Menguji Eksistensi DPI Lewat Sertifikasi Media
TAK
bisa dipungkiri berdirinya Dewan Pers Indonesia berawal dari sebuah
keprihatinan bersama atas nilai sebuah berita yang dibayar dengan harga
nyawa almarhum Muhammad Yusuf, wartawan media Kemajuan Rakyat dan Sinar
Pagi Baru di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 2018 lalu. Ribuan
wartawan dan pimpinan media dari berbagai penjuru tanah air pun bersatu
tekad menyatakan perlawanan terhadap diskriminasi dan kriminalisasi
pers melalui perhelatan akbar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018.
Dari situ kemudian Dewan Pers Indonesia (DPI) lahir lewat pelaksanaan
Kongres Pers Indonesia 2019 di Jakarta.
Bersamaan
dengan lahirnya DPI, Kongres Pers Indonesia 2019 juga menelorkan dua
peraturan pers yang disusun dan sepakati bersama oleh seluruh peserta
kongres yaitu Peraturan Pers tentang Verifikasi dan Sertifikasi
Perusahaan Pers dan Peraturan Pers Tentang Keanggotaan Wartawan dan
Sertifikasi Kompetensi Wartawan.
Dua keputusan ini begitu
krusial bagi wartawan Indonesia karena dianggap sebagai jawaban atas
segala persoalan pers di Indonesia saat ini.
Dari ke dua
peraturan pers ini DPI telah memutuskan untuk menerapkan peraturan
tentang Verifikasi dan Sertifikasi Perusahaan Pers sebagai program
prioritas seluruh organisasi pers yang menjadi konstituen DPI.
Untuk
memudahkan pelaksanaan program ini, Sertifikasi Perusahaan Pers menjadi
pilihan pertama agar seluruh media yang benar-benar berada dalam
barisan konstituen DPI bisa terdata dan tersertifikasi terlebih dahulu
sebelum diverifikasi secara menyeluruh sesuai Peraturan Pers tentang
Verifikasi dan Sertifikasi Perusahaan Pers yang ditetapkan pada Kongres
Pers Indonesia 2019.
Langkah ini perlu diambil agar seluruh
perusahaan pers atau media yang selama ini disia-siakan atau dihina
Dewan Pers dengan sebutan abal-abal dan didirikan dengan tujuan untuk
memeras bisa didata menjadi konstituen DPI melalui organisasi-organisasi
pers.
Karena pada kenyataannya DPI tidak bisa mengklaim bahwa
43 ribuan media di luar konstituen Dewan Pers adalah merupakan bagian
dari DPI.
Isu Surat Edaran Dewan Pers mengenai 7 organisasi
pers yang diakuinya kini kembali marak beredar di kalangan wartawan
melalui pemberitaan sejumlah media online yang (maaf) menjadi “penjilat”
Dewan Pers.
Dewan Pers bahkan merasa berhak “melarang”
pemerintah melakukan kerja sama dengan media yang belum diverifikasi.
Ribuan media di berbagai penjuru tanah air kembali meradang, tapi
pengurus Dewan Pers yang baru malah makin “kesurupan”. Sejumlah
pemimpin redaksi pun mulai menjadi korban “keganasan” kebijakan Dewan
Pers. Pemred yang belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan kategori
Wartawan Utama dianggap tidak layak memimpin media meski sudah
berpengalaman menjadi wartawan selama belasan tahun.
Irfan
Deni Pontoh, Pimred Koran Harian Nuansa Pos, contohnya, yang dilaporkan
Bupati Poso ke Dewan Pers terkait masalah pemberitaan justeru dianggap
tidak layak memimpin media karena belum mengikuti UKW kategori Wartawan
Utama. Tidak ada sama sekali pembelaan atau perlindungan pers dalam
penanganan kasus ini.
Ada sejumlah kasus yang sama juga
dialami beberapa Pimred yang dianggap tidak layak karena belum mengikuti
UKW kategori Wartawan Utama.
Persoalan lain yang tak kalah
krusial adalah DPI mengalami kesulitan untuk mendata perusahaan pers
atau media. Oleh karena itu jaringan media yang bernaung di 11
Organisasi Pers harus mampu mengejawantahkan hasil keputusan Kongres
Pers Indonesia 2019.
Hal ini (pendataan perusahaan
pers/media) menjadi sangat penting karena DPI memerlukan data jumlah
media yang menjadi konstituen DPI.
Untuk membela dan
memperjuangkan kepentingan para pengelola media, termasuk wartawan di
dalamnya, DPI wajib mendapatkan angka dan data pasti perusahaan pers
yang tercatat sebagai konstituen DPI.
DPI siap melakukan
perlawanan terhadap Surat Edaran Dewan Pers yang disebarkan ke seluruh
jajaran Pemerintah Pusat dan Daerah terkait larangan menjalin kerja sama
dengan media yang dianggap belum terverifikasi Dewan Pers.
Namun
saat ini tercatat baru beberapa organiasi pers yang mulai mengambil
ancang-ancang mendata media lewat pelaksanaan program sertifikasi
perusahaan pers.
Sepertinya ada keraguan organisasi pers dalam
mengeksekusi putusan Kongres Pers Indonesia 2019 tentang Peraturan di
bidang Verifikasi dan Sertifikasi Perusahaan Pers.
Organisasi
Pers mungkin dianggap rancu melakukan pendataan perusahaan pers yang
lazimnya dilakukan oleh Dewan Pers. Padahal, seharusnya organisasi
profesi wartawan lah yang sangat memahami ruang lingkup pers sehingga
lebih layak dan sah melakukan sertifikasi terhadap seluruh perusahaan
pers di Indonesia. Karena pada kenyataannya tidak semua pengusaha yang
mendirikan perusahaan pers mahami ruang lingkup pers secara menyeluruh
dan professional. Pemahaman ini yang seharusnya menjadi pegangan seluruh
organisasi wartawan agar lebih percaya diri menjalankan keputusan
melakukan sertifikasi dan verifikasi media.
Mengapa
sertifikasi media harus dilaksanakan oleh organisasi-organisasi pers?
Pertanyaan itu muncul untuk menjawab persoalan yang selama ini tidak
pernah bisa dijawab oleh Dewan Pers. Sebab selama belasan tahun sejak UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan, Dewan Pers tidak mampu
melaksanakan pendataan perusahaan pers.
Dari jumlah dan
kapasitas anggota Dewa Pers sangatlah terbatas dan tidak mungkin mampu
mendata perusahaan pers yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Sistem pendataan perusahaan pers yang dilakukan selama ini sangat
menyulitkan perusahaan pers lokal yang harus mengeluarkan biaya besar
membawa langsung berkas pendaftaran medianya ke kantor Dewan Pers di
Jakarta. Kalaupun ada pendaftaran di daerah, tidak dilakukan secara
terpadu sehingga tidak menjangkau ke seluruh media yang ada.
Padahal,
dengan gelimangan anggaran milyaran rupiah dana hibah Pemerintah Pusat
ke Dewan Pers melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi, pendataan
perusahaan pers dengan label verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers
seharusnya mampu menjangkau hingga ke seluruh Indonesia.
Sangat
disayangkan, 43 ribu media yang tercatat oleh Dewan Pers justeru
dituding dan dihina dengan sebutan media abal-abal yang didirikan untuk
tujuan memeras. Lebih parah lagi, Dewan Pers membuat Surat Edaran
terkait 43 ribu media tersebut yang disebutnya abal-abal itu ke seluruh
instansi pemerintah dan swasta nasional.
Seharusnya jumlah
angka 43 ribuan media yang belum terverifikasi Dewan Pers itu bisa
dijadikan kekuatan dan kebangkitan baru pers Indonesia. Namun anehnya,
Dewan Pers justeru melihat itu sebagai ancaman penyalahgunaan praktek
jurnalistik.
Sejumlah kasus yang terjadi di berbagai daerah
terkait penyalahgunaan praktek jurnalistik sebetulnya tidak hanya
terjadi di media yang belum terverifikasi Dewan Pers tetapi terjadi juga
di media-media mainstream. Semua fakta itu sangat jelas dan terang
benderang terjadi di negeri ini. Sebagai contoh, kasus korupsi suap mega
proyek Meikarta yang melibatkan sejumlah wartawan dan media nasional
diduga terima dana milyaran rupiah dari perusahan Meikarta yang saat ini
sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu sangat jelas
penyalahgunaan praktek juralistik.
Akan tetapi Dewan Pers
dengan beraninya mengeneralisir 43 ribu media yang belum terverifikasi
itu adalah media abal-abal dan didirikan dengan tujuan untuk memeras
atau menyalahgunakan praktek jurnalistik.
Di sisi lain,
wartawan yang bekerja di ribuan media tersebut mejadi objekan Dewan Pers
lewat Lembaga Sertifikasi Profesi yang diberi lisensi sepihak untuk
melaksanakan program Uji Kompetensi Wartawan atau UKW. Meskipun medianya
tidak diakui Dewan Pers tapi wartawannya menjadi sasaran bisnis UKW
lewat LSP bentukan Dewan Pers.
Lantas, apa solusi
permasalahan pelarangan pemerintah melakukan kerja sama dengan
Perusahaan Pers atau media lokal yang belum terverifikasi Dewan Pers ?
DPI
menyediakan solusi terbaik bagi media yang belum diverifikasi menjadi
bagian dari konstituen DPI. Dengan mendaftarakan perusahaan pers/ media
ke jaringan organisasi pers konstituen DPI maka potensi dan peluang
untuk mendapatkan belanja iklan nasional makin terbuka lebar.
Jika
DPI berhasil mendata perusahaan pers dan membangun jaringan media
mencapai ribuan media maka angka itulah yang akan menjadi kekuatan DPI
untuk memperjuangkan belanja iklan nasional bisa dinikmati pula oleh
ribuan media yang menjadi bagian di DPI.
Jadi kesimpulannya,
Organisasi Pers lah yang lebih tepat dan lebih professional, serta mampu
melaksanakan proses sertifikasi dan verifikasi perusahaan pers karena
jaringannya tersebar hingga ke seluruh provinsi dan kabupaten / kota se
Indonesia.
Dengan begitu maka keputusan sekarang berada di
tangan para pimpinan media atau perusahaan pers untuk mendaftarkan
medianya ke DPI untuk didata melalui organisasi-organisasi pers, atau
membiarkan terus dihina dengan sebutan abal-abal oleh Dewan Pers, dan
pasrah ditutup akses kerja-samanya dengan pemerintah.
Penulis
: Hence Mandagi Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI) dan Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI).
Hp.081340553444