Analisis Îmãn (2)
1.
Arti Kata Iman
THE JAMBI TIMES - Ditinjau dari ilmu sharaf (morfologi/teori bentuk kata), iman
(إيمان) adalah masdhar dari kata kerja bentuk lampau ( fi’il madhi)
ãmana (آمن), yaitu fi’il madhi yang berkedudukan muta’addi
(berobyek).
Kata-kata dalam bahsa Arab pada umumnya terdiri dari tiga huruf. Bila
lebih dari tiga huruf, berarti ada huruf(-huruf) tambahan. Kata ãmana
(ءامن) terdiri dari empat huruf. Berarti ada tambahan satu huruf pada
kata asalnya, amina (pola fa’ila), dan bisa amuna (pola fa’ula).
Kata-kata tersebut berarti: aman, tenteram, selamat, jujur,
lurus, dsb. Kata-kata ini dalam bahasa Indonesia tergolong kata sifat
atau kata keadaan. Tapi dalam bahasa Arab semua merupakan kata kerja lampau
yang tidak mempunyai obyek, yaitu tidak ada sasaran atau korban kerjanya.
Kata kerja seperti ini dinamakan fi’il lazim (intransitive verb).
Fi’il lazim bisa diubah menjadi fi’il muta’addi (transitive verb)
dengan cara menggunakan pola lain. Misalnya dari pola fa’ala (فعل)
dipindahkan ke pola af’ala (افعل).
Dengan menggunakan pola af’ala, maka kata amana, amina,
dan amuna menjadi ãmana.
Berganti pola berganti makna. Kata kerja yang semula pasif bisa menjadi
aktif, misalnya, kata lari, misa menjadi melarikan
(membawa lari sesuatu. Atau membuat sesuatu berlari).
Demikian juga kata amana/amina/amuna
yang berarti aman, tenteram, selamat, jujur, lurus,
dsb., setelah dipindah ke pola af’ala, menjadi ãmana,
artinya berubah menjadi: mengamankan, menenteramkan, menyelamatkan,
meluruskan, dsb.
Ĩmãn, adalah masdhar dari kata kerja ãmana. Menurut
teori bahasa, masdhar (مصدر) adalah infinitive (kata kerja
asli) atau verbal noun (kata benda yang berkaitan dengan kata kerja).
Alhasil, masdhar dari ãmana, yaitu îmãn,
bisa berarti: tindakan mengamankan/menenteramkan/menyelamatkan/meluruskan,
dsb.
Kata îmãn ini dalam ilmu sharaf selain berkedudukan
sebagai masdhar, juga disebut isim nakirah, yaitu kata benda
yang mempunyai pengertian umum. Tapi setelah diberi tambahan huruf alif
dan lam, sehingga menjadi al- îmãn (الإيمان),
maka ia berubah menjadi isim ma’rifat, yaitu kata benda yang mempunyai
pengertian khusus.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah: siapakah yang berhak memberikan
makna khusus pada suatu kata? Jawabnya adalah: siapa pun berhak, asal
mempunyai otoritas (wewenang) atau mampu memberikan pertanggungjawaban yang
layak, alias bukan asal-asalan.
Ada dua pihak yang mempunyai kemungkinan mempengaruhi makna kata iman,
yaitu bangsa Arab dan Allah. Orang Arab memperkenalkan kata iman kepada kita
dalam rangka da’wah Islam. Islam adalah agama Allah, bukan agama Arab. Karena
itu jelaslah bahwa yang mempunyai otoritas (wewenang) untuk memberikan makna
khusus pada kata iman adalah Allah, bukan orang Arab.
Sehubungan dengan hal itu, marilah kita periksa Surat al-Hujarat ayat
14-15:
Orang-orang Arab itu mengatakan, “kami beriman.” Tegaskan kepada mereka
(hai Muhammad), “Kalian belum beriman. Sebaiknya kalian katakan saja, ‘Kami
menyerah’ . Karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian. Tapi bila
kalian hendak mematuhi Allah dengan meneladani rasaul-Nya, (silakan saja),
karena Dia (Allah) tidak akan mengurangi nilai amal kalian sedikit pun.
Sungguh Allah – dengan ajaranNya – adalah mahamampu menciptakan perbaikan
hidup serta mahapewujud kehidupan kasih-sayang.
Para mu’min sejati adalah mereka yang mengimani (ajaran) Allah dengan meneladani
rasuk-Nya sampai tidak tersisa sedikit pun keraguan untuk memperjuangkan iman
mereka dengan mempertaruhkan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka
adalah orang-orang yang tulus membuktikan iman.
Dalam ayat ini terdapat kata lam yartabû (), yang artinya
mereka tidak mempunyai keraguan. Orang yang tidak mempunyai keraguan berarti
orang yang yakin. Tapi ingat, jangan samakan yakin dengan percaya, karena
yakin (yaqîn) menurut kamus berarti tahu pasti[2]. Jelasnya, yang berhak
mengatakan dirinya mempunyai keyakinan hanyalah orang yang tahu pasti tentang
sesuatu. Dalam kaitan dengan ayat di atas, jelas digambarkan bahwa si mu’min
adalah orang yang tahu pasti tentang kebenaran ajaran Allah, sehingga tidak
ragu-ragu untuk memperjuangkannya dengan mempertaruhkan harta dan jiwa.
Rasulullah saw. menegaskan dengan sabdanya:
ليس الإمان بالتمنّى و لكن الإمان ما وُقِر فى القلب و إقرار بالسان و عمل
بالأركان
Iman itu bukanlah angan-angan tapi sesuatu yang diyakini kalbu
dengan mantap, (yang lahir menjadi) ikrar lisan, serta didukung dengan
tindakan. (Hadits Riwayat Ibnu Najjar).
Dalam Hadits ini terdapat kata wuqira, bentuk pasif dari waqara,
yang artinya antara lain, menempatkan di tempat yang aman, memastikan,
mengajukan fakta yang kuat, dsb. Menurut Hans Wehr, salah satu arti waqara
adalah to be settled, certain, an established fact.
(meyakini fakta yang tak dapat dipungkiri). Dengan kata lain, waqara
adalah pengakuan terhadap sesuatu yang axiomatic alias obviously
true (tidak terbantah kebenarannya).
Jadi menurut Hadits ini iman adalah sesuatu yang ditempatkan di tempat
yang aman, tidak akan terusik oleh siapa pun, yaitu di dalam kalbu. Alasan
penempatyannya adalah karena ‘sesuatu tersebut mempunyai nilai yang pasti,
dan didukung kebenaran nilainya oleh fakta yang kuat. Selanjutnya, ‘sesuatu’
yang tersimpan dalam kalbu itu secara otomatis akan lahir dalam berbagai
bentuk ucapan dan tindakan atau perilaku orang yang bersangkutan.(h.a)
[1] Periksa Kamus Al-Munawwir,
Mu’jamul-lughatil-‘Arabiyyatil-Mu’asahirah (A Dictionary of
Modern Written Arabic), kamus al-Munjid, dll.
[2] Periksa Kamus Al-Munawwir,
Mu’jamul-lughatil-‘Arabiyyatil-Mu’asahirah (A Dictionary of
Modern Written Arabic), kamus al-Munjid, dll.
|