Penguasaan Bahasa Al-Quran
THE JAMBI TIMES - Seorang dosen bahasa Arab di Universitas Indonesia berkata, “Orang
Arab sekarang lebih menyukai bahasa Inggris daripada bahasa mereka
sendiri. Kalau kita pergi ke negara-negara Arab, dan berbicara kepada
mereka dengan bahasa Arab yang baik (fushah), mereka akan menyahut dengan bahasa pasar (suqiy) yang tidak kita pahami. Itu cara mereka memancing kita menggunakan bahasa Inggris.”
Seorang sarjana bahasa Arab lulusan Universitas Indonesia, suatu
hari berkunjung ke sebuah kedutaan negara Timur Tengah. Ketika
berhadapan dengan para petugas di situ, ia mengatakan bahwa tidak
menguasai bahasa Amiah, karena itu ia akan menggunakan bahasa resmi.
Para petugas itu mengiyakan. Tapi sarjana baru ini kemudian dibuat
kaget ketika mendapati para petugas itu bicara perlahan, terbata-bata,
dan di sana-sini melakukan kesalahan tata-bahasa. Ketika pembicaraan
selesai, salah seorang petugas mengaku bahwa berbicara dengan bahasa
Arab yang baik bagi mereka adalah musykilah (sulit).
Seorang dosen agama di IKIP Jakarta juga bercerita tentang
pengalamannya pertama kali datang ke Arab. Ia yang sudah begitu tekum
mempelajari bahasa Arab di tanahairnya setibanya di Arab menjadi bingung
karena setiap orang yang dijumpainya tidak ada yang memahami
kata-katanya, sehingga ia terpaksa menggunakan bahasa Inggris.
Namun
ketika menginap di hotel ia ‘beruntung’ karena bertemu seorang porter
yang memahami bahasa Arabnya. Kepada orang inilah ia bertanya
mengapa orangorang Arab yang dijumpainya tidak memahami
kata-katanya. “Sungguh, saya merasa malu karena saya pikir bicara
saya mungkin salah,” katanya.
“Tidak, bahasa anda baik sekali,” kata si porter, tapi, “kalamuka laysa kalamuna wa lakin kalamul-anbiya’ wal-mursalin wal-’ulama’.” (Bahasa yang anda gunakan itu bukan bahasa kami tapi bahasa para nabi, para rasul, dan ulama).
Setelah terbengong agak lama, sang dosen bertanya, “Tapi kok anda bisa mengerti?”
“Saya pernah belajar di perguruan tinggi.”
Tapi belajar di perguruan tinggi pun ternyata tidak menjadi jaminan
untuk dapat memahami bahasa para nabi itu. Seorang karyawan di sebuah
penerbit kitab-kitab berbahasa Arab suatu hari bertanya kepada atasannya
yang berdarah Arab dan lulusan sebuah perguruan Timur Tengah tentang
makna sebuah ayat. Ia dibuat heran ketika sang atasan menjawab dengan
nada mengeluh, “Waduh, saya kok tidak mengerti ya? Padahal ini ‘kan
Quran. Seharusnya ‘kan saya mengerti.”
Tuntutan logis peradaban?
Kecenderungan masyarakat Arab modern terhadap bahasa Inggris juga
telah lama disoroti oleh Hassan Al-Banna. Dalam sebuah buku yang
memuat sepuluh nasihatnya, ia menyatakan keprihatinannya karena mereka
bukan saja lebih fasih berbahasa Inggris dalam percakapan tapi juga
dalam menulis:
“Mula-mula musibah yang menghancurkan bangsa Arab merobohkan potensi
yang ada, adalah keteledoran mereka sendiri. Mereka banyak
menyia-nyiakan waktu dan meremehkan bahasa agama (Islam). Mereka tidak
berani menekuni secara menyeluruh dalam mempelajari bahasa itu
sehingga menjadi bahasa tulis dan percakapan.
Mereka lebih cenderung
dan lebih fasih menggunakan bahasa asing. Lebih fasih dalam memakai,
menyusun kata dalam berbicara. Semakin kuat kefasihan berbahasa,
kebanyakan manusia cenderung memakainya, kecuali orang yang
benar-benar dipelihara Allah.
Bagian dari menekuni bahasa secara ini ialah menyebarluaskan dan
membudayakan kepada golongan dan kelompok-kelompok, memberikan motivasi
yang dapat melahirkan semangat tinggi untuk menghasilkan suatu
penelaahan arti kata dan pemikirannya kepada generasi muda.
Sebab
kesatuan bahasa adalah jalan merealisasikan amal secara mutlak.
Merupakan keuntungan dalam upaya mencip-takan satu pola pikir dan
pemikiran.” Demikian Hassan Al-Banna dalam Washa al-‘Asyr Li-l-Imam Asy-Syahid Hassan Al-Banna.
Manna Khalil al-Qattan, dalam bukunya Mabahitsu fi ‘ulumil-Qur-an mencoba memberikan gambaran logis tentang kenyataan tersebut:
Fenomena
yang kita saksikan dewasa ini tentang pentingnya mempelajari
bahasa-bahasa asing bagi bangsa Arab, sehingga bangsa ini dapat
mengirimkan misi-misi ilmiah ke berbagai univesitas negara-negara lain
atau dapat mengkaji buku-buku induk ilmu pengetahuan alam di
universitas-universitasnya, mengingat buku-buku tersebut dalam bahasa
asing dan oleh pengarang asing pula, merupakan tuntutan logis dari
kebutuhan akan ilmu dan peradaban.
Kita
melihat buku-buku asing tersebut telah menyebarkan pengaruhnya dalam
pemikiran sebagian besar orang, menentukan kecenderungan-kecenderungan
mereka dalam pola kehidupan, dan bahkan sampai pada tingkat kecintaan
dan kegemaran terhadapnya serta ekspansi seni-seninya.
Buku-buku itu
telah membawa pengaruh besar terhadap moral, kebiasaan dan tradisi yang
menyebabkan kehidupan kita pada umumnya dan dalam berbagai coraknya
keluar dari ciri-ciri Islam dan nilai-nilai positifnya.
Padahal
bangsa-bangsa lain tidak merasa perlu menerjemahkan buku-buku mereka
ke dalam bahasa Arab, mengingat status ilmiahnya.
Seandainya
negeri-negeri Islam konsisten pada jalan kebangkitannya yang pertama,
baik dari segi ilmu, peradaban, politik, etika, kekuasaan maupun
kewibawaannya, tentulah segala penjuru dunia akan menghormati mereka
dan berkeinginan untuk mempelajari bahasa Arab agar dapat menimba
secara langsung dari sumbernya segala produk pemikiran Islam, untuk
menyirami kehausan akan ilmu pengetahuan, bernaung di bawah kekuasaan
mereka dan berlindung di bawah kedaulatannya.
Dan tentu pula dunia akan
melihat kebutuhan seperti yang kita rasakan dewasa ini, yakni kebutuhan
kita terhadap bahasa dunia.
Anglophile atau Anglomania?
Timbulnya bahasa Inggris sebagai “bahasa dunia” tidak terlepaskan
dari sejarah bangsa Inggris yang mencapai puncak kejayaan pada akhir
abad sembilan belas dan awal abad dua puluh.
Pada waktu itu kerajaan
(imperium) Inggris adalah kerajaan terbesar di dunia, dengan kekuasaan
yang meliputi hampir seperempat bagian dunia. Puluhan negara dan bangsa
yang jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan Inggris otomatis
menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka.
Kemudian, dengan
munculnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya semakin kokohlah
pengaruh bahasa Inggris di dunia, karena bangsa Amerika pun menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Dengan kata lain, bahasa Inggris
tumbuh semakin meng-global (mendunia).
Bila bahasa Inggris kita anggap bahasa Barat (memang kenyataannya
demikian), maka globalisasi bahasa Inggris berarti globalisasi pengaruh
Barat. Bila kebudayaan Barat dipandang sebagai kebudayaan hebat, maka
tidak perlu heran bila kebanyakan manusia di dunia merasa bangga
karena mampu berbahasa Inggris, dan merasa minder bila tidak bisa
berbahasa Inggris.
Apalagi bila ditambah dengan dalil bahwa kebanyakan
buku-buku ilmiah ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga orang yang
tidak mengerti bahasa Inggris berarti tidak kenal ilmu atau dangkal
ilmunya.
Munculnysa peralatan canggih seperti komputer (dan kemudian
internet), yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya,
semakin menguatkan anggapan itu.
Karena hebatnya pengaruh Inggris, sebagai salah satu dampaknya timbullah berbagai penyakit, di antaranya Anglophile dan Anglomania.
Yang pertama berarti pemujaan terhadap bangsa dan budaya Inggris,
sedangkan yang kedua berarti kegilaan terhadap apa saja yang berbau
Inggris. Sultan Omar dari Brunei, ayah sultan Brunei sekarang (Hassanal
Bolkiah), adalah seorang Anglophile.
Salah satu tokoh yang dipujanya
adalah Winston Churchil, negarawan, perwira, dan pengarang Inggris
yang pernah menerima hadiah Nobel.
Bila kita pergi ke Brunei, di sana
akan kita jumpai sebuah museum yang dibuat oleh Sultan Omar,
satu-satunya museum di dunia yang dibangun demi mengenang Churchil. Di
dalamnya tersimpan berbagai benda yang pernah dimiliki Churchil, mulai
dari pakaian seragam, buku-buku, gambar-gambar, foto-foto,
rekaman pidato, dan lain-lain.
Bukan cuma alat komunikasi
Dalam pengertian yang telah mashur, bahasa dikatakan sebagai “alat
komunikasi” alias sarana untuk berhubungan antar manusia. Bila kita
cermati lebih jauh, dalam komunikasi itulah terjadi pemindahan atau
pertukaran pengetahuan, informasi, gagasan, dan sebagainya.
Bahkan
kemudian berkat komunikasilah timbul saling pengaruh kebiasaan, saling
pengaruh kebudayaan. Tentu saja kata saling di sini tidak bisa kita
beri pengertian harfiah, karena kenyataannya komunikasi sering
berlangsung satu arah, karena arus dari satu pihak lebih besar dan
deras sementara dari pihak lainnya sangat kecil dan lemah.
Muatan
pengetahuan, informasi, dan gagasan adalah penentu besar-kecilnya atau
deras-lemahnya arus tersebut. Karena itu sungguh aneh bila ada orang
mengatakan, “Untuk menguasai suatu bangsa, kuasailah bahasanya.”
Tentu saja, dengan menguasai bahasa suatu bangsa kita akan dapat
simpati dari bangsa itu, karena dengan demikian berarti kita telah
memudahkan mereka berkomunikasi dengan kita, karena mereka tetap
menggunakan bahasa ibu mereka.
Selanjutnya, bertentangan dengan pameo
di atas, bila kita sudah menguasai bahasa suatu bangsa, terbukalah
kemungkinan bagi bangsa itu untuk menaklukkan kita! Terutama bila
bangsa itu memang bangsa yang maju, sehingga di dalam bahasanya
termuat segala pengetahuan, informasi, dan gagasan yang berpengaruh
(mempengaruhi kita!).
Unsur pemersatu
Sebagai bangsa Indonesia kita dipersatukan, antara lain, oleh Bahasa
Nasioal Indonesia. Tapi sebagai warga dunia yang tidak luput dari
hempasan gelombang globalisasi, kita pun bisa dipersatukan dengan
bangsa-bangsa lain dengan bahasa yang pengaruhnya mendunia.
Dengan
kata lain, karena suatu bahasa tidak bisa dipisahkan dengan muatan
budayanya, maka pada akhirnya seluruh bangsa di dunia ini bisa menjadi
manusia-manusia berbeda ras namun hanya mempunyai satu kebudayaan.
Tentu saja kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Barat!
Inilah yang
menjadi pemicu kecemasan bagi pihak-pihak yang prihatin terhadap nasib
kebudayaan bangsanya yang terancam arus globalisasi. Dalam hal ini
mereka yang tegas anti globalisasi memandang globalisasi sama dengan
gombalisasi, alias penggombalan (penurunan nilai, pelecehan) budaya
bangsa sendiri.
Namun bagaimana pun globalisasi adalah arus zaman, dan bukan
sesuatu yang baru. Pada zaman Rasulullah pun sudah ada globalisasi,
dalam arti terjadinya pergaulan antar bangsa yang pada akhirnya
menjadi sarana penyebaran kebudayaan suatu bangsa yang berpengaruh,
karena dianggap sebagai bangsa yang maju. Pada masa itu pun sudah ada
kekuatan Blok Barat dan Blok Timur.
Belahan bumi barat, yaitu
wilayah Timur Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika Utara, waktu itu sudah
dikuasai Imperium Romawi yang beragama Kristen. Sedangkan sebelah
timur dari Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang kini menjadi Iran,
Irak, Afganistan, dan Pakistan, pada waktu itu semua terletak dalam
kekuasaan Imperium Persia Baru.
Turunnya Quran pada awal abad ketujuh
Masehi tidak diragukan lagi merupakan ‘senjata’ dari Allah untuk
menangkal arus pengaruh kedua blok kekuasaan tersebut. Selanjutnya,
Quran menjadi pemersatu bangsa Arab dan menjadi identitas bangsa
tersebut. Kemudian, ketika pengaruh Quran terhadap mereka pudar, mereka
pun kembali berpecah-belah, kehilangan identitas, dan jatuh ke tangan
berbagai penjajah.
Bahasa dan kepribadian
Tanpa menguasai bahasa, manusia tidak akan bisa berpikir, karena thinking involves the manipulation of symbols, and the most complete and convenient system of symbols is our language.[1]
(Berpikir melibatkan penggunaan lambang-lambang, dan sistem lambang
yang paling lengkap serta menyenangkan adalah bahasa kita).
Sebaliknya, ditemukan pula kenyataan bahwa kekacauan seseorang dalam
berbahasa mengisyaratkan kekacauan orang tersebut dalam berpikir.
Bahasa memegang peranan penting, dan mendasar, dalam pembentukan
kepribadian. Latihan penguasaan bahasa di sekolah dengan pembiasaan
menulis indah, rapi, dan bersih, sangat menentukan dalam pembentukan
kepribadian yang tekun, sabar, dan jujur.
Tentu saja latihan ini harus
diiringi dengan latihan penggunaan bahasa secara aktif dengan penekanan
pada pemilihan kata dan kalimat yang tepat, dan latihannya dilakukan
intensif mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Kesadaran akan soal ini sudah lama dimiliki bangsa Jepang.
Anak-anak
Jepang pada zaman Samurai, misalnya, sejak kecil telah diwajibkan
berlatih menulis kaligrafi huruf Kanji yang rumit itu setiap hari
selama berjam-jam, tak peduli meskipun mereka sedang dilanda cuaca
dingin yang membekukan.
Di sekolah kita, sampai kini, pelajaran bahasa Indonesia memang
dianggap penting. Namun yang patut diprihatinkan adalah metode
penyampaiannya yang tidak menarik, dan para pengajarnya juga umumnya
kurang menguasai materi yang mereka ajarkan.
Yang paling
memprihatinkan adalah tiadanya kesadaran bahwa pelajaran bahasa adalah
dasar pembentukan kepribadian, sehingga tentu harus ditangani dengan
sangat serius.
Di sekolah sendiri, pengajaran bahasa yang baik akan
membantu kelancaran proses belajar-mengajar. Sebab cuma dengan
penguasaan bahasa yang baik para guru dapat menyampaikan materi
pelajaran secara maksimal, dan para pelajar pun dapat memahami
pelajaran secara maksimal.
Selain itu, penguasaan bahasa Indonesia
yang baik juga dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa sendiri,
sehingga tidak minder untuk membawanya ke dunia internasional, dan
tentu saja kita pun jadi tidak ‘tergila-gila’ pada bahasa asing.
Sebaliknya, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, kita pun dapat
pula memahami dan menerjemahkan bahasa asing dengan baik. Untuk yang
terakhir ini, penulis punya pengalaman yang menarik. Suatu ketika
bersama seorang teman penulis mewawancarai seorang pengusaha yang
beristri penerbang.
Keduanya berdarah Sunda tulen, dan agaknya
mempunyai darah menak (bangsawan), tapi gaya hidup yang mereka pilih
adalah gaya hidup Eropa. Setiap hari mereka pun saling berbicara dengan
bahasa Belanda atau Inggris.
Kata-kata dari kedua bahasa itulah yang
sering muncul di tengah percakapan kami yang menggunakan bahasa
Indonesia, yang agaknya menyiksa lidah mereka.
Sang istri bahkan
bertanya kepada penulis tentang arti kata alert (Inggris:
waspada) dalam bahasa Indonesia. Barangkali mereka ini adalah wakil dari
suatu generasi yang merasa bangga karena kita pernah dijajah
bangsabangsa asing (yang maju!).
Bahasa dan Islam
Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahasa sebagai
alat yang penting untuk memelihara keutuhan dan kemurnian ajarannya.
Karena itulah ada kelompok ulama yang berpendapat bahwa Quran tidak
boleh diterjemahkan ke bahasa lain.
Namun segolongan lain berpendapat
bahwa penerjemahan itu boleh, bahkan harus dilakukan, namun naskah
aslinya tidak boleh diabaikan. Pendapat pertama nampak kaku dan sempit.
Namun sebenarnya di situ tersirat suatu sikap bertanggung-jawab
yang mendalam.
Dengan tidak boleh diterjemahkan, berarti tidak perlu
ada kitab-kitab tandingan bagi Quran. Dengan demikian juga berarti
bahwa siapa pun yang ingin memahami Quran maka ia harus mempelajari
bahasanya. (Ini dilakukan para orientalis, namun jarang dilakukan umat
Islam!). Bila prinsip ini ditegakkan, maka kegiatan mempelajari
bahasa Quran akan digalakkan.
Bahasa Quran akan menjadi bahasa kedua
umat Islam setelah bahasa ibunya. Bahasa Quran akan menjadi bahasa
pergaulan, menjadi alat pemersatu, menjadi identitas umat Islam
sedunia. Dengan kata lain, terjadilah globalisasi bahasa Quran.
Keutuhan Quran akan semakin terjamin.
Bila bangsa-bangsa yang berbahasa
Inggris (dan bahasa-bahasa lain) tidak mau menerjemahkan buku-buku
ilmiah mereka ke bahasa Arab (dan bahasa-bahasa lain), karena alasan
ingin mempertahankan nilai ilmiahnya, maka Quran pun tidak perlu
diterjemahkan ke bahasa apa pun demi memelihara nilai ilmiahnya!
Dengan
demikian, umat Islam pun akan mendapatkan pengetahuan agama yang
obyektif, karena akrab dengan kitab sucinya, karena peran bahasa
difungsikan dalam pendidikan, dalam proses pembentukan kepribadian
Islami.
Sayang, akhirnya pendapat kedualah yang menang, meskipun mungkin cuma
sementara. Pendapat yang kedua ini memang terasa moderat (lunak) dan
praktis, sehingga bisa diterima secara umum.
Karena itulah kini kita
menjumpai banyak buku terjemahan maupun tafsir Quran, dengan tulisan
aslinya yang selalu diletakkan di sisi terjemahannya; seolah
mengingatkan bahwa penerjemahan Quran tidak akan pernah berhasil
sempurna. Namun yang tidak sempurna itulah (dalam arti bisa salah
fatal) yang akhirnya dicekokkan kepada umat yang awam.
Selanjutnya pandangan yang moderat itu pun melahirkan dampak
yang memprihatinkan. “Berbicara tentang terjemahan Quran merupakan
fenomena kelemahan kedaulatannya,” tulis Manna Khalil al-Qattan dalam Mabahitsu fi ‘Ulumil-Qur`an. Begitulah kenyataannya.
Bahkan kita lihat dalam kenyataan seharihari bagitu banyak orang
yang ‘fanatik’ terhadap Islam, lancar berbicara tentang Islam, namun
membaca mushaf mereka tidak bisa, atau cuma bisa terbata-bata seperti
anak kecil yang belum hafal nama-nama huruf.
Bagi mereka bahasa Quran
memang merupakan bahasa yang sangat asing, bila dibandingkan dengan
bahasa Inggris dan “bahasa-bahasa penting” lainnya, karena
mempelajarinya pun mereka tidak mau. Ironisnya, mereka justru punya
setumpuk argumen untuk menentang pentingnya mempelajari bahasa Quran.
Teman penulis, seorang sarjana ilmu dakwah IAIN, suatu ketika
berkata, “Kenapa harus susah-susah belajar bahasa Arab? Bukankah
terjemahan Quran sudah banyak dibuat orang, dan buku-buku agama sudah
banyak yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia?”
Itulah contoh dari sekelompok orang yang cenderung instant minded, mau serba cepat, sehingga agama pun dianggap sebagai sejenis fast food, seperti mie instant, yang bisa dimakan setelah dimasak lima menit, atau langsung saja disantap seperti kerupuk, bila perlu.
Mereka tidak menyadari fungsi bahasa sebagai alat pembentukan
kepribadian; tidak memahami bahwa dalam suatu bahasa terkandung suatu
bentuk kebudayaan.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan bila orang kelaparan ingin cepat
melahap makanan yang ditemukannya. Juga tidak bisa disalahkan bila
orang-orang sibuk ingin menyantap makanan sambil terus sibuk bekerja.
Tapi soalnya, tidak semua jenis makanan bisa diproses secara kilat.
Tidak semua jenis makanan bisa diolah menjadi instant food.
Bahkan juga tidak semua jenis makanan bisa cukup lezat, memuaskan,
dan menyehatkan dengan hanya diambil sarinya saja. Begitu banyak
makanan penting yang harus kita makan secara alami, sehingga kita
bisa menikmati rasa, aroma, serta khasiatnya bagi tubuh kita.
Bahkan
konon vitamin apel justru terkumpul dalam kulitnya, sehingga bodohlah
orang yang makan buah apel dengan mengupas kulitnya!
Quran tentu lebih istimewa dari buah apel. Bila anda mengatakan
bahwa yang terpenting dari Quran adalah isinya, anda juga harus tahu
bahwa isi Quran tidak akan dapat dicernakan dengan baik, tidak akan
menjadi darah dan daging, bila anda membuang kulitnya (bahasa aslinya).
Pengasingan bahasa Quran terjadi karena kecerobohan dan kelalaian
umat Islam, politik penjajah, dan selanjutnya karena ‘kepanikan’ para
juru da’wah. Yang terakhir, mungkin karena ingin mengislamkan orang
secara cepat, demi mengejar dan kemudian mempertahankan kuantitas,
maka langsung atau tidak langsung mereka memandang bahasa Quran sebagai
penghambat bagi “syi’ar Islam”.
Padahal dalam Quran ada sejumlah ayat
yang melarang kita bersikap tergesa-gesa, dan beberapa ayat lain, yang
didukung banyak Hadis, menyuruh kita berusaha mempelajari Quran
secara perlahan. Lagipula, Allah sendiri menurunkan Quran secara
bertahap, selama sekitar 23 tahun.
Belakangan ini telah tumbuh subur taman kanak-kanak Al-Quran yang
menggunakan metode IQRA dan sebagainya. Kita pun sering dibuat takjub
dengan penampilan anak-anak kecil yang belum bisa mengucapkan huruf R
namun sudah lincah membaca Quran. Metode pengajaran membaca Quran
yang praktis telah ditemukan di Indonesia (dan konon sudah diekspor ke
Arab!).
Namun kesadaran untuk mempelajari bahasa Quran masih
memprihatinkan. Bahkan cukup sulit menemukan guru agama, guru mengaji,
imam masjid, pengajar IQRA, yang mengenal bahasa Quran. Karena itu
tidak aneh bila setelah tamat belajar paket IQRA, khatam membaca Quran,
anak-anak kecil itu kemudian cuma mendapat pelajaran tambahan berupa
teori tajwid yang dilagukan, plus pelajaran menyanyi “lagu-lagu Islam”
dan pelajaran menari (tarian Islam?).
Alangkah baiknya bila setelah lancar membaca Quran anak-anak itu
(juga para orang dewasa) kemudian dibimbing mempelajari bahasa Quran
dengan cara mudah dan menyenangkan. Alangkah baiknya bila lagu-lagu
yang diajarkan kepada anak-anak itu digubah dalam bahasa Arab, bukan
dalam bahasa Inggris seperti yang kini banyak beredar. Syair-syair
berbahasa Inggris yang diiringi lagu-lagu indah sudah banyak dibuat
orang. Haruskah kita membantu usaha mereka lagi?
Ketika meluncurkan album lagu anak-anak muslim dua bahasa,
Indonesia dan Inggris, Neno Warisman mengatakan kepada para
wartawan bahwa penggunaan bahasa Inggris itu bukan untuk pamer
kemampuan berbahasa Inggris, tapi kerena pertimbangan pemasaran di luar
negeri.
Dengan kata lain, bila bahasa Inggris diganti dengan bahasa
Arab, misalnya, kaset Neno tersebut tak bisa diedarkan di luar negeri,
walaupun di negeri-negeri berbahasa Arab. Soalnya, seperti sudah
disinggung pada awal naskah ini, orang Arab pun kini lebih menyukai
bahasa Inggris.(a.h)