PK Nuril Ditolak, Komnas Perempuan: MA Gagal Hadirkan Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual
The Jambi Times, JAKARTA | Hasil pemantauan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah menemukan bahwa
Pelecehan Seksual sebagai salah satu jenis kekerasan seksual tidak hanya
terjadi secara fisik, melainkan juga non fisik. Temuan tersebut muncul
dari kasus-kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan dan ke
berbagai lembaga pengada-layanan di Indonesia.
Pelecehan
seksual non fisik diantaranya adalah intimidasi, ancaman, dan ujaran
yang bersifat seksual baik secara langsung ataupun menggunakan media
sosial, yang berakibat pada kerugian/penderitaan korban (rasa terhina
dan direndahkan martabat kemanusiaannya). Dampak psikis tersebut dengan
serta merta dapat mempengaruhi kondisi fisik korban, bahkan dapat
berlanjut kepada dampak secara ekonomi dan sosial, jika korban tidak
dipulihkan.
Hanya sedikit korban yang berani
melaporkan bentuk kekerasan seksual ini, karena minimnya perlindungan
hukum dan masih kuatnya budaya yang menempatkan pelecehan seksual
sebagai sebuah kewajaran. Situasi ini menyebabkan korban pelecehan
seksual (terutama non fisik) rentan dikriminalkan atas upayanya
mengungkap kejahatan.
Baiq Nuril (BN) adalah
salah satu korban yang dimaksudkan di atas. BN mencoba dan berupaya
keras mencari keadilan atas pelecehan seksual yang dialaminya, termasuk
dalam hal ini merekam pelecehan seksual yang dilakukan terhadap dirinya,
karena dia tahu untuk melaporkan tindakan kekerasan, dibutuhkan
pembuktian, apalagi jika pelaku memiliki kekuasaan dan berkuasa atas
dirinya. Ketika rekaman tersebut disebarluaskan oleh pihak lain yang
menjanjikan membantu BN mengadukan pelecehan seksual yang dialaminya ke
DPR, BN dilaporkan melanggar UU ITE. Sementara pihak lain yang
menyebarluaskan rekaman tersebut, tidak dilaporkan.
Meski
pengadilan tingkat pertama menyatakan BN tidak bersalah, namun Mahkamah
Agung (MA) Republik Indonesia menetapkan BN bersalah dan menghukumnya
dengan penjara 6 bulan dan denda 500 juta rupiah. Permohonan Peninjauan
Kembali (PK) yang diajukan BN-pun harus kandas, ditolak oleh lembaga
peradilan tertinggi di Indonesia itu.
Meski
menghargai keputusan MA sebagai kewenangan peradilan yang tidak boleh di
intervensi, Komnas Perempuan menyesalkan tidak digunakannya Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 (PERMA 3/2017) tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan denga Hukum, dalam menjatuhkan
putusan kasasi dan menolak Peninjauan Kembali kasus BN ini. Padahal,
PERMA 3/2017 adalah sebuah langkah maju dalam sistem hukum di Indonesia
dalam mengenali hambatan akses perempuan pada keadilan. PERMA ini adalah
sebuah langkah afirmasi dalam menciptakan kesetaraan (seluruh warga
negara) di hadapan hukum.
Komnas Perempuan juga
menyesalkan POLRI (dalam hal ini POLDA NTB) atas dihentikannya
penyidikan kasus perbuatan cabul yang dilaporkan BN, karena
ketidakmampuan menerjemahkan batasan perbuatan cabul dalam KUHP ke dalam
penyidikan kasus BN ini. Ketika POLRI hanya memahami perbuatan cabul
seharusnya perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik, maka korban
dari kasus-kasus kekerasan seksual, terutama pelecehan seksual non
fisik, tidak akan pernah terlindungi.
Pengabaian
atas penggunaan PERMA 3/2017 oleh Mahkamah Agung dan ketidakmampuan
POLRI dalam mengenali pelecehan seksual non fisik sebagai bagian dari
perbuatan cabul, telah mengakibatkan hilangnya hak konstitusional
seorang perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Kondisi ini juga disebabkan keterbatasan
sistem hukum dalam mengenali kekerasan seksual sehingga memberikan
peluang untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan seksual.
Keterbatasan
sistem hukum ini bukan saja dari sisi materil tetapi juga formil (Hukum
Acara) sebagai standar yang harus dijalankan peradilan, sejak dari
penerimaan laporan hingga persidangan. Termasuk dalam hal ini,
keterbatasan sistem pembuktian dan ketersediaan sumber daya yang memadai
bagi penghapusan diskriminasi hukum di Indonesia. Tampak adanya
kedangkalan pemahaman konsep hukum yang seharusnya memberikan
perlindungan atas kompleksitas pola-pola kekerasan seksual yang menyasar
khususnya kepada perempuan.
BN adalah korban
berlapis dari kekerasan seksual yang dilakukan atasannya, dan dari
ketidakmampuan negara melindunginya. Kriminalisasi pada BN menjadi
preseden buruk bagi hilangnya rasa aman bagi perempuan dan absennya
negara dalam melindungi perempuan korban kekerasan seksual, khususnya
pelecehan seksual.
*Untuk itu Komnas Perempuan meminta:*
1.
DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mensahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan memastikan ke sembilan jenis
kekerasan seksual termasuk Pelecehan Seksual dalam RUU tersebut tetap
dapat dipertahankan;
2. Presiden RI untuk
memberikan Amnesti kepada BN sebagai langkah khusus sementara atas
keterbatasan sistem hukum pidana dalam melindungi warga negara korban
dari tindakan kekerasan seksual (belum memberikan kesetaraan
perlindungan), sebagaimana prinsip afirmasi yang dimungkinkan dalam
Konstitusi dan prinsip due dilligence yang ada dalam Konvensi
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang
telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984;
3.
Hakim Pengawas Mahkamah Agung (MA) mengoptimalkan fungsi pengawasan
atas pelaksanaan PERMA 3/2017 di lingkup pengadilan, sejak dari
pengadilan tingkat pertama sampai dengan MA;
4.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia (KPPPA) dan Dinas PPPA setempat mengupayakan pemulihan dan
pendampingan kepada BN, khususnya kepada keluarga dan anak-anaknya yang
masih kecil;
5. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) untuk mengeluarkan kebijakan
zero tolerance kekerasan seksual termasuk pelecehan seksual di lingkup
Kemendikbud; dan merekomendasikan kepada para pendidik pada institusi
formal dan non formal untuk meningkatkan edukasi pencegahan kekerasan
seksual.(kh)