MA Batalkan Biaya Pengesahan STNK
THE JAMBI
TIMES - JAKARTA - Mahkamah
Agung membatalkan sebagian isi Lampiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun
2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam putusan yang
salinannya baru dipublikasikan Mahkamah Agung, majelis hakim agung menyatakan
Lampiran Nomor
E angka 1 dan angka 2 PP tersebut bertentangan dengan UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP).
Pasal
yang dirujuk majelis adalah Pasal 73 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan,
yang menyatakan legalisasi salinan/fotokopi dokumen yang dilakukan oleh Badan
atau Pejabat Pemerintah tidak dipungut biaya. Pasal ini berkaitan dengan
legalisasi dokumen. UU AP menegaskan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
menetapkan keputusan berwenang untuk melegalisasi salinan/fotocopi dokumen
keputusan yang ditetapkan. Namun Badan atau Pejabat Pemerintah dapat tidak
melakukan legalisasi jika ada keraguan terhadap keaslian dokumen yang akan
dilegalisasi.
Lampiran
Nomor E angka 1 dan angka 2 PP No. 60 Tahun 2016 dianggap menabrak ketentuan UU
AP karena membebani biaya legalisasi kepada pemohon. Lampiran ini memang
membebani setiap pemohon pengesahan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
(STNK). Ketentuannya: untuk pengesahan roda 2 atau 3 dikenakan biaya pengesahan
Rp25 ribu per pengesahan per tahun; dan untuk roda 4 atau lebih dikenakan biaya
pengesahan Rp50 ribu per pengesahan per tahun.
“Menurut
Mahkamah, ketentuan yang demikian adalah berlebihan dan dapat dikualifikasi
sebagai pungutan ganda, karena pada saat pajak kendaraan bermotor dibayar, PNBP
STNK sudah dipungut. Hal ini nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 73 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” demikian
antara lain pertimbangan majelis hakim dalam putusan No. 12 P/HUM/2017 itu.
Sebenarnya,
sebagaimana tertulis dalam salinan putusan terpublikasi, tak semua permohonan
pemohon hak uji materi (HUM) dikabulkan Mahkamah Agung. Pemohon HUM, Moh. Noval
Ibrohim Salim, juga mengajukan permohonan atas Lampiran Nomor D angka 1 dan
angka 2, serta Lampiran Nomor H angka 1 dan angka 2 PP a quo. Namun,
menurut majelis hakim agung, kedua substansi permohonan yang disebut terakhir
tidak terbukti bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP), Undang-Undang Pelayanan Publik dan UU Administrasi
Pemerintahan.
Muhammad
Sholeh, kuasa hukum Noval, membenarkan adanya putusan itu. ‘Btl (betul),”
tulisnya secara singkat dalam pesan kepada hukumonline. Pelaksanaan
putusan Mahkamah Agung itu, kini, menjadi domain Pemerintah untuk memperbaiki
regulasi tersebut. Pihaknya tak akan menyurati Kementerian Keuangan atau
Kepolisian atas putusan tersebut. Pemerintah dalam hal ini Presiden, adalah
pihak dalam perkara ini. “Tidak perlu. Itu domain Pemerintah,” ujarnya dalam
pesan whatsapp.
Noval,
warga Pamekasan Jawa Timur, sebagai pemilik kendaraan merasa dirugikan atas
berlakunya PP No. 60 Tahun 2016 terhitung mulai 6 Januari 2017. PP ini adalah
beleid baru menggantikan PP No. 50 Tahun 2010. Salah satu yang berubah adalah
biaya pengesahan STNK. Menurut pemohon, tidak ada dasar hukum penetapan tarif
pengesahan STNK. Kendaraan pemohon baru saja teregistrasi sehingga BPKB belum
keluar. Dengan adanya PP baru otomatis pemohon harus menyesuaikan dengan tarif
dalam PP. Pemohon mempertanyakan dasar hukum penetapan tarif dimaksud. Pemohon
juga meminta majelis melihat kenyataan sosiologis berupa penolakan dari
masyarakat atas pungutan tarif pengesahan STNK.
Kenaikan
biaya STNK dan BPKB ini memang sempat menjadi polemik di awal tahun 2017, awal
berlakunya PP No. 60 Tahun 2016. Pasalnya, kenaikan biaya yang ditetapkan
dinilai sejumlah kalangan memberatkan. Bahkan, seperti banya diberitakan,
Presiden Jokowi meminta bawahannya untuk berhati-hati menetapkan tarif yang
membebani rakyat. Kala itu pemerintah berdalih yang naik adalah biaya
administrasi pengurusan STNK.
Akhirnya,
melalui kuasa hukumnya dari Sholeh & Partners, Noval mengajukan
upaya hukum HUM ke Mahkamah Agung, dan diterima Kepaniteraan pada 6 Februari
2017. Lima bulan kemudian, majelis hakim agung sudah memutuskan permohonan itu.
Isinya: mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil untuk sebagian;
menyatakan Lampiran Nomor E angka 1 dan angka 2 PP No. 60 Tahun 2016
bertentangan dengan Pasal 73 ayat (50 UU AP dan karenanya dinyatakan tidak sah
dan tidak berlaku umum. Majelis juga memerintahkan Presiden untuk mencabut
Lampiran yang dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.(HOdotcom)