News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam (3)

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam (3)


As-sâ’ah
 
THE JAMBI TIMES - BEKASI - As-sâ’ah diajukan Jibril sebagai pertanyaan terakhir. Kalimat pertanyaannya menurut versi Umar adalah: Akhbirni ‘anis-sâ’ah (terangkan padaku tentang as-sâ’ah). Sementara dalam versi Abu Hurairah pertanyaan itu berbunyi: Mattas-sâ’ah (kapankah – tibanya –  as-sâ’ah). Dengan kata lain, konotasi kalimat versi Umar adalah mempertanyakan definisi (apa itu as-sâ’ah); sedangkan versi Abu Hurairah mempertanyakan momentum (kapan munculnya as-sâ’ah).
Dalam berbagai kesempatan, ketika membahas atau menyinggung tentang as-sâ’ah, Isa Bugis cenderung mengutip kalimat versi Abu Hurairah itu (mattas-sâ’ah). Tapi, uraian yang dikemukakan ternyata berupa definisi.

Dengan merujuk surat Thaha ayat 15, dan mengambil kalimat إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ  sebagai landasan, Isa Bugis mendefinisikan as-sâ’ah sebagai pendatangkan (maksud-nya sesuatu yang mendatangkan atau mengadakan). Pemaknaan ini, selain ganjil dari sudut bahasa Indonesia, juga kontradiktif dalam tinjauan sharaf. Isa Bugis meng-anggap kata âtiyatun/ءَاتِيَة sebagai subyek (ismul-fâ’il) dari kata kerja transitif (muta’addi). Padahal, kata kerja atâ – ya’ti/اتى- يأتى adalah kata kerja intransitif (lâzim) alias kata kerja tak berobyek, dan ini jelas tampak pada susunan ayatnya. Jadi, subyeknya, yaitu âtin/ءات bila lelaki (masculine gender) dan âtiyatun/ءاتية bila wanita (feminine gender) berarti  sesuatu yang datang (atau seseorang, bila yang datang adalah orang).

Kemudian, entah bagaimana rumusnya, Isa Bugis menyebut as-sâ’ah dalam konteks Hadis Jibril itu sebagai manajemen.

Namun, menghubungkan hadis itu dengan surat Thaha ayat 15 adalah tindakan tepat, karena keduanya saling mendukung:

إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
(Hai Musa) as-sâ’ah itu pasti (akan) datang. Aku hampir merahasiakannya, agar setiap manusia diberi ganjaran sesuai apa yang diperbuatnya (tanpa lebih dulu diberi tahu tentang akibat sebuah perbuatan).
Keterangan dalam ayat ini diberikan Allah setelah menyuruh Musa mengabdi kepadanya, dengan lebih dulu membentuk kesadaran dengan ajarannya, melalui proses shalat. Bila itu sudah dilakukan, maka as-sâ’ah (= saat, masa) untuk memetik hasilnya adalah sesuatu yang pasti datang. Tapi kapan? Bila pertanyaannya adalah momentum, Allah tidak menjawab. Tapi, bila yang dipertanyakan adalah apa yang bisa diwujudkan dengan menjalankan ajaran Allah, maka Allah memberikan penjelasan panjang-lebar kepada Musa, antara lain seperti yang terungkap dalam surat Thaha, yang tentu diungkapkan Allah dalam rangka mengajar Nabi Muhammad (dan umatnya).

Musa dan Muhammad adalah rasulullah, yang bertugas menyampaikan ajaran Allah kepada manusia. Ketika Jibril bertanya tentang as-sâ’ah, apakah Nabi Muhammad tidak tahu jawabannya? Tentu sudah tahu! Selain itu, Jibril bertanya juga hanya sekadar bersandiwara (mengajar dengan metode tanya-jawab).

Nabi Muhammad mengetahui jawaban tentang as-sâ’ah itu, antara lain, tentu melalui surat Thaha. Maka, caranya menjawab Jibril pun menjadi mirip dengan cara Allah menjawab Musa. Kata Allah kepada Musa, “Aku hampir merahasiakannya.” Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Kata Nabi kepada Jibril, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi, akan kuberitahu tanda-tandanya.”

Jelasnya, bicara as-sâ’ah adalah bicara tentang waktu. Adapun yang dimaksud adalah waktu tegaknya Dinul Islam sebagai sebuah konsep menjadi kenyataan. Besar kemungkinan istilah as-sâ’ah adalah ringkasan dari sâ’atul-qiyâmah, yang pengertiannya sama dengan yaumud-dïn (يوم الدين), yaumul-ba’tsi (يوم البعث), dsb.

Jadi, as-sâ’ah sama dengan al-yaum(u). Artinya dalam bahasa Indonesia adalah masa; dalam bahasa Inggris period (periode). Sâ’atul-qiyâmah (lengkapnya: sâ’atul-qiyâmatid-dïni) berarti “masa tegaknya Dinul Islam”, begitu juga  yaumud-dïn dan yaumul-ba’tsi (al-ba’ts adalah sinonim dari al-qiyâmah).

Selain sâ’ah dan yaum, kata lain yang juga sering digunakan dalam Al-Qurân adalah ajal (أجل), yang sayangnya selalu kita artikan sebagai saat kematian seseorang. Padahal, ajal secara umum berarti “peluang keberadaan (existence) segala makhluk Allah, sampai batas waktu tertentu”. Termasuk seorang manusia, sebuah bangsa, sebuah kebudayaan, dan juga sebuah sistem, semua mempunnyai peluang untuk lahir, berkembang, dan akhirnya mati.

Dalam hal kesamaan maksud dari kata sâ’ah dan ajal, surat Al-‘Ankabut ayat 5 memuat susunan kata yang mirip dengan surat Thaha di atas, dengan catatan di sini Allah menggunakan kata benda jenis lelaki (آتٍ), bukan perempuan (آتِيَةٌ):

مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ …
Siapa pun yang mengharapkan perwujudan (ajaran) Allah, maka ajal Allah (waktu yang ditentukan Allah) untuk itu pastilah akan datang…

Jelaslah bahwa pertanyaan tentang as-sâ’ah itu diajukan dalam konteks ajaran Allah dengan pembuktiannya. Sebagai suatu ilmu, ajaran Allah mengandung kemampuan (potensi) untuk mewujud nyata. Tapi hal itu baru bisa terjadi bila persyaratannya terpenuhi, yaitu adanya manusia-manusia yang ber-Islam (membentuk jama’ah), ber-Iman (menjadikan ajaran Allah sebagai pegangan hidup), dan ber-Ihsan (berbuat tepat sesuai ajaran).

Perlukah disebutkan kapan waktunya?  Tidak. Sebab, waktu – seperti halnya ruang – adalah fasilitas yang sudah disediakan Allah. Sedangkan kemauan manusia untuk menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya adalah urusan manusia sendiri. Tepatnya tinggal bagaimana manusia memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan. Jadi, sekali lagi, mempersoalkan tentang waktu adalah tidak ‘nyambung’ (relevan), walaupun dalam suatu perencanaan batas-batas waktu itu tentu bisa dipetakan.

Karena itulah, dalam hadis versi Abu Hurairah, Nabi mengutip surat Luqman ayat 34:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ
 عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hanya Allah yang menguasai ilmu tentang as-sâ’ah. (Dialah yang tahu kapan) akan menurunkan hujan dan apa yang terdapat dalam rahim. Sebaliknya, seorang manusia (siapa pun dia) tidak akan tahu apa yang terjadi besok, juga tidak akan tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu secara cermat.

Inilah jawaban yang sangat jitu bagi setiap manusia yang cenderung ingin tahu tentang kapan sesuatu akan terjadi, yang mewakili sifat ‘ajulan (عجولا), alias ingin segera tahu hasil tanpa mengindahkan prosedur dan proses. Inilah sikap yang menjadi cikal-bakal kegagalan sebuah proyek! (Termasuk proyek penegakan Al-Quran!).

Karena itu, kata Allah, “Aku hampir merahasiakannya (as-sâ’ah)”. Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Tegasnya, ‘separuh’ dari rahasia itu dibongkar oleh Nabi dengan cara mengungkapkan tanda-tanda atau isyaratnya.

Maka, daripada bicara tentang waktu – kapan tegaknya Dinul Islam, lebih baik bicara tentang tanda-tanda atau indikasinya, yang membuktikan Dinul Islam itu sudah tegak, di suatu masa, entah kapan! Selanjutnya, fokuskan perhatian, minat, harapan, dan obsesi pada pemenuhan syarat-syaratnya. Jangan berharap memetik buah tapi tidak mau berkebun.

Indikasi tegaknya Dinul Islam
 
Salah satu tanda yang disebutkan Nabi adalah “seorang wanita budak melahirkan (anak) tuannya” (أن تلد الأمة ربّتها).

Selama ini kita mendapat keterangan dari para kiai bahwa perkataan Nabi itu mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah bejat, dan itu merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah dekat; dan yang mereka maksud kiamat adalah kehancuran dunia.

Padahal, melalui sebuah hadis dalam kitab Bukhari, Nabi menyatakan demikian:

عن أبى موسى قال قال رسول الله ص م : ثلاثة لهم أجران … رجول كان عنده أمة فأدّبها فأحسن تأديبها و علّمها فأحسن تعليمها ثمّ أعتقَها فتزوّجها فله أجران.

Menurut Abu Musa, Rasulullah pernah mengatakan, “Ada tiga golongan yang berhak mendapat dua imbalan … (Salah satunya adalah seorang lelaki yang memiliki budak wanita; kemudian dia mendidik budak itu sebaik-baiknya, dan mengajarinya (Al-Qurân) dengan sebaik-baiknya; setelah itu ia membebaskannya, dan kemudian menikahinya, maka lelaki itu mendapat dua imbalan.

Hadis ini memberikan jawaban gamblang mengapa seorang budak (pembantu) wanita bisa melahirkan anak tuannya. Kelahiran itu bukan terjadi melalui proses kehamilan haram, karena ia diperkosa tuannya, seperti yang sering digambarkan orang selama ini. Hadis ini justru mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah mencapai tahap ketinggian moral.

Budak wanita, dalam struktur masyarakat yang piramidal, adalah wakil dari lapisan masyarakat yang paling bawah dan lemah. Sementara tuannya tentu mewakili lapisan masyarakat tertinggi dan berkuasa. Tapi, itu hanya terjadi di masa sebelum Islam. Setelah Islam menjadi “etika masyarakat” (meminjam istilah Nurcholis Madjid), struktur piramidal itu ambruk. Orang Arab tidak lebih mulia dari non-Arab, kata Nabi. Kemuliaan manusia ditentukan oleh takwanya. Patuhilah pemimpin, meskipun dia (pada masa lalu) adalah seorang budak hitam.
Jadi, perkataan Nabi itu merupakan isyarat bagi lenyapnya feodalisme dan diskriminasi dalam masyarakat sebagai akibat pengkelasan manusia dalam struktur piramidal. Ajaran Islam menghapuskannya bukan melalui pemaksaan, tapi melalui ‘revolusi’ kesadaran. Perhatikan bahasa Nabi dalam hadis di atas! Perintah membebaskan budak tidak disampaikan dengan bahasa perintah, tapi melalui ‘rayuan’.
Isyarat berikutnya, bahwa Dinul Islam sudah tegak, akan tampak pada sisi kehidupan yang lain. Kata Nabi, “Anda melihat orang-orang (yang semula) miskin, bertelanjang kaki dan badan, berlomba-lomba mendirikan gedung”  (وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشائ يتطاولون فى البنيان).

Ini masih berkaitan dengan isyarat yang pertama. Bila yang pertama adalah gambaran tentang lenyapnya sistem piramidal (kasta) dalam masyarakat, maka berikutnya, bila struktur demikian sudah lenyap, lenyap pula “kemiskinan struktural”.

Ingat! Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terpaksa harus ditang-gung oleh golongan masyarakat bawah semata-mata karena mereka dilahirkan sebagai anggota masyarakat kelas bawah. Kemiskinan yang terlahir berkat jasa feodalisme dan kapitalisme! Biarpun mereka mempunyai fisik yang kuat dan otak yang cerdas, mereka akan tetap miskin, karena berbagai faktor ‘pengubah nasib’ (pendidikan, pasar, kekuasaan, kesempatan dll) dikangkangi oleh golongan atas (kapitalis yang bersekongkol dengan feodalis). Hanya kehancuran sistem kelas (dan modal) itulah yang bisa mengubah nasib mereka.

Kemudian, bila sistem kelas (dan modal) sudah tiada, apakah kemiskinan akan lenyap? Tentu tidak. Sebab, dalam masyarakat masih ada manusia-manusia yang memiliki kelemahan obyektif, misalnya cacat fisik/mental, yatim-piatu, jompo, dll. Tapi, keadaan mereka tidak akan terlantar, karena negara melalui sistem zakat menjamin kehidupan mereka, dan sesama anggota masyarakat memperlakukan mereka sebagai saudara.

Dua hal itulah –  lenyapnya sistem piramidal dalam masyarakat dan hilangnya kemiskinan struktural – yang disebutkan Nabi sebagai tanda-tanda tegaknya Dinul Islam. Dengan kata lain, dua hal itulah target besar yang hendak dicapai dengan menjalankan organisasi bernama Dinul Islam.(A.H)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.