Toleransi yang Kebablasan
Oleh : HG Sutan Adil
Beberapa hari terakhir ini, sejak awal ramadhan terjadi banyak perdebatan mengenai adanya pelarangan beroperasinya rumah makan dan sejenisnya di siang hari. Banyak masyarakat yang tidak paham tentang larangan ini dan menyesalkan larangan tersebut, tanpa paham maksud dan tujuan dari larangan itu alias gagal paham.
Yang sedang ramai di perbincangkan sekarang ini adalah larangan beroperasinya rumah makan dan sejenisnya di wilayah Kota Serang, Banten. Kebijakan ini telah sesuai dengan Perda Kota Serang No. 2 tahun 2010 dan adanya surat Imbauan Bersama nomor 451.13/335-Kesra/2021 tentang Peribadatan Bulan Ramadhan dan Idul Fitri, diatur bahwa restoran dan sejenisnya tutup pada pukul 04.30 WIB hingga 16.00 WIB.
Yang harus dipahami itu bukanlah merupakan pelarangan operasional usaha, tetapi hanya menggeser jam operasi usaha saja, dari siang menjadi buka sore hari sampai subuh. Hal ini adalah dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan dimana umumnya masyarakat Kota Serang adalah ummat muslim yang “diwajibkan” sesuai syarit islam, untuk beribadah saum/puasa di siang hari.
Sebagai masyarakt non muslim yang tidak diwajibkan berpuasa, sewajarnya menghormati aturan tersebut dan juga sebagai rasa toleransi terhadap warga muslim yang mayoritas. Aturan perda tersebut dibuat adalah untuk mengatur hubungan antar masyarakat agar tetap harmonis dan saling menghargai dan mengurangi resiko kesalah pahaman antar masyarakat itu sendiri.
Harusnya aturan tersebut dipahami oleh semua ummat beragama dalam rangka saling menghargai dalam melaksanakan ibadahnya masing masing dan tidak perlu ada upaya mendiskreditkan ibadah ummat tertentu. Inilah arti Toleransi yang sebenar benarnya.
Hal ini sama juga dengan apa yang terjadi di Provinsi Bali, dimana dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, mewajibkan seluruh Warga Bali yang mayoritas beragama Hindu dan warga lainnya yang non hindu, termasuk wisatawan yang ada di wilayah provinsi Bali untuk tidak boleh menyalakan listrik dan api, tak mendengarkan musik, tak bepergian, tinggal di dalam rumah, serta usulan untuk tak menyalakan internet dan tak melakukan siaran media massa selama peryaan Nyepi. Selain itu, malah Bandara dan Pelabuhan Laut di Bali ditutup dan dilarang beroperasi satu hari penuh serta ratusan penerbangan menuju dan dari Bali ditiadakan selama perayaan Nyepi tersebut.
Dengan peraturan tersebut, ummat Muslim dan ummat non hindu lainnya yang minoritas terpaksa tunduk kepada aturan yang ada, dan hal semacam ini tidak ada permasalahan dari berbagai pihak dan lembaga negara sampai saat ini. hal inilah menunjukkan betapa tingginya toleransi yang dilakukan ummat muslim di Indonesia dan ummat non hindu terhadap ummat Hindu yang merupakan mayoritas di Provinsi Bali itu.
Toleransi juga dilakukan oleh ummat muslim yang meninggal pada hari raya Nyepi tersebut, dimana mana bila terjadi musibah kematian ummat muslim pada hari raya Nyepi , maka pemakamannya dilakukan pada hari berikutnya, padahal hal ini tidak sesuai dengan syariat islam itu sendiri.
Toleransi seperti inilah yang harus dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia terhadap keberagaman dan kebhinekaan yang terjadi. Inilah bentuk Toleransi yang sebenar benarnya dan bukan justru ummat mayoritas harus bertolerensi kepada ummat yang minoritas.
Yang sangat disayangkan dan tidak toleran alias tolansi kebablasan itu justru diperlihat oleh Kementrian Agama yang sangat tidak menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan Kota Serang dalam melaksanakan tugasnya.
Melalui juru bicaranya, Abdul Rochman, menyatakan kebijakan tersebut bisa berdampak pada pembatasan akses sosial masyarakat dalam bekerja atau berusaha. Malah Abdul Rocman menegur dan meminta Pemkot Serang dapat meninjau kembali kebijakan tersebut, alasannya adalah kebijakan itu dinilai bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Seharusnya Kemenag itu juga menegur dan meminta Pemerintahan Provinsi Bali mencabut Perda yang sudah berumur 18 tahun itu, yang justru melarang dengan tegas dan bukan menunda waktu saja dan sangat dengan jelas sangat bertentangan dengan Hak Azazi Manusia.
Padahal tindakan Kemenag inilah yang tidak bertoleransi atau toleransi yang kebablasan terhadap agama tertentu dan mendiskreditkan agama islam yang mayoritas di negeri ini. Sebaiknya kemenag urusi tugasnya saja dan bersikap adil terhadapat semua agama yang ada di Indonesia ini dan adil itu juga tidak harus sama rata.
Penulis adalah Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia
