Sejarawan, Sastrawan, Dan Al-Qurãn
Apa beda
sejara(h)wan dengan sastrawan?
THE JAMBI TIMES - Sejarawan,
kira-kira, adalah pencari dan penghimpun jejak kejadian masa lalu. Sedangkan
sastrawan adalah pencipta kejadian, dengan kekuatan daya khayal
(imajinasi)-nya. Sejarawan tidak bebas.
Sastrawan relatif bebas. Sejarawan tak
boleh meniru sastrawan yang mengandalkan kekuatan iamjinasi, tapi sastrawan
boleh menggunakan data sejarah. Karena itulah ada novel yang penuh dengan
‘data’ sejarah, seperti banyak novel Pramudya Ananta Toer, sehingga boleh disebut
novel sejarah, tapi tak ada (buku) sejarah yang dibangun dari bahan baku
imajinasi.
Pertanyaan
bersifat menggugat bagi sejarawan adalah: Apakah anda hadir di tempat kejadian,
atau hanya menghimpun klipingan? Bagi sastrawan, syarat kelulusannya
adalah: tulisan anda indah (walau tak masuk adal).
Dalam hal
“kebenaran” sastrawan, sedikitnya, punya tiga kebenaran, yaitu:
- Kebenaran kejadian, yang berarti dia menuturkan kisah nyata;
- Kebenaran kemungkinan, yang berarti dia memainkan imajinasi; dan
- Kebenaran keyakinan, yang berarti dia ingin menonjolkan suatu visi atau ‘ideologi’.
Sastra yang
berisi kisah nyata tidak dimaksudkan untuk menulis ulang kejadian, seperti yang
mungkin dilakukan sejarawan, tapi sastrawan hanya ingin menyampaikan sebuah
kisah yang ‘indah’, walau berupa tragedi. Dalam hal kebenaran kemungkinan,
sastrawan bisa saja bercerita bahwa cinta bisa mempersatukan si kaya dengan si
miskin, atau anak raja menikahi orang miskin, seperti sering ditemukan dalan
kisah-kisah Hans Cristian Andersen (sastrawan Denmark). Dan dalam hal kebenaran
ideologi, sastrawan, melaui ceritanya, berusaha meyakinan bahwa ideologi anu
lebih unggul dari ideologi yang lain.
Rincian dan
asas
Sejarawan,
tentu saja, berusaha keras untuk menulis secara rinci tanpa memasukan pendapat
pribadi. Sastrawan juga suka dengan rincian, tapi menyusupkan pandangan pribadi
boleh dikatakan justru menjadi misinya. Masabodoh orang tak setuju. Makin beda
dengan orang lain malah membuktikan keunikannya, dan itu bisa membuat karyanya
menang dalam perlombaan.
Soal rincian
dan asas (prinsip), saya percaya merupakan unsur penting dalam penulisan
sejarah maupun fiksi (seperti novel, cerpen, dan sebagainya). Tapi, yang
melahirkan tulisan ini adalah pertanyaan: Mengapa Al-Qurãn yang begitu
‘nyastra’ dalam bentuknya (bahasa dan cara
penyusunan) seperti lebih
menonjolkan prinsip ketimbang detail?
Dalam
Al-Qurãn banyak kisah, terutama tentang Nabi Musa dan Bani Israil
(Yahudi), tapi hanya kisah Nabi Yusuf yang terpapar secara ‘lengkap’, dalam
surat Yusuf. Sementara kisah Nabi Adam, kita akan hanya menemukan semacam
fragmen (pecahan), mulai dari surat Al-Baqarah, Al-A’raf, Thaha…
Menariknya,
‘fragmen-fragmen’ itu seperti sengaja disisipkan dalam tema-tema tertentu.
Seperti sengaja ditampilkan untuk memberi contoh kasus dari sebuah tema (pokok
bahasan).
Pendeknya,
dalam bertutur tentang kejadian, termasuk juga tentang alam, Allah sebagai
Mahasejarawan sekaligus Mahasastrawan, seperti lebih mementingkan prinsip
daripada rincian kejadian.
Al-Qurän,
seperti ditegaskan surat Yusuf ayat 111: Sungguh pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. (Al-Qurãn) itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. (terjemahan Depag).
Dalam ayat
ini, yang diberi tekanan adalah kata ‘ibratun (‘ibrah), yang oleh Depag
diartikan pengajaran. Jadi bila kita pegang ayat ini, kata ibrah
adalah inti yang hendak disampaikan melalui penuturan kisah-kisah (sejarah)
dalam Al-Qurãn, dan untuk itu penuturan secara detail tidak penting (?). Tapi,
seperti disinggung di atas, dalam surat Yusuf ternyata kisah Nabi Yusuf
dituturkan secara cukup rinci. Kesimpulannya? Rinci atau tidak, (penuturan)
kisah-kisah (sejarah atau bukan) harus mengandung ‘ibrah (pengajaran;
penyampaian pelajaran/ajaran). Mungkin karena itulah para orangtua kita
menuturkan kisah-kisah seperti Sangkuriang, Malin Kundang, Joko Tingkir, dan
lain-lain. Tegasnya, dongeng menjadi sarana untuk menyampaikan ‘pesan’.
Kembali
kepada Al-Qurãn, untuk bertutur secara sejarah maupun fiksi, Allah tentu
mempunyai keunggulan tiada tara. Seperti dikatakan dalam sebuah hadis:
keunggulan kalam Allah (Al-Qurãn) atas semua kalam (buatan manusia) adalah
seperti keunggulan Allah atas semua makhlukNya. Tentu demikian juga dalam hal
memberikan ‘ibrah. Keunggulan ‘ibrah Allah tentulah melebihi semua
‘ibrah yang dikarang manusia.
Tapi, apakah
kita mau menerimanya?
(a.h)