News Breaking
Live
wb_hadi

Breaking News

Penguasaan Bahasa Al-Quran

Penguasaan Bahasa Al-Quran



THE JAMBI TIMES - Seorang dosen bahasa Arab di Universitas Indonesia berka­ta, “Orang Arab sekarang lebih menyukai bahasa Inggris  dari­pada bahasa mereka sendiri. Kalau kita pergi ke negara-negara Arab,  dan  berbicara kepada mereka dengan bahasa  Arab  yang baik (fushah), mereka akan menyahut dengan bahasa pasar  (su­qiy)  yang tidak kita pahami. Itu cara mereka memancing  kita menggunakan bahasa Inggris.”

Seorang sarjana bahasa  Arab lulusan Universitas Indonesia,  suatu hari berkunjung ke sebuah  kedutaan  negara Timur  Tengah. Ketika berhadapan dengan para petugas di  situ, ia mengatakan bahwa tidak menguasai bahasa Amiah, karena  itu ia  akan menggunakan bahasa resmi. 

Para petugas itu  mengiya­kan. Tapi sarjana baru ini kemudian dibuat kaget ketika  men­dapati para petugas itu bicara perlahan, terbata-bata, dan di sana-sini melakukan kesalahan tata-bahasa. Ketika  pembicaraan selesai, salah seorang petugas mengaku bahwa berbicara dengan bahasa Arab yang baik bagi mereka adalah musykilah (sulit).

Seorang  dosen agama di IKIP Jakarta juga bercerita  tentang pengalamannya pertama kali datang ke Arab. Ia yang sudah begitu tekum mempelajari bahasa Arab di tanahairnya setibanya di Arab menjadi bingung karena setiap orang yang  dijumpainya tidak  ada yang memahami kata-katanya, sehingga  ia  terpaksa menggunakan bahasa Inggris. 

Namun ketika menginap di hotel ia ‘beruntung’ karena bertemu seorang porter yang memahami baha­sa  Arabnya. Kepada orang inilah ia bertanya  mengapa  orang­orang  Arab  yang dijumpainya  tidak  memahami  kata-katanya. “Sungguh,  saya  merasa malu karena saya  pikir  bicara  saya mungkin salah,” katanya.

“Tidak,  bahasa anda baik sekali,” kata si porter,  tapi,  “kalamuka laysa kalamuna wa lakin kalamul-anbiya’ wal-mursalin wal-’ulama’.” (Bahasa yang anda gunakan itu bukan bahasa kami tapi bahasa para nabi, para rasul, dan ulama).

Setelah terbengong agak lama, sang dosen bertanya,  “Tapi kok anda bisa mengerti?”
“Saya pernah belajar di perguruan tinggi.”

Tapi belajar di perguruan tinggi pun ternyata tidak menjadi jaminan untuk dapat memahami bahasa para nabi itu. Seorang karyawan di sebuah penerbit kitab-kitab berbahasa Arab suatu hari bertanya kepada atasannya yang berdarah Arab dan lulusan sebuah perguruan Timur Tengah tentang makna sebuah ayat.  Ia dibuat heran ketika sang atasan menjawab dengan nada mengeluh, “Waduh, saya kok tidak mengerti ya? Padahal ini ‘kan Quran.  Seharusnya ‘kan saya mengerti.”

Tuntutan logis peradaban?

Kecenderungan masyarakat Arab modern terhadap bahasa Ing­gris juga telah lama disoroti oleh Hassan Al-Banna. Dalam se­buah  buku yang memuat sepuluh nasihatnya, ia menyatakan  ke­prihatinannya karena mereka bukan saja lebih fasih  berbahasa Inggris dalam percakapan tapi juga dalam menulis:

“Mula-mula musibah yang menghancurkan bangsa Arab  merobohkan potensi yang ada, adalah keteledoran mereka  sendiri. Mereka banyak menyia-nyiakan waktu dan meremehkan bahasa aga­ma  (Islam). Mereka tidak berani menekuni  secara  menyeluruh dalam  mempelajari bahasa itu sehingga menjadi  bahasa  tulis dan percakapan. 

Mereka lebih cenderung dan lebih fasih  meng­gunakan bahasa asing. Lebih fasih dalam memakai, menyusun kata  dalam berbicara. Semakin kuat kefasihan berbahasa,  kebanyakan  manusia cenderung memakainya, kecuali orang yang  be­nar-benar dipelihara Allah.

Bagian dari menekuni bahasa secara ini ialah menyebarlu­askan dan membudayakan kepada golongan dan kelompok-kelompok, memberikan motivasi yang dapat melahirkan semangat tinggi un­tuk menghasilkan suatu penelaahan arti kata dan  pemikirannya kepada generasi muda. 

Sebab kesatuan bahasa adalah jalan  me­realisasikan  amal secara mutlak. Merupakan keuntungan  dalam upaya  mencip-takan satu pola pikir dan  pemikiran.”  Demikian Hassan  Al-Banna  dalam Washa al-‘Asyr  Li-l-Imam  Asy-Syahid Hassan Al-Banna. 

Manna Khalil al-Qattan, dalam bukunya Mabahitsu fi  ‘ulu­mil-Qur-an mencoba memberikan gambaran logis tentang  kenya­taan tersebut:

languages

Fenomena yang kita saksikan dewasa ini tentang  penting­nya mempelajari bahasa-bahasa asing bagi bangsa Arab, sehing­ga bangsa ini dapat mengirimkan misi-misi ilmiah ke  berbagai univesitas  negara-negara lain atau dapat mengkaji  buku-buku induk  ilmu pengetahuan alam  di  universitas-universitasnya, mengingat  buku-buku  tersebut dalam bahasa  asing  dan  oleh pengarang asing pula, merupakan tuntutan logis dari kebutuhan akan ilmu dan peradaban.

Kita  melihat buku-buku asing tersebut telah  menyebarkan pengaruhnya  dalam pemikiran sebagian besar orang, menentukan kecenderungan-kecenderungan mereka dalam pola kehidupan,  dan bahkan sampai pada tingkat kecintaan dan kegemaran  terhadap­nya serta ekspansi seni-seninya. 

Buku-buku itu telah  membawa pengaruh besar terhadap moral, kebiasaan dan tradisi yang me­nyebabkan kehidupan kita pada umumnya dan dalam berbagai  co­raknya  keluar dari ciri-ciri Islam dan nilai-nilai  positif­nya.  

Padahal bangsa-bangsa lain tidak merasa perlu  menerje­mahkan buku-buku mereka ke dalam bahasa Arab, mengingat  sta­tus ilmiahnya. 

Seandainya negeri-negeri Islam konsisten  pada jalan kebangkitannya yang pertama, baik dari segi ilmu,  per­adaban, politik, etika, kekuasaan maupun kewibawaannya,  ten­tulah segala penjuru dunia akan menghormati mereka dan berke­inginan untuk mempelajari bahasa Arab agar dapat menimba  se­cara  langsung dari sumbernya segala produk pemikiran  Islam, untuk  menyirami kehausan akan ilmu pengetahuan, bernaung  di bawah kekuasaan mereka dan berlindung di bawah kedaulatannya. 

Dan tentu pula dunia akan melihat kebutuhan seperti yang kita rasakan dewasa ini, yakni kebutuhan kita terhadap bahasa  du­nia.

Anglophile atau Anglomania?

Timbulnya  bahasa  Inggris sebagai “bahasa  dunia”  tidak terlepaskan dari sejarah bangsa Inggris yang mencapai  puncak kejayaan pada akhir abad sembilan belas dan awal abad dua pu­luh.

Pada waktu itu kerajaan (imperium) Inggris adalah  kera­jaan terbesar di dunia, dengan kekuasaan yang meliputi hampir seperempat bagian dunia. Puluhan negara dan bangsa yang jatuh ke  dalam cengkeraman kekuasaan Inggris  otomatis  menjadikan bahasa  Inggris sebagai bahasa mereka. 

Kemudian, dengan  mun­culnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya semakin  kokohlah  pengaruh bahasa Inggris di dunia, karena bangsa  Amerika pun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka.  Dengan kata lain, bahasa Inggris tumbuh semakin meng-global (mendu­nia).

Bila bahasa Inggris kita anggap bahasa Barat (memang  ke­nyataannya demikian), maka globalisasi bahasa Inggris berarti globalisasi  pengaruh Barat. Bila kebudayaan Barat  dipandang sebagai  kebudayaan hebat, maka tidak perlu heran bila  kebanyakan manusia di dunia merasa bangga karena mampu  berbahasa Inggris, dan merasa minder bila tidak bisa berbahasa Inggris. 

Apalagi bila ditambah dengan dalil bahwa kebanyakan buku-buku ilmiah  ditulis  dalam bahasa Inggris,  sehingga  orang  yang tidak  mengerti bahasa Inggris berarti tidak kenal ilmu  atau dangkal ilmunya. 

Munculnysa peralatan canggih seperti komput­er (dan kemudian internet), yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar­nya, semakin menguatkan anggapan itu.

Winston Churchil, jenderal kebanggaan Inggris dalam Perang Dunia II.
Winston Churchil, jenderal kebanggaan Inggris dalam Perang Dunia II.

Karena  hebatnya  pengaruh Inggris, sebagai  salah  satu dampaknya timbullah berbagai penyakit, di antaranya Anglophi­le dan  Anglomania. Yang pertama berarti  pemujaan  terhadap bangsa dan budaya Inggris, sedangkan yang kedua berarti kegi­laan terhadap apa saja yang berbau Inggris. Sultan Omar dari Brunei, ayah sultan Brunei sekarang (Hassanal Bolkiah),  ada­lah seorang Anglophile. 

Salah satu tokoh yang dipujanya  ada­lah Winston Churchil, negarawan, perwira, dan pengarang  Ing­gris  yang pernah menerima hadiah Nobel. 

Bila kita  pergi  ke Brunei, di sana akan kita jumpai sebuah museum yang dibuat o­leh Sultan Omar, satu-satunya museum  di dunia yang  dibangun demi mengenang Churchil. Di dalamnya tersimpan berbagai benda yang  pernah dimiliki Churchil, mulai dari  pakaian  seragam, buku-buku,  gambar-gambar,  foto-foto,  rekaman  pidato,  dan lain-lain.

Bukan cuma alat komunikasi

Dalam pengertian yang telah mashur, bahasa dikatakan se­bagai “alat komunikasi” alias sarana untuk berhubungan  antar manusia. Bila kita cermati lebih jauh, dalam komunikasi  itu­lah terjadi pemindahan atau pertukaran pengetahuan,  informa­si, gagasan, dan sebagainya. 

Bahkan kemudian berkat komunika­silah timbul saling pengaruh kebiasaan, saling pengaruh kebu­dayaan.  Tentu saja kata saling di sini tidak bisa kita  beri pengertian  harfiah,  karena kenyataannya  komunikasi  sering berlangsung satu arah, karena arus dari satu pihak lebih  be­sar  dan deras sementara dari pihak lainnya sangat  kecil  dan lemah. 

Muatan pengetahuan, informasi, dan gagasan adalah  pe­nentu besar-kecilnya atau deras-lemahnya arus tersebut. Kare­na itu sungguh aneh bila ada orang mengatakan, “Untuk menguasai suatu bangsa, kuasailah bahasanya.”

Tentu saja, dengan menguasai bahasa suatu bangsa kita a­kan  dapat  simpati dari bangsa itu, karena  dengan  demikian berarti kita telah memudahkan mereka berkomunikasi dengan ki­ta, karena mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka. 

Selan­jutnya,  bertentangan dengan pameo di atas, bila  kita  sudah menguasai  bahasa suatu bangsa, terbukalah  kemungkinan  bagi bangsa  itu untuk menaklukkan kita! Terutama bila bangsa  itu memang bangsa yang maju, sehingga di dalam bahasanya  termuat segala pengetahuan, informasi, dan gagasan yang berpengaruh (mempengaruhi kita!).

Unsur pemersatu

Sebagai bangsa Indonesia kita dipersatukan, antara lain, oleh Bahasa Nasioal Indonesia. Tapi sebagai warga dunia  yang tidak luput dari hempasan gelombang globalisasi, kita pun bi­sa dipersatukan dengan bangsa-bangsa lain dengan bahasa  yang pengaruhnya  mendunia. 

Dengan kata lain, karena suatu  bahasa tidak bisa dipisahkan dengan muatan budayanya, maka pada akh­irnya seluruh bangsa di dunia ini bisa menjadi  manusia-manu­sia berbeda ras namun hanya mempunyai satu kebudayaan.  Tentu saja kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Barat! 

Inilah yang menjadi pemicu kecemasan bagi pihak-pihak yang prihatin  ter­hadap nasib kebudayaan bangsanya yang terancam arus  globali­sasi. Dalam hal ini mereka yang tegas anti globalisasi meman­dang globalisasi sama dengan gombalisasi, alias  penggombalan (penurunan nilai, pelecehan) budaya bangsa sendiri.

Imperium Romawi dalam sebuah game komputer.
Imperium Romawi dalam sebuah game komputer.

Namun  bagaimana pun globalisasi adalah arus zaman,  dan bukan sesuatu yang baru. Pada zaman Rasulullah pun sudah  ada globalisasi,  dalam  arti terjadinya pergaulan  antar  bangsa yang pada akhirnya menjadi sarana penyebaran kebudayaan suatu bangsa yang berpengaruh, karena dianggap sebagai bangsa  yang maju.  Pada  masa itu pun sudah ada kekuatan Blok  Barat  dan Blok  Timur. 

Belahan bumi barat, yaitu wilayah Timur  Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika Utara, waktu itu sudah dikuasai Im­perium Romawi yang beragama Kristen. Sedangkan sebelah  timur dari  Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang kini menjadi  I­ran,  Irak,  Afganistan, dan Pakistan, pada waktu  itu  semua terletak dalam kekuasaan Imperium Persia Baru. 

Turunnya Quran pada awal abad ketujuh Masehi tidak diragukan lagi  merupakan ‘senjata’ dari Allah untuk menangkal arus pengaruh kedua blok kekuasaan  tersebut.  Selanjutnya,  Quran  menjadi  pemersatu bangsa Arab dan menjadi identitas bangsa tersebut. Kemudian, ketika pengaruh Quran terhadap mereka pudar, mereka pun  kem­bali berpecah-belah, kehilangan identitas, dan jatuh ke tang­an berbagai penjajah.

Bahasa dan kepribadian

Tanpa  menguasai bahasa, manusia tidak akan bisa  berpi­kir,  karena thinking involves the manipulation  of  symbols, and the most complete and convenient system of symbols is our language.[1] (Berpikir melibatkan  penggunaan  lambang-lambang, dan sistem lambang yang paling lengkap serta menyenangkan  a­dalah bahasa kita). Sebaliknya, ditemukan pula kenyataan bah­wa kekacauan seseorang dalam berbahasa mengisyaratkan kekaca­uan orang tersebut dalam berpikir.
 
Bahasa  memegang  peranan penting, dan  mendasar,  dalam pembentukan kepribadian. Latihan penguasaan bahasa di sekolah dengan pembiasaan menulis indah, rapi, dan bersih, sangat me­nentukan dalam pembentukan kepribadian yang tekun, sabar, dan jujur.  

Tentu saja latihan ini harus diiringi dengan  latihan penggunaan bahasa secara aktif dengan penekanan pada pemilihan kata dan kalimat yang tepat, dan latihannya dilakukan  intensif mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan  tinggi. Kesadaran akan soal ini sudah lama dimiliki bangsa Jepang. 

A­nak-anak Jepang pada zaman Samurai, misalnya, sejak kecil te­lah  diwajibkan berlatih menulis kaligrafi huruf  Kanji  yang rumit itu setiap hari selama berjam-jam, tak peduli  meskipun mereka sedang dilanda cuaca dingin yang membekukan.

Di sekolah kita, sampai kini, pelajaran bahasa Indonesia memang dianggap penting. Namun yang patut diprihatinkan  ada­lah metode penyampaiannya yang tidak menarik, dan para penga­jarnya juga umumnya kurang menguasai materi yang mereka ajar­kan.  

Yang  paling memprihatinkan adalah  tiadanya  kesadaran bahwa pelajaran bahasa adalah dasar pembentukan  kepribadian, sehingga tentu harus ditangani dengan sangat serius. 

Di seko­lah sendiri, pengajaran bahasa yang baik akan membantu kelan­caran  proses belajar-mengajar. Sebab cuma  dengan  penguasaan bahasa yang baik para guru dapat menyampaikan materi pelajar­an secara maksimal, dan para pelajar pun dapat memahami pela­jaran secara maksimal. 

Selain itu, penguasaan bahasa  Indone­sia yang baik juga dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap  ba­hasa sendiri, sehingga tidak minder untuk membawanya ke dunia internasional,  dan tentu saja kita pun jadi tidak  ‘tergila­-gila’ pada bahasa asing. 

Sebaliknya, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, kita pun dapat pula memahami dan  mener­jemahkan  bahasa asing dengan baik. Untuk yang terakhir  ini, penulis  punya pengalaman yang menarik. Suatu ketika  bersama seorang  teman  penulis mewawancarai  seorang  pengusaha  yang beristri penerbang.

 Keduanya berdarah Sunda tulen, dan  agak­nya  mempunyai darah menak (bangsawan), tapi gaya hidup  yang mereka pilih adalah gaya hidup Eropa. Setiap hari mereka  pun saling berbicara dengan bahasa Belanda atau Inggris. 

Kata-ka­ta dari kedua bahasa itulah yang sering muncul di tengah       per­cakapan kami yang menggunakan bahasa Indonesia, yang  agaknya menyiksa lidah mereka. 

Sang istri bahkan bertanya kepada  pe­nulis tentang arti kata alert (Inggris: waspada) dalam bahasa Indonesia. Barangkali mereka ini adalah wakil dari suatu  ge­nerasi yang merasa bangga karena kita pernah dijajah bangsa­bangsa asing (yang maju!).

Bahasa dan Islam

Islam  adalah satu-satunya agama yang  memandang  bahasa sebagai  alat yang penting untuk memelihara keutuhan dan  ke­murnian ajarannya. Karena itulah ada kelompok ulama yang  ber­pendapat bahwa Quran tidak boleh diterjemahkan ke bahasa  la­in.

 Namun segolongan lain berpendapat bahwa penerjemahan  itu boleh, bahkan harus dilakukan, namun naskah aslinya tidak bo­leh diabaikan. Pendapat pertama nampak kaku dan sempit. Namun sebenarnya  di  situ tersirat suatu  sikap  bertanggung-jawab yang mendalam. 

Dengan tidak boleh diterjemahkan, berarti  ti­dak perlu ada kitab-kitab tandingan bagi Quran. Dengan  demi­kian  juga berarti bahwa siapa pun yang ingin memahami  Quran maka ia harus mempelajari bahasanya. (Ini dilakukan para ori­entalis, namun jarang dilakukan umat Islam!). Bila prinsip i­ni  ditegakkan, maka kegiatan mempelajari bahasa  Quran  akan digalakkan. 

Bahasa Quran akan menjadi bahasa kedua umat Islam setelah bahasa ibunya. Bahasa Quran akan menjadi bahasa  pergaulan, menjadi alat pemersatu, menjadi identitas umat  Islam sedunia. Dengan kata lain, terjadilah globalisasi bahasa Qur­an. Keutuhan Quran akan semakin terjamin. 

Bila  bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris (dan bahasa-bahasa lain) tidak mau me­nerjemahkan buku-buku ilmiah mereka ke bahasa Arab (dan baha­sa-bahasa lain), karena alasan ingin mempertahankan nilai il­miahnya,  maka Quran pun tidak perlu diterjemahkan ke  bahasa apa pun demi memelihara nilai ilmiahnya! 

Dengan demikian,  u­mat Islam pun akan mendapatkan pengetahuan agama yang  obyek­tif,  karena akrab dengan kitab sucinya, karena peran  bahasa difungsikan dalam pendidikan, dalam proses pembentukan kepri­badian Islami.


Sayang, akhirnya pendapat kedualah yang menang, meskipun mungkin cuma sementara. Pendapat yang kedua ini memang terasa moderat (lunak) dan praktis, sehingga bisa diterima secara  u­mum.

Karena itulah kini kita menjumpai banyak buku terjemahan maupun tafsir Quran, dengan tulisan aslinya yang selalu dile­takkan  di sisi terjemahannya; seolah mengingatkan bahwa  penerjemahan  Quran tidak akan pernah berhasil sempurna.  Namun yang tidak sempurna itulah (dalam arti bisa salah fatal) yang akhirnya dicekokkan kepada umat yang awam.

Selanjutnya  pandangan yang moderat itu  pun  melahirkan dampak  yang  memprihatinkan. “Berbicara  tentang  terjemahan Quran merupakan fenomena kelemahan kedaulatannya,” tulis Man­na Khalil al-Qattan dalam Mabahitsu fi ‘Ulumil-Qur`an.  Begi­tulah kenyataannya.

Bahkan kita lihat dalam kenyataan sehari­hari bagitu banyak orang yang ‘fanatik’ terhadap Islam,  lan­car berbicara tentang Islam, namun membaca mushaf mereka tidak bisa, atau cuma bisa terbata-bata seperti anak kecil yang belum hafal nama-nama huruf.

Bagi mereka bahasa Quran  memang merupakan bahasa yang sangat asing, bila dibandingkan  dengan bahasa  Inggris dan “bahasa-bahasa penting”  lainnya,  karena mempelajarinya pun mereka tidak mau. Ironisnya, mereka justru punya setumpuk argumen untuk menentang pentingnya mempelajari bahasa Quran.

Teman  penulis, seorang sarjana ilmu dakwah IAIN,  suatu ketika  berkata, “Kenapa harus susah-susah belajar bahasa  A­rab? Bukankah terjemahan Quran sudah banyak dibuat orang, dan buku-buku  agama sudah banyak yang diterbitkan  dalam  bahasa Indonesia?”

Itulah contoh dari sekelompok orang yang cenderung  ins­tant minded, mau serba cepat, sehingga agama pun dianggap  se­bagai sejenis fast food, seperti mie instant, yang bisa dima­kan  setelah dimasak lima menit, atau langsung saja  disantap seperti kerupuk, bila perlu.

Mereka  tidak menyadari fungsi bahasa sebagai alat  pem­bentukan kepribadian; tidak memahami bahwa dalam suatu bahasa terkandung suatu bentuk kebudayaan.

Kita  tentu tidak bisa menyalahkan bila orang  kelaparan ingin cepat melahap makanan yang ditemukannya. Juga tidak bi­sa disalahkan bila orang-orang sibuk ingin menyantap  makanan sambil  terus sibuk bekerja. 

Tapi soalnya, tidak semua  jenis makanan bisa diproses secara kilat. Tidak semua jenis makanan bisa  diolah  menjadi instant food. Bahkan juga  tidak  semua jenis  makanan bisa cukup lezat, memuaskan,  dan  menyehatkan dengan hanya diambil sarinya saja. Begitu banyak makanan pen­ting  yang harus kita makan secara alami, sehingga kita  bisa menikmati rasa, aroma, serta khasiatnya bagi tubuh kita. 

Bahkan  konon vitamin apel justru terkumpul dalam kulitnya,  se­hingga  bodohlah orang yang makan buah apel  dengan  mengupas kulitnya!

Quran  tentu  lebih istimewa dari buah apel.  Bila  anda mengatakan  bahwa yang terpenting dari Quran  adalah  isinya, anda juga harus tahu bahwa isi Quran tidak akan dapat  dicer­nakan dengan baik, tidak akan menjadi darah dan daging,  bila anda membuang kulitnya (bahasa aslinya).

Pengasingan bahasa Quran terjadi karena kecerobohan  dan kelalaian umat Islam, politik penjajah, dan selanjutnya kare­na ‘kepanikan’ para juru da’wah. Yang terakhir, mungkin kare­na  ingin mengislamkan orang secara cepat, demi  mengejar  dan kemudian  mempertahankan kuantitas, maka langsung atau  tidak langsung mereka memandang bahasa Quran sebagai penghambat ba­gi “syi’ar Islam”. 

Padahal dalam Quran ada sejumlah ayat yang melarang kita bersikap tergesa-gesa, dan beberapa ayat  lain, yang  didukung banyak Hadis, menyuruh kita berusaha  mempela­jari Quran secara perlahan. Lagipula, Allah sendiri  menurun­kan Quran secara bertahap, selama sekitar 23 tahun.

Belakangan ini telah tumbuh subur taman kanak-kanak  Al-Quran  yang menggunakan metode IQRA dan sebagainya. Kita  pun sering  dibuat takjub dengan penampilan anak-anak kecil  yang belum  bisa  mengucapkan huruf R namun sudah  lincah  membaca Quran. Metode pengajaran membaca Quran yang praktis telah di­temukan di Indonesia (dan konon sudah diekspor ke Arab!).

Namun  kesadaran  untuk mempelajari bahasa  Quran  masih memprihatinkan. Bahkan cukup sulit menemukan guru agama, guru mengaji,  imam  masjid, pengajar IQRA, yang  mengenal  bahasa Quran. Karena itu tidak aneh bila setelah tamat belajar paket IQRA, khatam membaca Quran, anak-anak kecil itu kemudian cuma mendapat pelajaran tambahan berupa teori tajwid yang  dilagu­kan, plus pelajaran menyanyi “lagu-lagu Islam” dan  pelajaran menari (tarian Islam?).

Alangkah baiknya bila setelah lancar membaca Quran anak-­anak itu (juga para orang dewasa) kemudian dibimbing mempela­jari bahasa Quran dengan cara mudah dan menyenangkan.  Alang­kah baiknya bila lagu-lagu yang diajarkan kepada anak-anak i­tu digubah dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Inggris  se­perti yang kini banyak beredar. Syair-syair berbahasa  Inggris yang diiringi lagu-lagu indah sudah banyak dibuat orang.  Ha­ruskah  kita membantu usaha mereka lagi?

Ketika  meluncurkan album  lagu anak-anak muslim dua bahasa, Indonesia dan  Ingg­ris,  Neno  Warisman mengatakan kepada  para  wartawan  bahwa penggunaan  bahasa  Inggris itu bukan untuk  pamer  kemampuan berbahasa Inggris, tapi kerena pertimbangan pemasaran di luar negeri. 

Dengan kata lain, bila bahasa Inggris diganti  dengan bahasa Arab, misalnya, kaset Neno tersebut tak bisa diedarkan di luar negeri, walaupun di negeri-negeri berbahasa Arab. So­alnya,  seperti sudah disinggung pada awal naskah ini,  orang Arab pun kini lebih menyukai bahasa Inggris.(a.h)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.