itulah
harapan seluruh rakyat Indonesia di tengah perbedaan pandangan
pengelolaan TVRI antara Dewan Pengawas (DP) dengan Dewan Direksi (DD)
TVRI. Persoalan relasi antar DP dengan DD, menurut saya, bisa terjadi
karena merasa status dan peran masing-masing lebih superior dari yang
lain. Para pihak menilai posisi mereka lebih berwenang daripada yang
lain dalam suatu atau keseluruhan konteks terkait dengan manajemen TVRI.
Masing-masing bisa saja merasa terusik sehingga bisa jadi semakin
berbeda “pelabuhan” yang dituju. Akibatnya, persoalan yang seharusnya
dapat dituntaskan dalam “perahu” TVRI, tetapi dibawa ke rana eksternal
dengan menyampaikannya ke Ombudsman. Tentu, sebagai lembaga negara dan
pertanggungjawab publik, salah satu anggota Ombudsman pun
membincangkannya dengan media.
Perbedaan
ini, menurut hemat saya, belum perlu melibatkan pihak ketiga, termasuk
Ombudsman. Sebab saya melihat, jurang komunikasi antar mereka masih
terbuka lebar peluang bertemu di “pelahunan” yang sama dengan membangun
komunikasi persuasi antar mereka, tentu dengan pengedepankan dialog
kebersamaan dan keterbukaan antara DP dengan DD.
Penyelesaian
perbedaan yang berpotensi “meninggi”, dari aspek komunikasi, apalagi
ada gejala mengarah ke kutub berseberangan, maka ego sektoral mutlak
diminimalisasi, kalau boleh diturunkan pada level nol (0), sehingga para
pihak harus berada pada posisi “setara”. Jangan sampai muncul sifat
atau perilaku, yang satu lebih tinggi, lebih dominan, lebih berkuasa
daripada yang lain.
Yang lebih
parah lagi, bila para pihak (DP atau DD) memposisikan dan atau menilai
kelompoknya punya relasi kuat dengan pusat kekuasaan yang lebih tinggi
di republik ini. Jika ini yang terjadi, persoalan perbedaan antara DP
dengan DD bisa semakin menganga. Akibatnya, kinerja TVRI dipastikan
terganggu. Padahal, DP dan DD ditugaskan oleh negara agar
bersungguh-sungguh melakukan tugas penyiaran publik dengan manajemen
baik, meningkatkan kinerja dan disiplin karyawan yang terukur, laporan
keuangan wajar tanpa pengecualian. Dengan demikian, TVRI bisa mengejar
ketertinggalan rating dibanding televisi swasta lainnya.
Tentu
sebagai suatu hipotesis, dari aspek organisasi, perbedaan antara DP dan
DD terletak pada posisi dan peran mereka masing-masing. DP bisa
menginginkan agar DD melaksanakan tugasnya sesuai dengan regulasi yang
tertulis, termasuk agar DD berpijak pada sejumlah kebijakan dan atau
aturan yang dibuat oleh DP. Pandangan ini bukan tanpa “resiko”. TVRI
bisa terjebak menjadi lembaga penyiaran “aturan” yang sama-sama tidak
kita inginkan. Presiden Jokowi pernah mengemukakan pendapat yang sangat
kritis, “Indonesia bukan negara aturan”, banyak aturan.
Menyadur
padangan Presiden Jokowi, TVRI tidak boleh juga menjadi lembaga
penyiaran yang “dipenjara” dengan sejumlah aturan. Jangan sampai TVRI
menjadi lembaga “aturan”. Untuk itu, jika DP membuat aturan, harus
“matikan” dulu dua atau tiga aturan lain sebelumnya. Dengan demikian,
fleksibilitas TVRI dapat terjaga dengan baik di tengah ketatnya
persaingan penyiaran global di Indonesia. Lain halnya kalau ada dugaan
tindak pidana, korupsi misalnya, DP harus memprosesnya, siapapun dan
apapun statusnya di TVRI, melalui institusi hukum.
Selain
itu, bila kita melihat dari perspektif kritis tentang konstruksi sebuah
aturan atau kebijakan, termasuk sejumlah aturan yang “diproduksi” oleh
DP, dari aspek komunikasi, tidak ada di ruang hampa. Karena itu, tidak
ada salahnya DP dan DD “membedah” secara objektif, netral dan
independen, untuk melihat kemungkinan adanya agenda “tersebunyi”
disengaja atau tidak disengaja pada sejumlah aturan yang berlaku di
TVRI, tak terkecuali yang dibuat oleh DP dan atau DD itu sendiri.
Di
sisi lain, DD ingin menunjukkan kinerjanya lebih optimal agar TVRI bisa
menyajikan program-program acara yang lebih varian dan bermutu sebagai
lembaga penyiaran publik, agar mampu berkompetisi dengan lembaga
penyiaran swasta lainnya. Untuk itu, DD tentu membutuhkan keleluasaan
dan fleksibilitas agar dapat lebih kreatif dan inovatif. Sebagai lembaga
penyiran publik, DD harus berfikir dan out of the box, tidak boleh ada
di zona aman di tengah gempuran penyiaran dari luar negeri yang bisa
mengganggu keindonesiaan kita. Di sini TVRI sebagai pemersatu bangsa
kita.
Jangan lupa, TVRI bukan milik
DP dan DD, tetapi milik kita bersama, milik WNI, milik seluruh rakyat
Indonesia. Sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI, melekat nama lengkap
negeri ini, “Republik Indonesia”. Tidak boleh ada kepentingan sektoral
yang subyektif dari DP maupun DD di TVRI. Lembaga penyiaran publik yang
menyandang nama “Republik Indonesia” jangan sampai menjadi “korban” dari
ego sektoral mereka. Dengan segala kerendahan hati, saya
sungguh-sungguh menyarankan kepada DP dan DD, agar bisa menyelesaikan
perbedaan itu di “perahu” TVRI saja, paling lama dalam minggu ini.
Selain
itu, Ombudsman dan para petinggi legislatif maupun eksekutif yang
terkait dengan pengelolaan TVRI agar bersama-sama mendorong atau bila
diperlukan “memaksa” DP dan DD duduk bersama melakukan komunikasi
ketulusan di salah satu beranda di TVRI sambil minum kopi merek
Lintongnihuta, salah satu produk Nusantara. Semoga
Emrus Sihombing
Direektur Eksekutif
Lembaga EmrusCorner