News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam (1)

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam (1)


PEMERINTAHAN RASULULLAH 5

THE JAMBI TIMES - BEKASI - Ada sebuah Hadis – yang dikenal sebagai Hadis Jibril, yang memberikan gambaran tersirat tentang Islam sebagai organisasi, namun telah disalahpahami, bahkan kemudian disalahgunakan, sehingga hakikat dari pesan Hadis itu menjadi kabur.

Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Abdullah bin Umar berdasar penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:

Umar bin Khatthab bercerita: Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah saw, tiba-tiba muncul seorang lelaki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda  perjalanan jauh (yang menegaskan ia orang asing), namun seorang pun di antara kami tidak ada yang mengenalnya; sehingga (tanpa kami sadari) ia sudah duduk di hadapan Nabi saw. Lalu ia pertemukan lututnya dengan lutut Nabi, kemudian ia letakkan kedua tangannya di atas paha Nabi. Selanjutnya ia pun berkata, “Hai Muhammad, terang-kan padaku tentang Al-Islãm.”

Rasulullah saw menjawab: (1) “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat; anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan; dan anda  berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkomentar: Anda benar!
Kata Umar (kepada anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.
Jawab Nabi: (2) Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah).


Lelaki itu berkomentar: Anda benar. Katanya lagi: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.
Kata Nabi: (3) Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda.
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah.
Jawab Nabi: (4) Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu).


Kata lelaki itu kemudian: Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya.
Jawab nabi: (5) (Tanda-tandanya antara lain adalah) seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung.


Kata Umar (kepada anaknya): Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”
Kataku (Umar), “Allah dan rasulnya lebih tahu.”


Kata Nabi,  “Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”


Demikianlah isi Hadis Jibril itu. Perkataan Nabi yang terakhir sengaja digarisbawahi karena merupakan kesimpulan; sedangkan jawaban-jawaban Nabi sengaja diberi nomor (1-5), karena itulah agaknya yang dikatakan Nabi sebagai amra dïnakum (أمر دينكم). Tentu yang dimaksud Nabi sebagai dïnakum (agama kalian) adalah dïnul-islãm. Dengan demikian, Hadis Jibril ini memberi gambaran tentang pokok-pokok permasalahan dïnul-islãm sebagai berikut.
Dïnul-islãm (agama Islam) itu terdiri dari:
Al-Islãm(u)
Al-Imãn(u)
Al-Ihsãn(u)
– As-Sã’ah, dan
Amãratus-Sã’ah


Dalam versi lain, dengan penutur Abu Hurairah, Jibril bertanya mulai dari Al-ïmãn, dan Nabi menjawab dengan kalimat agak berbeda, yaitu: Al-ïmãn anda meyakini ajaran Allah, yang disampaikan malaikatnya, yakni kitabnya beserta perwujudan nyatanya, yakni rasulnya, dan selanjutnya anda meyakini al-ba’tsul-âkhir.

Sedangkan Al-Islãm diuraikan Nabi sebagai anda (hanya) mengabdi Allah, dalam arti tidak mengadakan tandingan apa pun baginya, melaksanakan shalat maktubah (lima waktu), membayar zakat yang diwajibkan, dan melakukan shaum Ramadhan. (Tidak disebut tentang haji).
Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah seolah-olah melihatnya, namun bila tidak dapat melihatnya maka (sadarilah) bahwa Dia melihat anda.

Ketika ditanya tentang As-Sã’ah Nabi mengatakan, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi akan kusebutkan tanda-tandanya; (yaitu) bila seorang budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah salah satu tandanya; dan bila orang miskin sudah menjadi pemimpin, maka itulah salah satu tandanya; dan bila penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung, maka itulah salah satu tandanya… Di antara yang lima  (Abu Hurairah cuma menyebut tiga) itu, hanya Allah yang tahu.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Ilmu tentang As-Sã’ah hanya milik Allah. Dialah yang menurunkan hujan, yang mengetahui isi kandungan (perempuan).

Sedangkan manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok, tidak tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang menegetahui segala sesuatu dengan seterang-terangnya.” Lalu kata Abu Hurairah, “Kemudian lelaki itu pergi. Maka kata Rasulullah saw, ‘Suruh lelaki itu kembali kepadaku.’ Maka mereka berusaha memanggilnya kembali, tapi tak seorang pun melihatnya. Maka kata Rasulullah saw, ‘Dia adalah Jibril, yang datang untuk mengajar manusia tentang agama mereka.’

Islam sebagai organisasi

Walaupun kita menerjemahkan Dïnul-Islãm sebagai Agama Islam (untuk memudahkan), kita tidak memahami Dïnul-Islãm sebagai kumpulan ritus –  sebagaimana dipaparkan dalam buku -buku fiqih –  tapi sebagai sebuah sistem untuk menata (mengatur) kehidupan manusia.
Perhatikan kembali urian di atas! Dalam Dïnul-Islãm ada al-islãm, yang di dalamnya terkandung lima unsur, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji. Yang menarik, pada kesempatan lain, Nabi menyebutkan lagi Al-Islãm dengan kelima unsurnya itu dalam susunan kalimat yang dimulai dengan kata buniya (dibangun; dibentuk – lihat kembali artikel sebelum ini), sehingga bisa disimpulkan bahwa Al-Islãm itu adalah (ibarat) sebuah bun-yãn atau binã’an.
Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bun-yãn atau binã’an berarti bangunan. Tapi bila kita bawa ke dalam bahasa Inggris artinya adalah structure (struktur). Lebih lanjut, bila istilah struktur kita bawa ke dalam konteks kebudayaan, maka struktur itu terbagi dua: (1) supra struktur, dan (2) infra struktur.
Struktur manakah yang dimaksud oleh Nabi ketika beliau menyebut Al-Islãm – dalam konteks Hadis Jibril itu – sebagai bangunan? Jelas, redaksinya menegaskan, bahwa bangunan yang dimaksud bukanlah infra struktur.
Sepanjang sejarah perjuangannya, sekitar 23 tahun, Nabi baru membangun sebuah infra struktur pada tahun ke-13, dalam bentuk masjid yang sangat sederhana di Yatsrib, tepatnya di dusun bernama Quba, pada hari kesepuluh Hijrah. Sekitar tujuh bulan kemudian, didirikan pula sebuah masjid  dan tempat tinggal keluarga Nabi di sebuah dusun lain, yang selanjutnya menjadi pusat kota Madinah. Selebihnya, yang dibangun oleh Nabi sepanjang hidupnya adalah sebuah supra struktur, yang di sini dibatasi dalam pengertian jama’ah, dengan catatan bahwa jama’ah ini adalah komunitas (Ing.: community) khusus para mu’min. Sedangkan masyarakat Madinah yang agak heterogen disebut Nabi dalam Piagam Madinah sebagai ummah (umat).

Perhatikanlah redaksi Nabi, dalam Hadis Jibril, ketika menjelaskan Al-Islãm, Al-Imãn, dan seterusnya, yang secara keseluruhan mengunakan kata kerja berisi kata ganti anta (anda). Ini adalah isyarat bahwa dalam pembicaraannya Nabi memberi penekanan pada faktor manusia, yaitu manusia yang ber-Al-Islãm, ber-Al-Imãn, dst.

Jelasnya, Al-Islãm itu baru bisa muncul bila ada manusia yang bersyahadat, manusia yang shalat, dst. Dengan kata lain, Al-Islãm dalam konteks hadis itu, adalah sebuah “kumpulan (jama’ah) manusia”.
Tentu saja mereka berkumpul bukan asal berkumpul, tapi berkumpul secara tertata, tersusun, alias terstruktur, bahkan juga terikat dalam suatu “sistem komando”. Jangankan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan dalam jumlah kecil pun harus dipastikan strukturnya, seperti kata Nabi dalam sebuah hadis bahwa dalam ‘rombongan’ yang terdiri dari dua orang pun harus dipastikan siapa yang menjadi pemimpin.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelima unsur dalam Al-Islãm itu disebutkan bukan dalam konteks ritual, tapi dalam konteks organisasi. Alhasil, pengetian kelima unsur di dalamnya adalah:

1.    Syahadat: bay’at (sumpah setia, yang dilakukan secara formal) terhadap pemimpin, yakni Allah, melalui rasulnya.
2.    Shalat (= ad-du’a, harapan; cita-cita; obsesi) pemantapan tekad atau cita-cita dalam diri setiap anggota (mu’min) untuk menegakkan ajaran Allah (Al-Qurãn), dengan melakukan proses pembatinan (internalisasi) yang terus-menerus, melalui pelaksanaan shalat ritual, terutama yang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Shalat jama’ah ini bahkan merupakan lambang dari shaff (barisan) yang disebut bun-yãnun marshûsh itu.
3.    Zakat: penyerahan sebagian harta untuk kepentingan organisasi (jama’ah), minimal 2½ persen kekayaan pribadi, dan maksimal tak terbatas.
4.    Shaum Ramadhan: sarana pembinaan ketahanan fisik dan mental setiap anggota jama’ah, untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar hanya bertuhan Allah, sehingga mereka siap menghadapi segala godaan dan kesulitan dalam perjuangan.
5.    Haji: Sarana pembinaan hubungan internasional antar umat Islam  yang tinggal di berbagai belahan bumi .

Iman sebagai dasar

Pembahasan berikutnya dalam Hadis Jibril adalah Al-Imãn, yang juga harus diingat bahwa istilah ini disebut dalam konteks organisasi. Melalui hadis inilah kita bisa melihat perbedaan makna antara islãm dan imãn secara tegas (definitif), seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15:
قالت الأعراب آمنّا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولمّا يدخل الإيمان فى قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم مِن أعمالكم شيئا إنّ الله غفور رحيم – إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله ثمّ لم يرتابوا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم فى سبل الله أولئك هم الصادقون
Orang-orang Arab (Makkah, pada masa Futuh Makkah) menyatakan (kepada Rasulullah), “Kami beriman!”. (Kata Allah kepada rasulnya) “Tegaskan: mereka belum beriman! Sebaliknya, suruh mereka untuk mengatakan: ‘kami menyerah (takluk)’; karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian. Namun bila kalian (dalam keadaan demikian itu) mematuhi Allah dengan mengikuti perintah dan keteladanan rasulnya, maka segala amal kalian tidak akan disepelekan; karena Allah (melalui ajaranNya) maha penutup (kejahatan masa lalu kalian) dan maha pewujud kehidupan kasih sayang.”

Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.(h.a)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.