Tuntaskan Konflik di Papua, Mutasi Dari Managemen Resolusi Konflik
Konflik
sekelompok orang di pulau Papua (Papua) yang terjadi belakangan ini,
bukti bahwa penanganan konflik sosial selama ini, jangankan tuntas,
efektifpun belum. Bahkan konflik dipicu oleh atau diduga bermuatan
indentitas sempit. Lihat saja pilihan diksi yang digunakan oleh orang
tertentu, yang dapat memantik konflik horizontal.
Adanya
konflik personal di salah satu kota di pulau Jawa (Jawa), misalnya,
tidak lama berselang muncul gesekan sosial di salah satu kota di Papua.
Dari segi wacana yang muncul (termasuk dari para elit), sulit dipercaya
tidak ada relasi konflik komunikasi personal yang terjadi di salah satu
kota di Jawa dengan gesekan komunikasi antar personal yang terjadi di
Papua.
Bahkan persoalan personal yang terjadi
seolah ditarik ke rana identitas (kelompok) yang sempit serta seolah
mengusik rasa kesatuan berbangsa dan negara. Bahkan berpontensi
terjadinya konflik karena pesan komunikasi yang boleh jadi telah
dihiperbola. Akibatnya, dari persoalan personal, berevolusi seolah
mengusik kebersamaan mereka dalam suatu kelompok dari kelompok lain atas
dasar indentitas sempit.
“Perluasan” pesan
komunikasi semacam ini bukan tidak tanpa maksud. Tidak ada pesan
komunikasi masuk ke teritorial publik berada di ruang hampa. Ada agenda
di situ. Tak terhindarkan juga ada framing di dalam tautan pesan yang
dilontarkan para pihak ke ruang publik.
Karena
itu, bila konflik tidak dituntaskan, setiap ada indikasi kemungkinan
muncul konflik, bahkan ketika terjadi konflik pun acapkali penumpang
gelap memanfaatkanya secara lihai dengan berbagai modus. Untuk itu,
perlu kewaspadaan seluruh anggota masyarakat, terutama yang berada di
sekitar lokasi konflik untuk memahami dengan berpikir dan bertindak
kritis terhadap setiap fenomena konflik.
Merujuk
pada masih terjadinya konflik sosial di Papua hingga akhir-akhir ini,
bahkan sudah cukup lama, bisa jadi sejak Papua bagian dari Indonesia,
menangani konflik hanya sekedar bagaimana meredam konflik itu sendiri
dengan pendekatan manajemen konflik. Pendekatan semacam ini sudah usang,
karena terbuka kesempatan yang sangat bebas masuknya kepentingan dari
berbagai pihak yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
pengelolaan konflik itu sendiri.
Selain itu,
dengan pendekatan manajemen konflik, akar permasalahan pasti tidak akan
terselesaikan dengan tuntas. Karena itu, konflik seolah terus
"terpelihara". Setiap ada pemicu, serta merta konflik berpotensi besar
muncul ke permukaan.
Untuk menyelesaikan
konflik di Papua, menurut hemat saya, harus dirubah pendekatan dari
manajemen konflik ke komunikasi resolusi konflik. Pendekatan resolusi
konflik antara lain mencari hakekat permasalahan, latar belakang
masalah, temuan dan tawaran solusi strategis penyelesaian masalah,
pendekatan dengan mamanusiakan manusia - seperti menghormati orang lain
(harga diri) dan martabat kelompok atau daerah, dan tuntas.
Takkalah
pentinganya melakukan “perawatan” secara berkesinambungan terhadap
penyelesaian masalah yang sudah terjadi. Kemudian berlahan namun pasti,
dilakukan pendekatan persuasi untuk membangun inklusivitas antar sesama
anak bangsa. Jadi, penyelesaian konflik sama sekali tidak boleh
sporadaris, seperti “pemadam kebakaran”.
Untuk
menyelesaikan konflik di Papua secara tuntas, masif, terstruktur dan
sistematis, harus dibuat dalam suatu pemodelan yang sekaligus menjadi
pola, yang saya sebut sebagai, "Strategi Komunikasi Resolusi Konflik di
Papua" Dengan strategi ini, maka penyelesaian konflik pasti lebih
solutif dan lebih parmanen.
Untuk itu, menurut
hemat saya, Presiden perlu membetuk Tim Komunikasi Resolusi Konflik di
Papua. Tim ini sebaiknya sama sekali tidak melibatkan politisi, tetapi
dari berbagai kalangan yang tidak punya agenda politik pribadi atau
kelompok. Mereka semua harus orang yang sangat dipercaya oleh Presiden.
Selain
itu itu, mereka yang ada dalam tim ini harus mumpuni dari aspek
akademik dan pengalaman tentang komunikasi persuasif, punya popularitas
dan reputasi yang terjaga selama ini, lebih diterima oleh berbagai
kalangan masyarakat di Papua, mampu merubah situasi dari ketegangan ke
suasana yang lebih cair, dan solutif. Yang tak kalah pentingnya, mereka
mampu menyusun dan mengimplementasikan "Strategi Komunikasi Resolusi
Konflik di Papua” yang efektif.