Sekali Lagi Al Qur’an BUKAN BAHASA ARAB!!!!!!
THE JAMBI TIMES - Al-Qur’an bukan bahasa Arab tapi Bahasa Para-Nabi2
namun Qur’aanan arabiyyan menjadi berarti bahasa Al-Qur’an yang serumpun dengan
bahasa Arab.
Satu judul yang berani menantang arus, dimana selama
ini sejak Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia pada khususnya dan
Dunia pada umumnya telah menetapkan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab.
Alasan menetapkan bahwa Al-Qur’an adalah berbahasa
Arab ini diantara lain berdasarkan tafsir ataupun terjemahan Al-Qur’an pada
banyak buku-buku tafsir yang menterjemahkan misalnya : Tafsir Departemen Agama
yang menterjemahkan diantara lain surat Yusuf ayat 2 demikian :
INNAA ANZALNAAHU QUR;AANAN ‘ARABIYYAN LA’ALLAKUM
TA’QILUUN.
Yang diterjemahkan oleh DEPAG sebagai berikut :
”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an
dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
Semua buku-buku tafsir di Indonesia sebagian besar
menterjemahkan Qur’aanan Arabiyyan atau Lisaanan Arabiyyan menjadi berarti
Al-Qur’an berbahasa Arab.
Itulah sebabnya orang Indonesia sangat menghormati
orang Arab yang dapat berbicara bahasa Arab sehingga dianggapnya semua orang
Arab mengerti Al-Qur’an.
Tidak salah juga ketika dalam satu drama Bajaj Bajuri
dikisahkan ada orang Arab yang berbicara dengan Said tentang percakapan biasa
lalu diaminkan oleh jamaah yang hadir pada saat itu, sehingga mengundang rasa
geli melihat drama tersebut..dan itulah gambaran sebagian besar masyarakat
Indonesia tentang Bahasa Arab yang dianggap sama dengan bahasa Al-Qur’an.
Ada pula satu peristiwa ketika seorang ibu menemui
kertas Koran dengan tulisan Arab, maka kertas tersebut diangkatnya dan
disimpannya baik-baik seperti menemui potongan sebuah surat dalam Al-Qur’an,
yang memang kalau potongan surat Al-Qur’an harus dimuliakan dengan dianggkat
dan kalau sudah tidak terpakai lagi bisa dibakar agar tidak jatuh ke tong
sampah.
Oleh karena Al-Qur’an sudah dianggap bahasa Arab, maka
syarat mutlak untuk bisa menterjemahkan Al-Qur’an menurut M.Hasbi Ash Shiddieqy
dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir halaman 192 – 193,
harus menguasai ilmu-ilmu sebagai berikut :
1. Lughat Arabiyyah
Dengan ilmu ini diketahui syarah kata-kata tunggal.
Kata Mujtahid :”Orang yang tidak mengetahui seluruh bahasa Arab, tidak boleh
baginya menafsirkan Al-Qur’an.
2. Undang-undang bahasa Arab.
Yaitu undang-undang/aturan-aturannya, baik mengenai
kata-kata tunggalnya, maupun mengenai takrib-takribnya. Tegasnya mengetahui
Ilmu Tashrif dan Ilmu Nahwu.
3. Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’.
Dengan Ilmu Ma’ani diketahui khasiat-kasyiat susunan
pembicaraan dan jurusan memberi pengertian. Dengan Ilmu bayan, dikatehui
khasyiat-kasyiat susunan perkataan yang berlain-lainan. Dengan Ilmu Badi’,
diketahui jalan-jalan keindahan pembicaraan.
4. Dapat menentukan yang Mubham, dapat menjelaskan
yang Mujmal dan dapat mengetahui sebab Nuzul dan nasakh.
Penjelasan-penjelasan ini diambil dari hadits.
5. Mengetahui Ijmal, Tabyin, umum, khusus, itlaq,
taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan dan yang seperti ini diambil dari
ushul fiqhih.
6. Ilmu Kalam
7. Ilmu Qira’at.
Dengan Ilmu qira’at dapat diketahui bagaimana kita
menyebut kalimat-kalimat Al-Qur’an dan dengan dialah dapat kita tarjihkan
sebagian kemuhtamilan atas sebahagiannya.
Adapun penafsiran yang dikatakan penafsiran dengan
pikiran yang dilarang oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Turmudzi
dan An Nasa-iy, maka jika hadits itu dipandang benar, ialah : menafsirkan Al
Qur’an dengan tidak memperdulikan Sunnah, atsar dan qaedah-qaedah yang sudah
ditetapkan . Inilah tafsir yang dilarang. Jelasnya menafsirkan Al-Qur’an dengan
hawa nafsu.
Demikianlah tangapan manusia tentang Al-Qur’an ini
berbahsa Arab sudah tidak dapat dibantah lagi. Bagaimana sebenarnya..sehingga
judul tulisan ini sampai berani mengatakan Al-Qur’an bukan bahasa Arab ?
Peristilahan.
Istilah Lisaanan ‘Arabiyyan dan Qur’anan Arabiyyan
tentu sangat berbeda dengan perkataan Lisanan Araban atau Qur’aanan “Araban.
Perbedaannya adalah ada doble huruf ya yang
ditambahkan kepada kata-kata Arabun menjadi Arabiyyun yang dalam Nahu-Syarraf
istilahnya disebut sebagai Ya nishbah atau Ya pembangsaan.
Kaedahnya dalam bahasa sebagai berikut : Apabila pada
sebuah kata benda (isim) ada terdapat huruf ya yang bertsjid maka memberi makna
pada kata itu adalah sebangsa atau serumpun dan sebagainya.
Contoh : Muhammad menjadi Muhammdiyyaah artinya
Pengikut Muhammad atau Serumpun Muhammad. Makah menjadi Makiyyun artinya
Penduduk Mekah Arabun menjadi Arabiyyun artinya Bangsa Arab.
Jikalau ada dua perkataan dimana berlaku hukum na’at
man’ut atau kata sifat maka kata Lisanan menjadi yang disifati sedangkan
Arabiyyan menjadi yang memberi sifat kepada Lisanan. Sehingga Lisanan Arabiyyan
menjadi berarti Bahasa yang serumpun/sebangsa dengan bahasa Arab.
Begitu juga dengan Qur’aanan arabiyyan menjadi berarti
bahasa Al-Qu’an yang serumpun dengan bahasa Arab.
Ini adalah bila ditinjau dari sudut bentuk kata. Akan
tetapi harus didukung oleh sejarah.
Asal-Usul Bangsa Arab
Para ulama ahli tarich telah sepakat bahwa bangsa Arab
itu terdiri atas tiga bagian yakni : 1. Bangsa Arab Al-‘Arabah 2. Bangsa Arab
Al-‘Aribah dan yang ke 3 Bangsa Arab Al-Musta’rabah.
Uraian singkat adalah sebagai berikut :
1. Bangsa Arab Al-‘Arabah disebut juga Arab
Al-Baa’idah. Mereka itu Bangsa Arab yang pertama sekali atau yang asli. Mereka
adalah keturunan dari Iram bin Sam bin Nuh. Mereka terdiri dari 9 bangsa yaitu
1. “Aad 2 Tsamud, 3 Amim 4 Amiel 5 Thasam 6 Jadies 7 Imlieq 8 Jurhum ulaa 9
Wabaar.
Bangsa Arab Al-Baidah ini adalah bangsa Arab yang
tertua, yaitu sisa dari Bangsa Ad dan Tsamud yang tinggal di Babylon, oleh
karena kufur mereka telah dihancurkan negerinya oleh Allah. Kemudian mereka
pindah ke Jazirah Arab setelah terdesak dari keturunan Haam.
2. Bangsa Arab Al-Aribah disebut pula Bangsa Arab
Al-Muta’arribah. Mereka itu adalah bangsa Arab yang kedua dari keturunan Jurhum
bin Qathan putra Aibir atau Aibar. Tempat tinggal mereka adalah Yaman sehingga
mereka disebut juga dengan Arab Al-Yamaniyah. Menurut seorang ahli tarich,
Aibar atau Aibir itu nama dari Nabi Hud. Mereka berdiam ditanah Hijaz.
Pada masa itu semua qabilah di tanah Yaman seluruhnya
ada dibawah perintah kerajaan Thababi’ah. Sedangkan Thababi’ah itu adalah anak
laki-laki dari Saba juga.
Mereka bangsa Arab Al-Aaribah ini sangat kuat
sehingga menaklukkan semua qabilah-qabilah lain termasuk bangsa Arab Al-Ba’idah
yang telah tinggal di daerah hijaz. Pada tahun 120 sebelum Masehi kerajaan
Yaman dilanda banjir besar sehingga kerajaan Yaman pecah menjadi tiga kerajaan.
3. Bangsa Arab Al-Musta’rabah ialah bangsa Arab yang
diwarganegarakan menjadi bangsa Arab dari kedatangan Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail ke kota Mekah bersama dengan pasukannya. Mereka inilah yang kemudian
terkenal dengan sebutan Bangsa Arab Ismailiyyah, yang menurunkan Adnan dan dari
suku Adnaniyyun ini kemudian menurunkan Nabi Muhammad SAW.
Adapun asal mula mereka itu ialah dari keturunan Nabi
Ismail putra Nabi Ibrahim, dan sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ahli
sejarah bahwa Nabi Ibrahim itu bukan orang Arab tapi dari negeri Kan’an pindah
ke negeri Mekah pusat tanah Hijaz.
Semua bangsa Arab baik yang keturunan dari Arab
Al-Ba’idah atau Arab asli, maupun keturunan Arab Al-Muta’arribah serta bangsa
Arab Ismailiyyah semuanya berbahasa Arab setelah terjadi asimilasi antara
bahasa Arabiyyan yang dibawah oleh Nabi Ismail dengan bahasa Arab yang masih
dipakai oleh orang-orang Arab Yamaniyyah.
Dengan bahasa Arab seperti itulah mereka berkomunikasi
satu terhadap lainnya sampai pada suatu saat, Allah membangkitkan Nabi Muahmmad
SAW dengan membawa Al-Qur’an.
Sejarah Bangsa Arab ketika mendengar Al-Qur’an pertama
kali.
Dikisahkan oleh ahli sejarah, bahwa ketika Nabi
Muhammad mengadakan da’wah kepada bangsanya, maka bermacam-macam rintangan
datang menimpa beliau, mulai dari penghinaan, cercaan, ejekan, tipu daya dan
semua rintangan lainnya, pendek kata mulai dari rintangan kasar sampai
rintangan yang halus yang dilakukan oleh kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad.
Pada suatu waktu, kaum Quraisy mengadakan pertemuan
dengan prinsip mereka bahwa “Semut mati karena manisan”, yaitu mereka akan menunjuk
seorang wakil guna menemui Nabi Muhammad pada waktu itu. Mereka sadar benar
bahwa Muhammad bin Abdillah adalah seorang yang tidak mudah dikalahkan dalam
berdebat, maka mereka akan memilih seorang yang ahli dalam urusan ini.
Rapat itu dilangsungkan di gedung Kebangsaan (Daarun
Nadwah) dan dihadiri oleh pemuka-pemuka kaum Quraisy. Tujuan rapat sudah jelas
akan memilih seorang yang mempunyai kedudukan sama dengan kedudukan Muahmmad
bin Abdillah, seorang yang pandai, masih muda dan kuat seperti Nabi Muhammad,
dengan maksud agar bisa memperdayakan Nabi Muammad SAW.
Setelah berdebat panjang lebar, maka dengan suara
bulat ditetapkanlah orang yang akan mewakili bangsa Quraisy adalah Utbah bin
Rabi’ah. Karena Utbah bin Rabi’ah sesuai jika berhadapan muka dengan Muhammad
bin Abdillah untuk berunding dengan dia. Keputusan itu diterima dengan riang
gembira disertai kesombongan Utbah bin Rabi’ah karena ia meresa bahwa
dirinyalah yang mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki oleh mereka.
Pertemuan pertama antara Utbah dengan Nabi.
Pada waktu yang telah ditentukan oleh Utbah sendiri,
maka dia datang kerumah Abu Thalib. Sesudah ia bertemu dengan Abu Thalib
(Pamanda Nabi) Utbah lalu meminta supaya memanggil Muhammad. Abu Thalib
mengabulkan permintaan itu dan segera Abu Thalib memerintahkan seseorang
memanggil kemanakannya itu. Setelah menerima panggilan pamannya itu maka Nabi
pun bergegas datang ke rumah pamannya. Nabi sama sekali tidak menyangka bawa
dirinya sedang ditunggu oleh Utbah bin Rabi’ah. Oleh karena itu maka Nabi
sedikit kaget ketika melihat Utbah ada di rumah pamannya itu, lalu Nabi duduk
berhadapan dengan Utbah.
Utbah mulai berbicara lebih dahulu :
“Hai anak laki-laki saudaraku ! Engkau sesungguhnya
dari golongan kami, dan engkau sebenarnya telah mengetahui keadan kita, bahwa
kita bangsa Quraisy ini adalah sebaik-baik dan semulia-mulia bangsa Arab
didalam pergaulan dan masyarakat, sekarang engkau datang kepada bangsamu dengan
membawa suatu perkara besar !
Engkau datang kepada bangsamu dengan membawa
suatu perobahan yang amat besar ! Tidakkah engkau merasa bahwa kedatanganmu itu
memecah-belah bangsamu yang telah berabad-abad bersatu, dan engkau telah
mencerai-beraikan persaudaraan bangsamu yang telah lama bersepakat, dan engkau
telah membodoh-bodohkan ‘ulama-‘ulama-mu, mencaci maki apa-apa yang telah lama
dipuja-puja orang tuamu, engkau merendahkan apa-apa yang telah lama dimuliakan
oleh nenek moyangmu dan bangsamu, engkau cela agama yang telah beratus tahun
dipeluk oleh bangsamu dan para leluhurmu, engkau sesat-sesatkan
pujangga-pujangamu yang telah lewat. Kini bangsamu telah berpecah-belah dan
ber-golongan-golongan, disebabkan oleh perbuatanmu.
Kejadian demikian itu, kini telah tersiar di
negara-negara lain. Oleh karena itu kami sangat kuatir, manakala nanti bangsamu
kedatangan musuh dari luar, dapatkah kita melawan dan mempertahankan kedudukan
kita? Sudah tentu tidak akan dapat, bukan? Sebab perpecahan diantara bangsamu
itu kini telah menjadi-jadi, tentu akan menyebabkan kelemahan pada bangsamu
sendiri.
Oleh karena itu kedatanganku hari ini kepadamu atas
nama bangsamu seluruhnya, dan hendak mengajukan kepadamu hal-hal yang amat
sangat penting. Tetapi aku meminta kepadamu, bahwa sesudah aku mengatakan
kepadamu, agar supaya kamu pikirkan dengan tenang dan kamu perhatikan dengan
benar., janganlah kamu tolak dengan serta merta ! Agar supaya engkau dapat
menerima salah satu dari hal-hal yang akan aku katakan. Adapun tujuan kami
tiada lain melainkan supaya bangsamu yang mulia ini dapat bersatu kembali, seia
sekata dan kembali berdamai seperti yang sudah-sudah.
Selama Utbah berbicara Nabi hanya berdiam diri saja
sambil mendengarkan dengan tenang. Maka sesudah itu Nabi menjawab : “Katakanlah
olehmu kepadaku, segala sesuatu yang hendak engkau katakan, hai Abul Walid !
Aku akan mendengarnya”.
Utbah bin Rabi’ah lalu berkata : “Saya akan bertanya
lebih dahulu kepadamu Muhammad, sebelum saya mengatakan hal-hal penting
tersebut kepadamu.
Kata Utbah : “Apakah engkau lebih baik dari pada
ayahmu Abdullah dan adakah engkau lebih baik pula dari kakekmu yang terhormat
Abdul Muthalib ?”
Nabi SAW dikala itu diam saja, tidak menjawab sepatah
katapun. Utbah lalu melanjutkan pembicaraannya :
“Oh anak laki-laki saudaraku ! Kalau engkau menganggap
bahwa engkau lebih baik dari pada orang-orang tuamu dan nenek moyangmu dahulu,
maka katakanlah hal itu kepadaku. Aku hendak mendengarnya. Dan jika engkau
menganggap bahwa orang-orang tuamu dan nenek moyangmu itu lebih baik dari pada
kamu, pada hal mereka itu dengan sungguh-sungguh menyembah dan memuliakan
Tuhan-Tuhan yang engkau hinakan sekarang ini, maka cobalah hal itu engkau
katakan kepadaku Muhammad ! Nabi SAW masih tetap diam !
Lalu Utbah melanjutkan lagi pembicaraannya :
”Sekarang bagaimanakah Muhammad, apa yang menjadi
kehendakmu dengan mengadakan agama baru itu? Saya mau tahu, Muhammad !
Jikalau dengan mengadakan agama baru itu, engkau
mempunyai hajat ingin memilki harta benda, kami kaum bangsawan Quraisy sanggup
mengumpulkan harta benda buat kamu, sehingga nanti kamu menjadi seorang yang
kaya diantara kami;
jikalau kamu menghendaki dengan agama barumu itu
kemuliaan dan ketinggian derajat, maka kami sanggup menetapkan engkau menjadi
seorang yang paling mulai dan paling tinggi derajatnya diantara kami, dan
kamilah yang akan memuliakanmu;
jikalau kamu ingin menjadi raja, maka kami sanggup
mengangkat kamu menjadi raja kami, yang memegang kekuasaan diantara kami, yang
memerintah kami, dan kami semuanya tidak akan berani memutuskan sesuatu perkara
melainkan dengan izinmu atau dari keputusanmu;
jikalau engkau menghendaki wanita-wanita yang paling
cantik, sedangkan kamu tidak mempunyai kekuatan untuk mencukupi kjeperluan
mereka maka kami sanggup menyediakan wanita bangsa Quraisy yang paling cantik
diantara wanita Quraisy lainnya, dan pilihlah sepuluh orang atau berapa saja
yang kamu mau dan kamilah yang akan mencukupkan keperluan mereka masing-masing,
dan engkau tidak usah memikirkan keperluan mereka itu;
jikalau kamu menderita penyakit, maka kami sanggup
mencari obatnya dengan harta benda kami sampai kamu menjadi sehat kembali
meskipun harta benda kami menjadi habis asalkan engkau sehat kembali tidak
apalah bagi kami;
dan jikalau kamu menginginkan hal-hal lain selain
hal-hal itu, maka coba katakanlah kepadaku, asal engkau mau menghentikan
perbuatan-perbuatanmu seperti yang sudah-sudah. ! Coba kamu katakan kepadaku,
pilihlah salah satu dari hal-hal yang telah aku katakana ini, mana yang kamu
inginkan katakanlah kepadaku”
Selama Utbah berbicara itu, Nabi SAW diam sambil
mendengarkan ! Kemudian beliau berkata : “Sudahkah selesai hal-hal yang engkau
katakan kepadaku ?”
Utbah menjawab : “Yah saya selesaikan sekian dulu”
Nabi berkata : “Oh begitu, ! baiklah sekarang saya
minta kamu mendengarkan perkataanku, sebagai jawaban kepadamu. Maukah kamu
mendengarkannya?”
Utbah menjawab :” Baiklah, katakanlah kepadaku
sekarang juga”
Nabi SAW lalu membaca ayat-ayat dari Al-Qur’an surat
Fushilat ayat 1 sampai dengan ayat 14 yang baru diturunkan Allah beberapa hari
yang lalu :
BISMILLAAHIR RAHMAAN NIRRRAHIIM
HAA MIIM
TANZIILUN MINAR RAHMAANIR RAHIIM
KITAABUN FUSHSHILAT AAYAATUHU QUR’AANAN ARABIYYAN
LIQAUMINY YA’LAMUUN
Dan seterusnya sampai dengan ayat 14 (lihat saja di
Mushaf Al-Qur’an)
Baru sampai sekian Nabi membaca ayat-ayat Al-Qur’an
maka dengan segera Utbah menegur dan berkata : “Cukuplah Muhammad, cukup sekian
dulu Muhammad, cukuplah sekian saja ! Apakah kamu dapat menjawab dan berkata
dengan yang lain selain itu”
Nabi SAW menjawab :”Tidak !”
Utbah lalu diam tidak dapat berkata lebih lanjut,
semua yang hendak dikatakan telah hilang musnah dengan sendirinya, segala
rencana yang hendak dikemukakan untuk memperdayakan Nabi lenyap dengan tidak
disangka-sangka, bahkan hatinya menjadi tertarik dengan mendengarkan apa yang
dibacakan oleh Nabi.
Oleh sebab itu, dengan segera ia lalu pulang ke
rumahnya dengan mengandung satu perasaan yang sebelumnya tidak disangka-sangka
akan memilikinya, sehingga ia tidak tahu, apa lagi yang akan dikatakan kepada
Muhammad. Memang bukan main kata-kata yang diucapkan Muhammad itu. Selama
hidupku aku belum pernah mendengar kata-kata yang semacam itu. Memang sungguh
sedaplah rasanya rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh Muhammad itu.
Laporan Uthbah.
Setiba Utbah dirumahnya dengan mengandung perasaan
yang mengganggu tadi, maka dengan hati yang sangat pedih, beberapa hari lamanya
ia tinggal saja di rumahnya, tidak berani keluar dari rumah menunjukkkan
mukanya kepada mereka yang mengutusnya.
Oleh sebab itu mereka (para pemuka musyriqin Quraisy)
itu lalu datang ke rumahnya, untuk menanyakan kepadanya tentang hasil yang
diperolehnya sebagai seorang utusan yang terhormat. Pada waktu itu Utbah sangat
berdebar-debar hatinya, sangat pucat raut mukanya. Akibat rasa takut kepada
mereka. Sekalipun begitu namun terpaksa ia melaporkan apa yang sudah
dikerjakannya sebagai seorang utusan yang amat dipercaya, dia menguraikan
tentang hal ihwal ketika bertemu dengan Nabi SAW, dan menerangkan jalannya
percakapan antara dia dan Nabi SAW, serta ucapan Nabi sebagai jawaban atas
pembicaraannya.
Utbah terpaksa melaporkan kepada mereka, karena dikala
itu seorang diantara mereka ada yang mendesaknya dengan cara mengejeknya;
katanya kepada mereka : ”Sesungguhnya Utbah telah datang dari pertemuannya
dengan Muhammad, tetapi kedatangannya kepadamu sekarang ini dengan roman muka
yang lain dari roman muka ketika ia pergi kepada Muhammad”
Kemudian mereka berkata kepada Utbah :”Apakah yang ada
di belakang kamu, wahai Abal-Walid?”
Disinilah Utbah lalu terpaksa melaporkan kepada
mereka.
Kata Utbah :
“Demi Allah, aku sudah menyampaikan kepada Muhammad
semua yang diserahkan kepadaku. Sedikitpun aku tidak tinggalkan apa yang kamu
katakan kepadaku, untuk kukemukakan kepada Muhammad, bahkan aku menambah
beberapa keterangan yang sangat jitu dan penting pula”.
Mereka berkata :”Ya, habis bagaimana ? Apakah Muhammad
memberi jawaban kepadamu ?”
Utbah menjawab :”Ya, dia memberi jawaban kepadaku,
tetapi demi Allah, aku tidak mengerti yang diucapkan oleh Muhammad. Sungguh,
sedikitpun aku tidak mengerti, melainkan aku mendengar dari padanya, bahwa dia
mengancam kamu semua dengan petir, seperti petir yang dipergunakan untuk
membinasakan kaum-kaum Ad dan Tsamud”.
Salah seorang dari mereka berkata :”Celakalah engkau
hai Utbah ! Mengapa engkau sampai tidak mengerti perkataanya ? Sedang ia
berbicara dengan bahasa Arab, dan Engkau berbicara kepadanya dengan bahasa Arab
juga bukan?”
Utbah menjawab :”Demi Allah ! Sungguh aku sama sekali
tidak dapat mengerti perkataannya, melainkan ia menyebut-nyebutkan kata
:”Shaa’iqah” (petir)”
Mereka bertanya :”Mengapa begitu hai Utbah ?”
Utbah menjawab :”Demi Allah ! Selama hidupku belum
pernah mendengar perkataan seperti perkataan Muhammad yang diucapkan kepadaku.
Karena perkataannya itu akan kuanggap syi’ir, bukan syi’ir karena dia bukan
ahli syi’ir; dan akan kuanggap perkataan tukang ramal, ia bukan seorang tukang
ramal; dan akan kuanggap perkataan orang gila, ia bukan orang gila. Sungguh
perkataannya yang telah kudengar itu akan ada satu urusan penting. Sebab itu
aku pada waktu itu tidaklah dapat menjawab perkataannya sepatahpun”.
(Sumber : Kelengkapan tarich Nabi Muhammad saw
penerbit Bulan Bintang disusun oleh KH Munawar Chalil halaman 322 – 330)
Dari keterangan sejarah tersebut diatas, tentunya
tidak dapat dibantah bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi serumpun dengan
bahasa Arab, sama-sama berasal dari bahasa yang diajarkan Allah kepada Nabi
Adam, kemudian menurun kepada Nabi Nuh, sampai akhirnya bangsa Ad dan Tsamud
karena menyimpang dengan permainan Dzulumat menurut Sunnah Syayathin dihancurkan
oleh Allah negerinya, dan sisa-sisa dari mereka itu masih berbahasa yang mirip
dengan bahasa Al-Qur’an tetapi kesadarannya sudah bukan berkesadaran Nur
menurut Sunnah Rasul.
Ada beberapa hal yang memang bahasa Arab mirip dengan
bahasa Al-Qur’an seperti sama-sama menggunakan huruf hijaiyyah dari alif sampai
dengan ya, sama-sama bila ditulis dari kanan ke kiri kecuali angka-angka, namun
perbedaan yang paling prinsipil adalah menganai makna dari kedua bahasa itu.
Bahasa Arab sampai hari ini, terus beradaptasi dengan
bahasa-bahasa lain di dunia ini, seperti kita ketahui banyak istilah-istilah
teknologi dari barat masuk menjadi bahasa Arab, tetapi bahasa Al-Qur’an
semenjak turun sampai dengan kiamat nanti tidak pernah bertambah dengan
kata-kata apapun, karena makna dari ayat-ayat Al-Qur’an sudah lengkap sampai
dengan akhir zaman.
Bahasa Arab, maknanya tergantung dari kamus atau orang
yang berbicara, sedangkan bahasa Al-Qur’an maknanya harus dari Allah menurut
Sunnah Rasul-Nya, sehingga membaca Al-Qur’an dengan mengambil pengertian tidak
dari sumbernya sama dengan mencampur-adukkan antara yang hak dengan yang
bathil.
Seperti kita ketahui sekarang ini ayat Al-Qur’an dari
Allah, tapi maknanya dari kamus bahasa Arab, ini sudah menyalahi methodology
Nur menurut Sunnah Rasul.
Tata bahasa Arab yang disusun untuk mengukur salah
benarnya satu perkataan, ternyata ada yang bertentangan dengan Al-Qur’an
misalnya seperti setiap huruf jar maka kata setelah itu harus majrur, misalnya
min ba’di, tetapi dalam Al-Qur’an ada kalimat min ba’du, apakah mau menyalahkan
Al-Qur’an dengan tata bahasa yang disusun oleh manusia, disini kawan harus
mengerti pelajaran tentang Al-Qur’an satu subyek study, sehingga bukan Nahu
syarraf sebagai subyek tapi Al-Qur’an itulah sebagai subyek, maka dengan
demikian perlu untuk disusun kembali pelajaran Tata Bahasa Al-Qur’an dengan
referensi Tata bahasa Arab.
Kita memahami bahwa ada orang yang tidak bisa menerima
jikalau kita katakan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Nur.
Hal ini berhubungan dengan perkataan dalam Al-Qur’an
yang berbunyi : “Bilisaani qaumihi” yang berarti dengan bahasa qaumnya. Kaumnya
Nabi Muhammad menurut manusia adalah kaum Quraisy, pada hal kaumnya Nabi
Muhamad ialah para Nabi semuanya, mulai dari Nabi Adam sampai dengan Nabi Isa
ibnu Maryam itulah kaumnya Nabi Muhammad, mereka semua berbahasa dengan bahasa
yang sama dengan bahasa Al-Qur’an. Oleh karena semua Nabi-Nabi mempunyai kitab
dengan namanya sendiri-sendiri, namun mempunyai persamaan dalam makna dan sudut
memandang Nur menurut Sunnah Rasul maka bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Nur,
bahasa inilah yang akan dipakai di Jannah nanti.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad menyatakan :
UHIBBUL ARABA ‘ALAA TSALAATSIN, LIANNII ARABIYYUN,
WAL-QURAAN ARABIYYUN, WALISAANAL JANNATI ARABIYYUN
Aku mencintai Arab atas tiga alasan, oleh karena saya
pribadi serumpun atau sekuarga dengan Arab, bahasa Al-Qur’an adalah bahasa yang
serumpun dengan bahasa Arab, dan bahasa yang dipergunakan di jannah nanti juga
bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab.
Oleh karena itu maka study ini harus mengkaji lagi
Al-Qur’an sebagai satu bahasa, yang menyangkut persoalan tata bahasa Al-Qur’an,
Sastra Al-Qur’an, sehingga kawan akan dapat memahami Al-Qur’an bukan hanya dari
sisi bahasa tapi juga dari sisi wawasan Al-Qur’an menurut Sunnah Rasul-Nya.
Demikianlah uraian Al-Qur’an bukan bahasa Arab,
disajikan sebagai bahan pemikiran umat, agar tidak tertipu dengan bahasa Arab
sehari-hari, karena nilai makna dan sastra dari bahasa Al-Qur’an begitu tinggi
sehingga banyak ahli bahasa Arab pun mengaguminya.)by unnanoche)