Hati-Hati, Jangan Jadikan Papua Sebagai Ladang Proyek Militer
The Jambi Times, JAKARTA | Desak Pembentukan Tim Fact Finding Kasus Nduga, Tokoh Buruh Muchtar Pakpahan Surati Presiden Jokowi
Tokoh
Buruh Prof Dr Muchtar Pakpahan menyurati Presiden Joko Widodo. Isi
suratnya, meminta Presiden segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) atau Fact Finding Team untuk mengusut kasus yang menimpa
masyarakat Nduga Papua.
Ketua Umum Konfederasi
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP KSBSI) Prof DR Muchtar Pakpahan
menyampaikan, ada puluhan ribu pengungsi domestic Nduga Papua yang hidup
dan tinggal dalam ketakutan.
“Data relawan
juga menyebutkan pengungsi internal di Wamena tersebar di sekitar 40-an
titik. Akibat banyaknya pengungsi internal, di dalam 1 rumah atau honai
bisa terisi 30 sampai 50 orang, dan bahkan ada yang terisi hingga
ratusan orang,” tutur Muchtar Pakpahan, dalam suratnya yang diterima
redaksi, Sabtu 24 Agustus 2019.
Pakpahan
menuturkan, pada Rabu 14 Agustus 2019, dia diundang oleh Perekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk menghadiri diskusi tentang
keadaan Nduga sekarang, sebagai gambaran umum Papua.
Di acara tersebut, diperoleh laporan dan data yang tersedia dari Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga, Provinsi Papua 2019.
Penulis
Laporan adalah Pemerintah Kabupaten Nduga, Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten Nduga, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Sinode Gereja
Kingmi di Tanah Papua, Yayasan Keadilan Keutuhan Manusia Papua
(Pemerhati HAM), Intelektual Suku Nduga, Mahasiswa dan Pemuda, Tokoh
Perempuan Pemerhati Kabupaten Nduga.
Dalam
laporan itu disebut, total jumlah korban meninggal dunia sebanyak 182
orang. Dan yang mengungsi karena takut untuk tetap tinggal di kampungnya
sendiri (pengungsi internal), Mapenduma sebanyak 4276, Mugi 4369, Jigi
5056, Yal 5021, Mbulmu Yalma 3775, Kagayem 4238, Nirkuri 2982, Inikgal
4001, Mbua 2021 dan Dal 1704, total 37443.
Muchtar
Pakpahan mengatakan, sejak tahun 1980-an, dirinya sudah turut terlibat
sebagai Pegiat HAM di Papua. Kejadian yang mirip terjadi hingga saat
ini.
“Saya adalah Pegiat HAM di Papua sejak
tahun 1980-an. Keadaan yang terjadi di Nduga sama dengan apa yang
dialami oleh kawan saya, Seorang Antropolog, Dosen Universitas
Cendrawasih yang bernama Arnold AP (almarhum). Pada 26 April 1984, ABRI
membunuh Arnold AP, dan mendorong adanya OPM di Papua menjadi proyek
militer,” ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya,
kekerasan terjadi lagi 10 November 2001. TNI membunuh Theys Hiyo Eluyai,
mantan Ketua Presidium Dewan Papua. “Dan sekarang pun, dalam pengamatan
saya, ini akan berulang,” ucapnya.
Muchtar menjelaskan, Papua akan tetap menjadi konflik apabila pemerintah tidak mengubah cara-cara pendekatan.
Pemerintah melakukan pendekatan dengan menggunakan kekerasan dengan embel-embel keamanan.
Seharusnya, ditegaskan Muchtar Pakpahan, yang dilakukan di sana adalah pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan.
Dia juga menyayangkan, ada orang Indonesia yang menganggap Papua bukan teman sebangsa dan setanah air.
“Hal
itu terjadi seperti kejadian bullying di Surabaya, seminggu lalu, yaitu
ejekan yang menyebut mereka seperti monyet,” ucapnya.
Kejadian
memalukan ini menimbulkan demo besar-besaran di Manokwari, Sorong dan
Jayapura. “Sehubungan itu, saya minta kepada Presiden Republik Indonesia
untuk segera membentuk Tim Fact Finding, untuk mengetahui apa yang
terjadi di Papua dan mengambil perubahan kebijakan,” ujarnya.
Negara
dan pemerintah Indonesia, lanjutnya, perlu mengubah pendekatannya
kepada masyarakat Papua. Dari kekerasan dan keamanan oleh TNI dan Polri,
menjadi pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan.
“Itu
bisa dimulai oleh Menkokesra dan diadakannya Public Fact Finding yang
berisikan Gereja, Komnas HAM dan Dewan Ada Papua, yang pengamanannya di
dukung TNI dan Polri,” ujar Muchtar.
Selain
bersurat ke Presiden Joko Widodo, Prof Muchtar Pakpahan juga mengirimkan
surat yang sama ke Socialist International (SI). SI ini adalah
Persatuan Partai-Partai Buruh dan Sosial Demokrat Sedunia.
“Atas
perhatian Bapak Presiden saya ucapkan, terimakasih. Surat ini saya
tembuskan ke Socialist International, yaitu Persatuan Partai-Partai
Buruh dan Sosial Demokrat Sedunia,” tutup Muchtar Pakpahan. (JON)