Renungan Shaum (2): Mengapa Ada Perintah Puasa?
THE JAMBI TIMES - Allah meletakkan rahasia
di dalam hukum-hukumNya, menaruh hikmah di dalam peraturan-peraturanNya, dan
tujuan-tujuan dalam ciptaanNya. Dalam rahasia, hikmah, dan tujuan itu terdapat
hal-hal yang bisa ditangkap akal dan hal-hal lain yang membingungkan manusia.
Tentang puasa, Allah menyatakan, “Hai para mu’min! Diwajibkan bagi kalian
berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada kaum mu’min sebelum kalian, agar
kalian mencapai derajat takwa.” (2: 183).
Berdasar
(ayat) itu, puasa adalah (salah satu) cara membentuk keshalihan dan takut
terhadap Allah. Dengan demikian, orang yang berpuasa adalah orang yang paling
dekat dengan Allah. Perutnya menjadi lapar tapi hatinya menjadi bersih. Ketika
ia berbuka dengan makan dan minum, matanya basah oleh tangis.
Kata Rasulullah
kepada kaum muda, “Wahai pemuda! Bila kalian sudah mampu menikah, menikahlah;
karena (menikah) itu memelihara pandangan dan melindungi aurat (dari zina).
(Tapi) bagi yang belum siap menikah, maka berpuasalah; karena puasa itu adalah
perisai baginya (dari zina).
Puasa
mengecilkan lambung dan pembuluh darah. Keduanya adalah jalur bagi masuknya
setan. Dengan puasa, jalur itu dipersempit. Lebih jauh, hal itu melemahkan
segala hasrat tubuh, pikiran dan godaan untuk melakukan pelanggaran. Keadaan
itu juga meringankan jiwa.
Puasa
mengingatkan setiap orang akan saudara-saudaranya, yang juga berpuasa, yang di
antara mereka ada yang miskin dan butuh bantuan. Karena berpuasa timbulah
empati terhadap mereka, sehingga terulurlah tangan untuk memberikan bantuan.
Puasa adalah
sekolah untuk melatih jiwa, membersihkan hati, menjinakkan mata dan melindungi
anggota badan.
Ada rahasia
antara hamba dengan tuannya. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan,
“Segala amal Anak Adam (manusia) adalah untuk diri mereka sendiri, kecuali
puasa. Puasa itu untukKu, dan akulah yang memberikan imbalannya.” Maksudnya,
hanya Allah yang tahu nilai puasa seseorang. Sangat berbeda dengan amal-amal
yang lain seperti shalat, zakat, dan haji, yang bisa dilihat orang lain.[1]
Orang-orang
shalih terdahulu mengakui bahwa puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Bagi banyak orang puasa juga dianggap sebagai sarana persaingan
dan musim untuk berbuat baik. Mereka melonjak senang ketika bulan Ramadhan
datang, dan menangis ketika ia pergi. Nenek moyang kita tahu hakikat puasa;
karena itu mereka mencintai Ramadhan dan berusaha melakukan berbagai
pengorbanan yang tiada tara di bulan ini. Mereka bangun di malam-malamnya,
rukuk dan sujud, merendahkan diri sedemikian rupa, sambil berurai airmata.
Mereka melalui siang-siangnya dengan berzikir, melafalkan hafalan Al-Qurãn,
belajar, berda’wah, dan memberi nasihat.
Puasa adalah
sumber kesenangan dan kedamaian batin bagi kaum Muslim masa lalu. Puasa
melegakan dada mereka. Karena itu, mereka melatih jiwa untuk mencapai
tujuan-tujuan puasa, membersihkan hati dengan hikmah-hikmahnya, dan
mendisiplinkan jiwa mereka dengan kebijaksanannya. Banyak riwayat menegaskan
bahwa mereka terbiasa duduk bertekun di masjid-masjid, membaca Al-Qurãn,
mengulang hafalan, menangis, mengamankan lidah dan mata dari
perbuatan-perbuatan haram.
Puasa
menjaga persatuan Muslim. Mereka makan sahur dan berbuka dalam waktu yang sama.
Mereka merasakan derita lapar dan kemudian makan bersama-sama dengan semangat
persaudaraan, cinta, dan pengabdian. Rasulullah pun mengatakan, “Dari Jum’at ke
Jum’at, dari ‘Umrah ke ‘Umrah, dan Ramadhan ke Ramadhan terdapat ‘kendali’ yang
menjamin tidak adanya dosa-dosa besar yang dilakukan.”
Dari segi
fisik, puasa meningkatkan kesehatan badan. Puasa mengusir zat-zat pengotor
(perusak) tubuh, meringankan perut, membersihkan darah, memudahkan kerja
jantung, mencerahkan pikiran, memperbaiki jiwa, dan membentuk sifat disiplin.
Ketika
seseorang melakukan puasa, jiwanya merendah, hatinya pasrah, ambisi-ambisinya
terkendali, dan segala hasrat badaninya tersingkir. Dengan demikian, doa-doanya
terkabul karena kedekatannya dengan Allah.[2]
Ada rahasia
besar dalam puasa: yaitu pengabdian terhadap Allah dan pencarian ridhaNya
dengan kepatuhan terhadap perintah-perintahNya dan ketaatan terhadap
hukum-hukumNya, dengan mengabaikan keinginan-keinginan pribadi, (khususnya)
untuk makan dan minum. Dengan demikian, puasa berarti kemenangan seorang Muslim
atas hasrat-hasratnya, keunggulan seorang Mu’min atas dominasi
batin-(subyektifisme)-nya sendiri. Itulah separuh sabar. Siapa yang berpuasa
tanpa alasan yang baik (benar), dia tak akan bisa mengendalikan diri atau
menaklukkan nafsu-nafsunya.
Secara
keseluruhan, puasa adalah latihan hebat bagi jiwa, untuk membuatnya mampu
menanggung beban dan menunaikan tugas-tugas seperti jihad, berkorban dan tampil
sebagai pemimpin. Maka ketika Thãlût hendak memerangi musuh-musuhnya, Allah
menguji pasukannya dengan sebuah sungai. Thãlût berkata kepada mereka, “Awas,
sekarang Allah akan menguji kalian dengan sebuah sungai. Siapa yang meminum
airnya, maka dia bukan pengikutku. Sebaliknya, siapa yang tidak meminum airnya,
itulah pengikutku yang sebenarnya. Tapi mudah-mudahan Allah memaafkan dia yang
hanya meminum secidukan tangannya.” (2:249).
Siapa yang
bersabar dan mengendalikan hasrat-hasrat badaninya, dialah orang yang berhasil.
Sebaliknya, siapa yang memuja hasrat-hasrat dangkalnya, berarti memalingkan
diri dari jihad.[3]
Dengan
demikian, hikmah puasa bisa disimpulkan sebagai berikut.
Puasa
menyadarkan seseorang akan kehadiran Tuhan, kepatuhan terhadap
perintah-perintahNya, dan penaklukan atas hasrat-hasrat badaninya. Puasa
menjamin keungulan atas nafsu dan membuat si Muslim siap menghadapi
situasi-situasi yang menuntutnya untuk berkorban. Puasa menjamin dirinya untuk
mengontrol anggota tubuh dan hasrat-hasratnya. Menjamin kesehatan badan dan
mencegahnya dari berbuat salah. Puasa juga menimbulkan kebersamaan,
persaudaraan, dan rasa empati kepada mereka yang lapar serta membutuhkan
bantuan. Wallahu a’lam bis-shawab! ∆
[1] Dengan demikian, terjemahan hadits
tersebut seharusnya: Segala amal Anak Adam dapat dinilai oleh mereka sendiri,
kecuali puasa. Akullah (Allah) yang menilai puasa mereka, dan aku pula yang
menetapkan imbalannya.” Terjemahan ini bisa diajukan sebagai alternatif
terjemahan umum, termasuk yang tertulis di atas, yang mengesankan seolah-olah
Allah membutuhkan sesuatu dari manusia. Seolah-olah puasa dilakukan demi
kepentingan Allah. Padahal jelas sekali bahwa segala manfaat puasa adalah demi
kepentingan manusia sendiri. (a.h.).
[2] “Kedekatan dengan Allah” di sini
harus dipahami sebagai “kedekatan dengan (= kepatuhan terhadap) ajaranNya”
bukan dengan diri (oknum, dzãt) Allah, yang tidak akan pernah bisa
terjadi, kecuali sebatas perasaan atau khayalan manusia. Hal ini sebenarnya
dijelaskan oleh penulis dalam kalimat-kalimat di bawah alinea ini.
[3] Maksudnya jihãdun-nafsi
(perang melawan nafsu). (a.h.).