Buzzer atau Bussyet
Oleh : Jerry Massie
Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies
Istilah "Buzzer" akhir-akhir ini menjadi isu yang ramai diperbicangkan publik.
Setidaknya,
buzzer ini menjadi political weapon (senjata politik) untul meruntuhkan
lawan politiknya. Dan ini bagian branding image dalam dunia politik.
Tak
pelak, buzzer menjadi kunci kemenangan baik dalam president election
(pemilihan presiden) bahkan pileg. Bisa juga bahkan bisa jadi sumber
malapetaka.
Para gerombolan buzzer adalah
politik bayaran yang menggerakan dan mempengaruhi publik lewat kicauan
dengan mendukung seseorang di dunia sosmed.
Saat
ini the spirit of buzzer kian menggurita selain the spirit of hoax.
Tengok saja laporan yang dibuat peneliti Universitas Oxford di Inggris
mengungkapkan dana buzzer di Israelbisa mencapai 100 juta dollar AS atau
senilai Rp 1,4 triliun.
Menurut laporan
bertajuk "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of
Organised Social Media Manipulation", pendengung Israel berada di level
high capacity.
Buzzer ini memang dibayar untuk jadi influencer.
Artinya,
buzzer di sana melibatkan jumlah besar, baik dalam sisi orang yang
mengatur atau anggaran yang dipersiapkan untuk menyebarkan disinformasi.
Berdasarkan
laporan dari peneliti Oxford, diketahui buzzer Israel merupakan tim
berisi sekitar 400 orang, dan mendapatkan pelatihan formal.
Kadang
informasi tak dianalisis lagi tapi ditelan mentah-mentah oleh publik.
Lantaran kurangnya sense of understanding jadi ini dimanfaatkan oleh
gerombolan "buzzer". Tapi lama-kelamaan bisa berubah jadi "buzzyet".
Saya teliti hampir setiap detik di grup baik itu Prabowo dan Jokowi
terus muncul serangan membabi buta dengan hate speech and fake news
(ujaran kebencian dan berita bohong atau palsu).
Ini
terus digoreng, hingga sampai kini hoaks kian merajalela. Menurut data
Kominfo Tahun 2018 kemarin saja April 2019 ada 486 kasus dan politik
mendominasi ada 209 kasus.Berdasarkan data tersebut, total ada 1.731
hoax sejak Agustus 2018-April 2019.
Bahkan dicatat ada 800 ribu situs penyebar hoaks di Indonesia menurut Kominfo.
Menurut
saya "buzzer" juga jangan asbun, walaupun salah kaprah tapi tetap
dibela. Dan juga membuat konten-konten yang merugikan pemerintah Jokowi.
Baru-baru
ini Polisi menangkap orang-orang yang diduga terkait dengan grup
WhatsApp Anak STM saat demo di DPR, Jakarta, beberapa hari lalu. Ini
menindaklanjuti viralnya screenshot grup tersebut di media sosial yang
berisi pembicaraan soal bayaran demo. Nah, ini harus menjadi perhatian
serius pemerintah khususnya kementerian terkait. Ada banyak yang
berselancar di dunia maya tapi tak menggunakan akal sehat. Justru
membela kebijakan dangan orang yang salah.