Sertifikat Prona Tidak di Pungut Biaya
(Foto:Ilustrasi) |
The Jambi Times - Muara Sabak -Kasubbag Tata Usaha Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Wikangtadi mengatakan, pembuatan
sertifikat tanah dibedakan menjadi dua jenis, pertama jenis pembuatan
sertifikat rutin dan kedua jenis pembuatan sertifikat melalui program
Prona. Untuk pembuatan sertifikat rutin dibedakan menjadi dua
klasifikasi lagi yakni sertifikat pertanian dan non pertanian. Untuk
biaya sertifikat rutin pertanian dikenakan biaya Rp 1.700.000 per hektar
diluar BPHTB yang menjadi
beban pemohon.
Sedangkan untuk biaya pembuatan sertifikat rutin non pertanian
dengan luasan yang sama, biayanya hampir dua kali lipat biaya pembuatan
sertifikat rutin pertanian.
Biaya tersebut digunakan untuk biaya pengukuran yang disetorkan ke
kas Negara sebesar Rp 1.100.000, lalu biaya panitia Rp 550.000 per
hektar, kemudian biaya pendaftaran terbit sertifikat Rp 50 ribu,
selanjutnya biaya transportasi dan akomodasi ditanggung oleh pemohon,
termasuk biaya lain yang berkenaan dengan BPHTB yang juga dibebankan
kepada pemohon.
Sedangkan persyaratan yang harus dilengkapi yakni foto
kopi KTP, melampirkan dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan tanah
berupa sporadic. “Didalam sporadic itu harus dijelaskan riwayat
kepemilikan tanah. Kalau misalnya jual beli maka harus dilampirkan
kwitansi dan pendukung lainnya,” jelasnya. Selain itu juga harus
dilampirkan bukti lunas PBB tahun berjalan dan pajak-pajak yang harus
dibayar.
Sedangkan untuk pembuatan sertifikat melalui program
Prona menurut Wikangtadi, biayanya ditanggung oleh Negara, sedangkan
syarat administrasi lebih kurang sama dengan persyaratan pembuatan
sertifikat rutin, hanya karena pengurusannya bersifat kolektif biasanya
harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan perangkat Desa/Kelurahan.
“Pada pembuatan sertifikat Prona ini biasanya patok belum ada sehingga
dibebankan kepada si pemohon itu sendiri untuk menyediakan patok,”
katanya.
Wikangtadi menegaskan, dalam program Prona tidak ada biaya yang
di bebankan kepada masyarakat/pemohon sepanjang administrasi dan syarat
kelengkapan terpenuhi. “Kita turun tanpa sepeserpun kalaupun ada servis
akomodasi itu kita tidak minta,” tegasnya.
Wikangtadi bahkan menyatakan bila ada oknum BPN yang melakukan
pungutan maka hal itu merupakan Pungutan liar (Pungli) dan tentunya
merupakan pelanggaran. “Kalau ada oknum yang “bermain” dengan perangkat
Desa untuk tujuan menerima bayaran dari proses prona maka itu bias
ditindak sesuai aturan,” tegasnya lagi.
Lalu mengapa dalam proses pembuatan sertifikat Prona ada yang
sebentar dan ada yang lama. Ditanya demikian Wikangtadi memberikan
penjelasan, kata dia lamanya pembuatan sertifikat Prona biasanya
didasari kurangnya partisipasi masyarakat dalam memenuhi syarat
kelengkapan atau objek tanah yang belum dirintis. “Misalnya tanah yang
ingin dibuatkan sertifikat belum memiliki patok dan syarat kelengkapan
lain yang belum terpenuhi sehingga menjadi hambatan tersendiri,”
katanya.
Kendala lain yang juga menjadi penyebab lambatnya pengurusan
sertifkat Prona, kata dia adalah SDM dan jumlah juru ukur yang terbatas
sementara objek yang ingin diukur sangat banyak. “Personil juru ukur
kita hanya empat orang, satu diantaranya masih tugas belajar, bias
dibayangkan bagaimana kita melayani banyaknya pemohon yang ingin
dibuatkan sertifikat,” jelasnya.
Wikangtadi mengakui, pihaknya sudah mengajukan untuk menambah
personil juru ukur namun hingga kini belum teralisiasi. “Masalah ini
menjadi masalah klasik dan menjadi kendala hampir di seluruh daerah,”
sebutnya.
Sementara itu, menurut informasi dari salah seorang sumber yang
sering mengurus sertifikat melalui program Prona mengaku dalam hal
pelayanan petugas BPN telah memberikan pelayanan yang baik, namun kata
dia dalam hal pengurusan sertifikat, pemohon dibebankan biaya sebesar
kurang lebih Rp 700 ribu per sertifikat. “Biaya itu tidak jelas
peruntukannya untuk apa dan untuk siapa,” jelas sumber yang
mewanti-wanti agar namanya tidak disebutkan itu.
Menurutnya uang sebesar kurang lebih Rp 700 ribu itu sebutnya bukan
rahasia umum, uang itu tidak dipungut oleh petugas BPN, tetapi dipungut
oleh pihak RT yang berperan sebagai mediator yang mengurusi proses
pembuatan sertifikat. “Yang membuat kita heran itu adalah, jika kita
tidak menyetor uang Rp 700 ribu itu sertifikat tetap bias keluar, hanya
saja tidak bisa diterima oleh masyarakat yang memohon, dengan kata lain
kalau menyetor Rp 700 ribu, sertifikat ditangan, tetapi jika tidak
sertifikat itu hanya bisa muncul namun tidak bisa diterima,” sebut
sumber tersebut.
Menariknya lagi kata sumber itu, ketika masyarakat menanyakan
kegunaan uang yang jumlahnya kurang lebih Rp 700 ribu itu, pihak RT
menyatakan bahwa dirinya hanya mendapat perintah dari Kades atau Lurah.
“Sebenarnya bagi sebagian masyarakat mereka tidak keberatan, tapi bagi
masyarakat yang ekonominya lemah, uang sejumlah kurang lebih Rp 700 ribu
memberatkan bagi mereka,” pungkas sumber tersebut.(51N)