Ambiguitas Sertifikasi Wartawan dan Verifikasi Media
Penulis:
Wilson Lalengke, adalah Ketua Umum PPWI, Alumni PPRA-48 Lemhannas RI,
Lulusan Pascasarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University
Inggris dan Applied Ethics dari konsorsium Utrecht University Belanda
dengan Linkoping University Swedia, Sekjen Kappija-21 (Keluarga Alumni
Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad 21)
Media Kabarbangka.Com mempublikasikan berita tentang daftar 57 calon
kabupaten baru dan 8 calon provinsi baru tertanggal 21 Juni 2019. Berita
itu kemudian direspon sehari kemudian oleh Pusat Penerangan Kementerian
Dalam Negeri Republik Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa
informasi tersebut tidak benar alias bohong. "Kabarbangka.com telah
menyebarkan Hoax Daerah Pemekaran. Hoax tersebut memfitnah institusi
Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini telah mengaku mendapat rilis
resmi dari Puspen Kemendagri. Padahal, rilis tersebut tidak pernah
ditulis dan disebarkan Puspen Kemendagri." Demikian rilis yang dapat
dibaca di situs resmi Kemendagri.go.id.
Rilis
Puspen Kemendagri selengkapnya di sini:
https://www.kemendagri.go.id/blog/31749-Kabarbangkacom-Telah-Menyebarkan-Hoax-Daerah-Pemekaran
Lebih
jauh, pihak Kementerian menganggap bahwa pembuatan dan publikasi berita
bohong tersebut dianggap sebagai kejahatan, dan akan dilaporkan ke
Dewan Pers untuk diproses sesuai mekanisme yang berlaku. "Segera kami
laporkan ke Dewan Pers. Media tersebut telah melakukan kejahatan,
mengarang dan menyebar fitnah," tegas Bahtiar Baharudin, Kepala Pusat
Penerangan Kementerian Dalam Negeri.
Romlan,
pimpinan redaksi Kabarbangka.Com, telah mengaku khilaf dan meminta maaf
atas kesalahan tersebut. Dirinya juga sudah menghapus isi berita bohong
atau populer disebut hoax itu dari situs media Kabarbangka.com dan
menggantinya dengan ungkapan permintaan maaf kepada publik, Kementerian
Dalam Negeri serta DPR-RI.
Langkah kesatria
mengakui kesalahan dan meminta maaf sang pemimpin redaksi Romlan tentu
patut diapresiasi. Penulis secara pribadi, dan organisasi PPWI
(Persatuan Pewarta Warga Indonesia) sangat menghargai sifat baik untuk
mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada publik dan para pihak terkait
yang merasa dirugikan. Semoga ketulusan hati dan permintaan maaf itu
dapat dipertimbangkan oleh para pihak, seperti Kementerian Dalam Negeri,
DPR-RI dan Dewan Pers.
Namun begitu, kasus
Romlan dan Kabarbangka-nya itu tidak dapat dilihat sepintas lalu saja
sebagai hal yang lumrah, dan dibiarkan berlalu tanpa makna. Kasus ini
sesungguhnya sangat krusial dan fenomenal, ia ibarat titik puncak kecil
gunung es yang tampak di permukaan air saja. Persoalan substansial yang
amat besar, yang selama ini tenggelam di bawah permukaan, semestinya
dikeker dan dicarikan solusinya oleh semua kalangan, terutama pemangku
kewenangan terkait media massa dan pemberitaan.
Harap
diketahui bahwa Romlan itu adalah pemegang Sertifikat Wartawan Utama
yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan
ditandaptangani oleh Ketua Dewan Pers. Seorang wartawan utama, tentulah
sudah melewati berbagai pelatihan dan praktek serta pengalaman
bermedia-massa dan melakukan tugas jurnalistik yang cukup panjang.
Romlan sudah pasti melangkah dari tahap sertifikasi wartawan pemula,
wartawan madya, untuk kemudian mengikuti ujian kompetensi wartawan
utama.
Berdasarkan fakta tersebut, patutlah
kita berasumsi bahwa pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan, yang
oleh banyak pihak dianggap sebagai kebijakan “memandai-mandai”, meminjam
istilah orang Sumatera, selama ini banyak menyimpan masalah dan
penyimpangan. Seorang rekan wartawan senior Metro-TV beberapa waktu lalu
menyatakan enggan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) karena
menurutnya, dia adalah sarjana ilmu komunikasi dari perguruan tinggi
ternama di Surabaya, plus sudah mengikuti magang yang ketat, plus (lagi)
pengalaman sebagai wartawan di berbagai posisi yang cukup lama.
Sementara, kata dia lagi, penguji UKW itu adalah orang-orang yang tidak
paham jurnalistik, atau jikapun penguji adalah orang media, ilmu mereka
sudah out-of-date alias kedaluwarsa, tidak sesuai dengan kemajuan zaman.
Dari
informasi yang terhimpun, Romlan diduga hanyalah tamatan Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Dengan tingkat pendidikan yang demikian itu,
sangat dapat diprediksi kemampuan jurnalisme yang bersangkutan. Anehnya,
PWI dan Dewan Pers tidak hanya memberikan kelulusan sebagai wartawan
utama, tetapi juga mempercayakan yang bersangkutan menjadi salah satu
penguji UKW. Keadaan itu menandakan bahwa sangat patut diduga dalam
proses UKW itu ditumpangi oleh kepentingan pribadi para oknum terkait,
seperti oknum di institusi PWI, oknum Dewan Pers dan yang bersangkutan
sendiri.
Dari situs media Kabarbangka.com, kita
juga dapat melihat bahwa media ini sudah diverifikasi dan mendapatkan
Sertifikat Dewan Pers. Selama ini, publik memahami sertifikat Dewan Pers
yang diberikan kepada sebuah institusi media massa sebagai stempel
halal bagi media tersebut melakukan kerja-kerja jurnalisme. Jadi,
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sajian media berstempel halal
dari Dewan Pers merupakan makanan sehat dan halal bagi masyarakat.
Dengan
pemahaman seperti itu, publik dapat menilai kondisi media
Kabarbangka.com yang dihalalkan oleh Dewan Pers, baik secara fisik
tampilan atau desain media yang amat sederhana maupun dari isi
pemberitaannya. Mempublikasikan berita bohong dan mencatut nama lembaga
negara di tingkat pusat memerlukan keberanian liar yang luar biasa bagi
seorang jurnalis. Mungkin sekali, keberanian semacam ini yang dinilai
Dewan Pers sebagai sesuatu yang layak dijadikan indikator kelulusan
sebuah media massa untuk diberikan sertifikat halal.
Benar,
semua orang bisa salah, bisa khilaf, bisa alpa. Setinggi apapun tingkat
pengetahuan, tingkat pendidikan, tingkat keprofesionalan dan kehandalan
seseorang; pun setinggi apapun tingkat moralitas seseorang, ia dapat
saja sewaktu-waktu tergelincir dalam kesalahan. Demikian juga dalam
persoalan jurnalisme. Wartawan legendaris bisa salah, seperti juga
wartawan pemula. Media sekelas Jawa Pos juga bisa tersandung masalah
pemberitaan bohong seperti pada kasus publikasi terkait berita hoax
ketidak-netralan TNI tempohari.
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa kekeliruan dalam
pemberitaan dapat saja terjadi oleh siapapun, kapanpun, di media
manapun. Sepanjang khilaf dan alpa masih menjadi bagian manusiawi dari
manusia, maka kesalahan publikasi media massa, apalagi media sosial,
sangat mungkin terjadi di mana-mana. Terlebih lagi bicara informasi,
yang tiada satu informasipun di dunia ini yang bebas nilai, bebas
kepentingan, imparsial seratus persen. Informasi juga, selengkap apapun,
sedetil apapun, seprofesional apapun, secanggih apapun pengerjaannya,
pasti tetap mengandung “error” atau kesalahan. Hasil penelitian ilmiah
bidang ilmu pasti saja tidak bebas dari faktor margin error.
Level
wartawan utama tidak menjamin pemiliknya mampu bekerja profesional,
handal, dan kredibel sesuai predikat sertifikasi yang disandangnya.
Stempel halal media massa yang diberikan Dewan Pers bukan jaminan bahwa
media tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebuah institusi
media harapan publik. Sertifikat UKW dan tanda verifikasi media hanya
kertas mati, yang tidak mutlak dijadikan referensi untuk menentukan
keprofesionalan dan kredibilitas seorang jurnalis dan sebuah media.
Kenyataan
itu bukan berarti perlu dibiarkan, dibiasakan, dan dinihilkan begitu
saja. Proses perbaikan harus tetap menjadi perhatian dan dilakukan
sepanjang hayat. Dalam setiap tahapan jurnalistik, semestinya
peningkatan kualitas keakuratan, kefaktual-an dan keterkinian informasi
menjadi mutlak. Untuk itulah, sifat taat azas wajib menjadi ruh yang
berdiam dan tumbuh di dalam setiap orang, terutama setiap pewarta dan
jurnalis. Prinsip 5W+1H misalnya, harus menjadi landasan suci yang
menjadi rujukan setiap informasi/berita yang akan disampaikan oleh
setiap pembawa berita, bahkan oleh semua orang. Prinsip check and
recheck menjadi sangat penting agar keakuratan dan ke-valid-an setiap
informasi dapat ditingkatkan. Demikian juga dasar filosofi penyebaran
informasi 3B, yakni Benar, Baik, dan Bermanfaat, harus menjadi nafas
kehidupan bagi semua orang, terutama yang berkarya di bidang jurnalisme.
Kembali
ke kasus Romlan dengan Kabarbangka-nya, kiranya puncak gunung es itu
menjadi catatan dan evaluasi bagi para pemangku kepentingan bidang pers,
terutama Dewan Pers yang saat ini dipimpin oleh seorang mantan Menteri
Pendidikan. Kebijakan UKW yang sudah dijalankan hampir 10 tahun terakhir
ini, ditambah verifikasi media, oleh Dewan Pers, telah digugat ke PN
Jakarta Pusat oleh masyarakat pers beberapa waktu lalu. Hasilnya,
gugatan ditolak. Sesungguhnya salah satu esensi gugatan itu adalah bahwa
kebijakan Dewan Pers itu telah mendegradasi hasil pendidikan formal
kesarjanaan dan pengalaman profesionalitas ribuan wartawan selama ini.
Demikian juga dengan verifikasi media yang telah melahirkan diskriminasi
massif, yang salah satunya adalah kekeliruan pemahaman tentang konsep
hakiki tentang media massa sebagai alat penyampai pesan antara
komunikator (pengirim pesan) dan komunikan (penerima pesan).
Kekeliruan
kebijakan Dewan Pers itu menjadi terstruktur dan sistemik ketika para
pemangku kepentingan di daerah-daerah mengaminkannya. Perlakuan
diskriminatif terhadap wartawan yang adalah rakyatnya si pemda sendiri,
dan media massa yang ada di daerahnya, menjadi pemandangan sehari-hari
di hampir setiap sudut negeri ini. Di kalangan aparat negara seperti
Polri dan TNI, kondisinya ibarat istilah para milenials 11-12 dengan
institusi pemda. Bahkan, TNI mewajibkan wartawan yang berminat untuk
mengikuti lomba menulis tentang TMMD harus memiliki sertifikat UKW dan
medianya terverifikasi.
Di dunia bisnis, lebih
parah lagi. Nasib wartawan ibarat tinggal di Afrika Selatan jaman
apartheid, ada kulit putih (ber-UKW) dan kulit hitam (non-UKW). Jika
Anda kulit hitam, jangan sekali-kali berlaku kritis terhadap para
pengusaha. Jika ditemukan pemberitaan faktual namun kritis terhadap
sebuah perusahaan di medianya, jeruji besi menjadi kamar kematian Anda.
Dewan Pers akan dengan mudah tersenyum berlepas tangan hanya dengan
alibi “Yang bersangkutan belum UKW dan atau medianya tidak terverifikasi
Dewan Pers, silahkan masukan ke penjara”.
Lebih
dari semua uraian di atas, yang paling penting untuk dievaluasi oleh
Pengurus Dewan Pers yang baru di bawah M. Nuh sebagai ketuanya, adalah
bahwa kebijakan UKW dan verifikasi media itu bertentangan dengan
semangat yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers. Dari keseluruhan 21 pasal yang ada di Undang-Undang Pers tersebut,
tidak ditemukan satu pasalpun yang secara tegas alias tidak ambigu
dapat dijadikan payung hukum pelaksanaan UKW dan verifikasi media.
Justru yang terjadi adalah bahwa penerapan kebijakan UKW dan verifikasi
media merupakan pembangkangan terhadap pasal 2, 3, 4, 6, 8, 9, dan pasal
15 UU Pers.
Langkah kongkrit yang perlu
diambil sebagai respon atas kasus Romlan dan Kabarbangka.com, dikaitkan
dengan kebijakan UKW dan verifikasi media adalah melakukan moratorium
atas kebijakan tersebut, diikuti dengan audit menyeluruh terhadap UKW
dan verifikasi media selama ini. Audit itu tidak saja meliputi keuangan
negara yang digunakan pengurus Dewan Pers, namun juga terhadap SDM
(wartawan) dan media yang telah tersertifikasi. Auditing SDM itu penting
untuk mengukur tingkat keberhasilan program UKW dan sertifikasi yang
sudah dicapai, apakah berbanding lurus atau tidak dengan pengeluaran
anggaran negara yang sudah digunakan selama ini.