Pasal Penting Dalam RUU Pembangunan Ibu Kota Negera
Pemerintah
menargetkan penyerahan rancangan undang-undang (RUU) tentang pemindahan
ibu kota ke DPR akhir tahun ini, demikian disampaikan oleh salah satu
menteri periode 2014-2019. Terkait dengan RUU ini, saya melakukan
diskusi interaktif dengan salah satu pakar hukum terkemuka dari
universitas sangat terkemuka pula di Kalimantan Timur (Kaltim) .
Hasil
diskusi tersebut, kami menemukan banyak hal yang urgent yang harus
dirumuskan dalam RUU tersebut agar kelak rencana pemindahan ibu kota
negara tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak mendapat
permasalahan yang signifikan dari aspek hukum. Berikut beberapa
kesimpulan utama.
Keputusan politik pemindahan
ibu kota ke Kaltim akan mempengaruhi bangunan hukum pada masa depan
terutama mendudukan status ibu kota dalam kerangka administratif ke
wilayahan. Dalam perspektif hukum, keputusan ini juga tidak ada yang
salah oleh karena memang kapasitas hukum selalu tidak mampu mengejar
peristiwanya. Hukum sebagai instrumen akan menyesuaikan fakta politik,
dan fakta sosial lainnya. Ini juga sekaligus sebagai respon terhadap
varian persepsi sosial yang 'masih' ada pandangan tidak layak atau layak
atas pemindahan ibu kota.
Suatu catatan
penting dalam diskusi kami, lokasi yang ditunjuk itu sebagai ibu kota
negara yang baru di Kaltim merupakan wilayah Republik Indonesia yang
sama dengan Jakarta. Karena itu, penetapan sebagaian wilayah Kaltim
menjadi ibu kota negara tidak akan pernah akan dianggap salah dari sisi
hukum.
Di sisi lain, proses legislasi akan
terus mengemuka dan tak terhindarkan dari seluruh tahapan proses
pembangunan serta pemindahan ibu kota untuk merespon berbagai kebutuhan
yang terkait dengan pengaturan menganai daerah khusus ibu kota.
Untuk
itu, dalam RUU harus digagas pada beberapa element yang sangat penting
yaitu, aspek kepastian titik koordinat area inti dan penyangga ibu kota,
lahan yang berstatus hak, aspek lingkungan, dan larangan atas praktek
ketidakpastian berusaha terkait dengan pengembangan ibu kota dan
sekitarnya.
Selain itu, dalam RUU tersebut
harus juga dibuat pasal-pasal yang sifatnya antisipatif agar benar-benar
ibu kota yang baru ini dapat diwujudkan. Ada tiga pasal yang sifatnya
antisipatif dalam RUU tersebut.
Pertama,
menetapkan interval waktu dalam bentuk tahun yang terukur proses
pembangunan dan pemindahan ibu kota. Misalnya, pembanguan dan pemindahan
ibu kota negara selama 20 tahun.
Kedua, atas
dasar interval waktu tersebut, dalam RUU mewajibkan setiap presiden
berikutnya melanjutkan pembangunan sesuai dengan bagian yang ditugaskan
kepadanya yang sudah dirumuskan dalam RUU ini.
Ketiga,
perlu dipikirkan dalam RUU tersebut melarang Paslon Capres-Cawapres
mengkampanyekaan penghentian pembangunan dan pemindahan ibu kota.
Keempat,
siapapun (pejabat negera, pemerintah maupun pihak swasta) melakukan
korupsi terkait pembangunan dan pemindahan ibu kota diberi hukuman
sangat berat.
Jika RUU ini dibuat sangat
hati-hati dan bagus, maka dapat mendukung terwujud ibu kota negara kita
yang clean city, beautiful city, green city dan smart city yang bertaraf
internasional.
Oleh karena itu, siapapun kita,
utamanya para politisi, penyelenggara negara, pejabat pemerintah yang
ada di Jakarta harus berbangga dan berbahagia bahwa ada 'wilayah'
pengujian ‘kecerdasan’ baru. Apakah memikirkan Indonesia akan lebih
'secerdas' saat mereka bermukim di Jakarta atau kecerdasan mulai
‘terusik’ saat berhadapan dengan realitas pembangunan pemindahan ibu
kota yang jauh lebih baik? Instrumen hukumlah yang bisa menyadarkan
bahwa memindah ibu kota negara sama sekali bukan perbuatan 'permufakatan
pelanggaran hukum'.