Hak Pendidikan Anak Diuji Sistem Zonasi
Gagasan
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan
bangsa “ menjadi cikal bakal kebijakan sebuah Negara bahwa tidak boleh
ada satu pun rakyatnya yang tertinggal karena tidak mendapatkan hak
pendidikan. Pendidikan menjadi hak setiap rakyat Indonesia. Maka,
menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengimplementasikan tanggung
jawab besarnya dalam mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia tanpa
kecuali.
Persoalan pendidikan yang muncul
belakangan ini berbeda. Kali ini yang menimbulkan polemik dan
perbincangan tiada henti yaitu persoalan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) melalui sistem zonasi.
Kemendikbud
menganggap bahwa sistem zonasi sebagai langkah paling penting dalam
mencapai berbagai pemerataan dalam dunia pendidikan. Dikatakan bahwa
dengan sistem zonasi setiap anak mendapat kesempatan yang sama dengan
fasilitas yang sama. Tidak ada pengistimewaan sekolah favorit - tidak
favorit.
Zonasi menjadi basis data perumusan
kebijakan dalam memetakan dan memberikan intervensi pendidikan, baik
terkait fasilitas sekolah, metode pembelajaran, maupun kualitas dan
distribusi guru, sehingga dapat mempercepat pemerataan mutu pendidikan
di seluruh daerah. Aturan baru mengenai PPDB 2019 tertuang dalam
Peraturan Mendikbud No. 51 Tahun 2018.
Melihat
tujuan PPDB sistem zonasi tentunya menimbulkan harapan besar bagi
pendidikan yang lebih baik bagi setiap anak Indonesia. Namun, untuk
mencapai tujuan tersebut bukan perkara sederhana. Pemerintah melalui
Kemendikbud tidak bisa mengabaikan kondisi yang ada, baik itu kondisi
siswa didik, orangtua, maupun kondisi sekolah negeri yang ada.
Kebijakan
sistem zonasi pada kenyataanya telah menghapus dengan tiba-tiba capaian
nilai Ujian Nasional (UN) anak didik dalam seleksi PPDB. Kondisi ini
sesungguhnya benar benar menghempas semangat anak-anak yang sudah
belajar keras untuk mendapatkan nilai UN terbaik namun berada dalam
zona yang jauh dari sekolah negeri atau bahkan tidak ada sekolah negeri
di wilayahnya.
Kebijakan sistem zonasi yang
berlandaskan sebaran sekolah negeri , justru menafikan fakta bahwa
jumlah sekolah negeri masih kurang dan sebarannya tidak merata di hampir
semua wilayah di Indonesia. Maka, berdasarkan hal ini sudah dapat
dipastikan bahwa sistem ini akan menuai masalah.
Saat
ini, PPDB sistem zonasi memasuki tahun ketiga. Kekhawatiran siswa didik
dan orangtua dengan sistem ini masih terus terjadi, karena minimnya
antisipasi persoalan yang muncul dalam penerapan PPDB sistem zonasi ini.
Dengan
terbatasnya jumlah sekolah negeri maka kemungkinan akan banyak anak
yang tidak tertampung. Terutama pada siswa yang rumahnya jauh dari zona
sekolah, atau tidak ada sekolah negeri di wilayah tempat tinggalnya.
Padahal nilai UN mereka sangat memungkinkan untuk mendapatkan sekolah
negeri .
Mencari sekolah bagi
keluarga dengan keterbatasan ekonomi tidaklah semudah yang dikatakan
Kemendikbud, bahwa ketika anak tidak diterima sekolah negeri, mereka
tetap bisa bersekolah, masih ada sekolah swasta yang mau menampung.
Mencari
sekolah swasta butuh persiapan biaya yang tidak sedikit. Pilihan
sekolah swasta yang sesuai dengan budget mereka pun sulit ditemui .
Belum lagi waktu pendaftaran yang pendek dengan dimulainya tahun ajaran
baru. Bagi anak-anak dari kalangan tidak mampu, ketidakberdayaan
orangtua mereka mendaftarkan ke sekolah swasta akan memunculkan
kemungkinan anak-anak menjadi putus sekolah.
Persoalan
diatas hanya sebagian kecil dari persoalan PPDB sistem zonasi. Masih
banyak persoalan lain yang muncul dalam PPDB sistem zonasi.
Melihat
kondisi ini, seharusnya Kemendikbud mengkaji kembali penerapan sistem
zonasi. PPDB sistem zonasi harus diperbaiki dan disempurnakan agar tidak
merugikan siswa didik.
Kemendikbud juga
seharusnya lebih mengutamakan kebutuhan ketersediaan jumlah sekolah
negeri sebelum memaksakan kebijakan mutlak PPDB dengan sistem zonasi.
Ketersediaan
sekolah-sekolah harus dibarengi dengan pemenuhan fasilitas sarana dan
prasarana yang layak. Sehingga, setiap sekolah mampu melahirkan
anak-anak hebat. Pada akhirnya, para orangtua dan siswa didik pun tidak
akan berebut mendaftar masuk sekolah negeri tertentu karena semua
sekolah memiliki standar yang sama.
Salam
Ena Nurjanah
Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI
087887667328