Mencari Malam Kadar
THE JAMBI TIMES - BEKASI - Saya mengerti sekarang. Tapi mudah-mudahan saya salah atau keliru. Supaya tidak sombong dan terus belajar.
Jadi, kata perintah taharrau (ŲŖَŲَŲ±َّŁْŲ§) dalam hadis, yang berarti carilah oleh kalian
itu telah disalahpahami, atau setidaknya telah diterjemahahkan secara
naif bin lugu. Yaitu secara harfiah. Lah, memang tidak boleh memahami
hadis (dan Al-QurĆ£n) secara harfiah? Boleh dooong. Tapi tidak untuk
keseluruhan. Sebagian boleh harfiah. Sebagian lain harus sesuai
konteksnya. Dan yang dimaksud konteks di sini, terutama, adalah ‘bentuk
kesadaran’ atau ‘pola fikir’ yang hendak diajarkan Allah kepada hambaNya
(mu’min). Bila anda mau gunakan istilah hermeunitika juga boleh. Tapi
dengan catatan harus hermeunetika versi Allah, bukan versi para penafsir
Bible.
Jadi, dengan bentuk kesadaran (pola fikir) yang khas, para mu’min
diminta menyadari bahwa yang harus dicari pada likuran (21, 23, 35, 27)
bulan Ramadhan itu bukan lailatul-qadr(i) dalam arti sesuatu yang
misterius, tapi sesuatu yang nyata, yaitu nilai dari lailatul-qadr itu
sendiri sebagai momentum penurunan Al-QurĆ£n. Di sini yang harus dicatat
adalah nilai dan fungsi Al-QurĆ£nnya sendiri, bukan momentum malam
kadarnya, karena malam itu tak akan punya arti bila tak ada peristiwa
penurunan Al-QurĆ£n. Lagipula, bila yang dicari momentumnya, maka
ingatlah bahwa sebuah momentum tidak terjadi berulang.
Coba anda fikir, malam bulan purnama itu menjadi indah karena apa?
Tentu karena ‘mekarnya’ bulan. Bila tidak ada bulan purnama, maka
malam-malam akan datang dan pergi tanpa kesan.
Nah, untuk malam kadar, yang memberi nilai itu Al-QurĆ£n. Bila Al-QurĆ£n tidak turun pada malam itu, maka malam itu tak berarti.
Lalu, sekarang kita disuruh “mencari” malam kadar. Mencari ke mana dan bagaimana? Dalam hari-hadis dikatakan mencarinya dengan Ć®mĆ£nan wahtisĆ£ban. Kira-kira
dengan sikap iman dan perhitungan. Dan imannya bukan “percaya” saja,
tapi melibatkan jiwa, konsep, dan tindakan, dan perhitungan matematis,
atau perhitungan yang mengedepankan rumusan sebab-akibat.
Jadi, pa yang hrus dicari pada malam-malam likuran itu?
Inghatlah bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al-QurĆ£n (Al-Baqarah ayat
185). Dan sebuah hadis menyebutkan bahwa Rasulullah ditemui Jibril pada
bulan Ramadhan, untuk menemani beliau mengulangi hafalan Al-QurĆ£n.
Mengulang hafalan Al-QurĆ£n itu dilakukan, antar lain, dengan cara shalat tahajud (qiyĆ£mur-Ramadhan), yang sekarang kita kenal sbagai shalat tarawih.
Selama sebulan penuh Rasulullah ditemani Jibril ‘tadarusan’.
Menjelang akhir Ramadhan breliau melakukan i’tikaf, yang secara harfiah
berti ‘diam’. Apakah diamnya berarti bengong? Bukan. Diamnya dalam arti
merenung. Lalu, apa alat untuk merenungnya? Apa lagi kalau bukan
Al-QurĆ£n?
Nah! Jadi, “carilah” itu maksudnya renungkan makna hidup ini dengan
Al-QurĆ£n, yang sudah dibaca dalam shalat tahajud dan sudah ditadarusi
selama 20 hari. Apa yang bisa disimpulkan?
Bila kesimpulannya adalah bahwa diri ini masih serba salah (banyak
berbuat salah), maka perenungan itu akan memperbaiki kesalahan-kesalahan
masa lalu, karena kita tak akan mengulangi lagi.
Bila kita berhasil menemukan kesalahan-kesalahan masa lalu setelah
mencarinya dengan bantuan Al-QurĆ£n, yang kita baca melalui tadarus dan
shalat tahajud, maka berarti kita telah menemukan nilai malam kadar.
Jadi, bertemu nilainya, yang berarti nilai Al-QurĆ£n itu sendiri bagi
kehidupan kita. Bukan bertemu lailatul-qadr yang misterius dan mistis.
Begitulah.
Mudah-mudahan saya salah atau keliru, dan anda mengoreksinya. Lalu saya belajar lagi.
Tapi kalau pun benar, saya akan terus belajar!
A.Husein, Bekasi, 4 Juni 2016.